Diasuh Sufi Fakir (1838 – 1842).
Sebelumnya telah diceritakan, bahwa setelah Dewagiri Amma melahirkan bayi laki-laki, Devagiri Amma membungkus bayinya dengan sepotong kain sari yang dikenakannya, menutupi dengan dedaunan dan meninggalkannya ditempat bayi itu dilahirkan, kemudian pergi mengikuti suaminya.
Bayi yang terbuang itu ditemukan oleh seorang Sufi Fakir yang tinggal disekitar hutan itu dan membawanya pulang. Melihat bayi itu istri Fakir sangat senang, ia merawat bayi itu. Mereka tidak mempunyai anak, mereka memutuskan untuk mengadopsi anak laki-laki itu seperti anak laki-laki mereka sendiri dan manamakannya Babu. Dari beberapa sumber cerita disebutkan bahwa mereka adalah suami istri Muslim yang saleh. Kalaulah demikian, Babu pastilah juga mendapatkan pendidikan dasar agama Islam dari mereka. Mungkin juga dari guru-guru Muslim lain yang tinggi ilmunya. Ayah angkatnya itu adalah seoarang Fakir penganut tasawuf dengan ilmu yang sangat tinggi.
Setelah beberapa tahun, Sufi Fakir meninggal dunia. Ia mewariskan warisan berupa tanah yang cukup untuk makan istri dan anaknya. Ibu angkat merawat Babu dengan penuh kasih sayang karena anak itu adalah satu-satunya tanda yang ditinggalkan suami. Babu tumbuh besar. Tetapi ia tidak suka pergi sekolah ataupun belajar. Ibunya membujuknya tetapi semua sia-sia. Sepanjang hari ia biasa bermain dengan anak-anak lainnya.
Suatu hari Babu bermain kelereng dengan anak laki-laki lain. Ia memenangkan semua kelereng yang berasal dari mereka. Salah satu dari anak laki-laki itu berpikir bahwa ia dapat merebut kembali kelerengnya jika ia bermain lagi. Ia pulang kerumahnya untuk mengambil kelereng. Tetapi dia tidak mendapatkan satupun. Tiba-tiba ia melihat “batu” kecil di ruang pemujaan. Tetapi batu itu adalah persembahan yang dipuja sebagai 'Shaligram' (simbul Dewa Wisnu). Ia ragu-ragu untuk mengambilnya. Ia berpikir, "Dengan 'batu' ini saya akan bermain dengan Babu dan merebut kembali semua kelereng-kelerengku. Lalu saya akan meletakkan batu itu di sini lagi. Tak seorangpun akan tahu". Berfikir demikian ia mengambil batu itu dan pergi menemui Babu dan memaksanya bermain kelereng lagi.
Pada awalnya Babu merasa enggan, tapi karena dipaksa berulang-ulang akhirnya Babu bermain lagi. Pada kali ini Babu menang juga. Lalu anak laki-laki itu menyadari tindakan salah yang telah ia lakukan. Ia meminta Babu untuk mengembalikan 'batu' itu. Tetapi Babu menolak. Lalu anak laki-laki itu menangis dan memanggil ibunya dan berkata, “Ibu, Babu telah mengambil 'Shaligram' kita”.
Ibu anak laki itu bingung mendengarnya. Ia berlari menuju ke pemujaan dan ternyata 'Shaligram' itu telah hilang. Ibu itu bersama-sama anaknya mendekati Babu, yang sedang bermain dengan anak-anak laki-laki lain. Ibu si anak itu menyuruh Babu untuk mengembalikan 'Shaligram'. Tetapi Babu menolak. Wanita itu mengambil semua kelereng dari kantong Babu. Tapi pada saat itu juga Babu memasukkan Shaligram ke dalam mulut. Babu berkata, “Ibu, Shaligram ada di dalam mulut Babu”.
Wanita itu memaksa Babu membuka mulut. Lalu ia mencoba membuka mulut Babu dengan paksa. Lalu Babu membuka mulut. Lihat..! Apa yang telah dilihat wanita itu di mulut Babu? "Dewa Wisnu". Seperti penampakan yang pernah dilihat oleh Yasoda dalam mulut Krisna, wanita itu melihat hal yang sama dalam mulut Babu. Ia mulai menangis dan menyentuh kaki Babu meminta maaf. Dalam beberapa menit seluruh penduduk desa datang dan mengetahui bahwa Babu adalah penjelmaan dari Wisnu.
Dengan cara yang sama ia kadang-kadang pergi ke kuil (pura) Hindu dan mulai mengaji kitab suci Al Qur'an. Kaum Muslim menjadi marah dengan sikap Babu yang nyeleneh itu. Tingkah laku anak itu dipandang tidak wajar. Karena Dia pergi ke Kuil Hindu dan berteriak : “Akulah Allah” dan “Allah Malik Hai” (Tuhanlah Yang Mahakuasa).
Dia pergi ke mesjid dan berkata : ”Rama sendiri adalah Tuhan” dan Siwa adalah Allah.” Itulah kata-kata yang sering diucapkan Babu.
Karena kelakuannya dipandang aneh, maka pemeluk kedua agama mengeluh kepada istri fakir. Mereka mengancam untuk menghajar dan jika perlu membunuh jika Babu tidak menghentikan tingkah lakunya yang dianggap kurang beretika dan menodai peraturan kedua agama itu.
Sang Ibu menjadi takut. Ia mencintai Babu dengan penuh kasih sayang. Ia membujuk Babu untuk tidak melakukan perbuatan itu lagi. Tetapi Babu tidak memperdulikannya. Ia terus melakukan apa yang ingin ia lakukan. Sehingga ibunya berpikir bahwa ia akan membawa Babu ke ashram Venkusa Maharaj keesokan harinya dan menitipkannya di sana.
Diasuh Venkusa (1842 – 1851).
Venkusa Maharaj adalah seorang yang saleh. Ia mengelola ashram untuk para yatim piatu. Ia mengajarkan pendidikan dasar mereka.
Suatu malam ia bermimpi. Dalam mimpinya, ia melihat Dewa Siwa dan berkata,
“Besok pagi pukul 10.00 siang Aku akan datang kepadamu”.
Keesokan paginya ia bangun dan mulai menunggu kedatangan Dewa Siwa. Tepat pukul 10.00 pagi ia melihat seorang ibu datang bersama anak laki-laki.
Ibu Babu menceritakan kepada Venkusa Maharaj semua hal tentang Babu dan meminta Venkusa Maharaj untuk mengijinkan Babu tinggal di sana sambil berkata,
“Adalah sangat menyakitkan untuk saya hidup tanpa Babu.Tetapi sebaliknya penduduk desa akan membunuh Babu. Saya telah memutuskan agar dia tinggal disini. Paling tidak Babu akan terus hidup”.
Venkusa Maharaj teringat mimpi semalam dan mengerti siapa Babu. Venkusa Maharaj menjawab,
“Jangan khawatir, Babu akan aman tinggal disini. Saya akan menjaganya dengan hati-hati”.
Dengan berlinang air mata, Ibunya berkata kepada Babu,
“Anakku sayang, kau akan aman disini. Lakukan apa yang Guru katakan. Engkau harus selalu mematuhi Gurumu”.
Babu menyetujuinya. Dengan hati berat Ibu Babu meninggalkannya.
Beberapa tahun berlalu. Suatu hari Venkusa Maharaj menyuruh Babu untuk mengumpulkan daun-daun dari pohon bael. Lalu Babu pergi untuk membawakan apa yang diperintahkan gurunya. Anak laki-laki lain yang tidak menyukai Babu menunggu kesempatan itu. Mereka berpikir bahwa mereka akan membunuh Babu dan meninggalkan mayatnya dihutan. Mayatnya pasti akan dimakan oleh binatang buas. Sehingga tak seorangpun mengetahui bagaimana Babu meninggal. Berfikir tentang hal ini beberapa anak laki-laki mengikuti Babu. Sementara Babu sibuk mengumpulkan daun-daun bael, anak laki-laki itu menyerang Babu dengan tongkat-tongkat dan memukulinya. Babu tak sadarkan diri. Lalu seorang anak laki-laki memungut sebuah batu bata ukuran besar dan memukul kepala Babu dengan batu bata itu. Kepala Babu berdarah cukup banyak. Meraka berpikir bahwa Babu telah meninggal. Merekapun pulang kembali ke Ashram.
Beberapa jam telah berlalu. Venkusa Maharaj merasa cemas akan Babu. Dengan mengajak beberapa anak bersamanya, ia pergi mencari Babu. Akhirnya ia menemukan keberadaan Babu tak sadarkan diri dengan berlumuran darah. Ia menggotong Babu dan membawanya ke pinggir sungai. Ia membersihkan luka-luka dan memberikan beberapa ramuan obat-obatan.
Setelah beberapa lama Babu mulai sadar. Venkusa Maharaj bertanya, “Babu siapa yang menyerangmu?”
Babu memandang anak laki-laki itu lalu berkata,
“Saya sibuk mengumpulkan daun-daun bael. Seseorang menyerang dari belakang”.
Ia tidak menuduh anak laki-laki teman sekelasnya itu.
Venkusa Maharaj berkata,
"Kalau begitu kau pasti diserang oleh musuh-musuh yang berasal dari desamu. Mulai dari sekarang, aku tidak akan mengijinkan kau pergi kemana saja seorang diri".
Ketika pulang ke Ashram, Babu menyimpan batu bata yang telah dipakai untuk memukul kepalanya. Batu bata itu berlumuran darah kering.
Sejak kejadian itu anak-anak laki-laki di ashram tidak mengucapkan kata-kata jahat kepada Babu. Mereka menganggap Babu benar-benar seorang anak yang baik. Ia bisa saja melaporkannya kepada Venkusa Maharaj, tetapi dia tidak mengatakan apa-apa tentang kejahatan mereka. Apalagi ia menyelamatkan mereka dari hukuman. Mereka lalu mulai memperlakukan Babu lebih layak lagi.
Setelah beberapa tahun, Venkusa Maharaj meninggal dunia. Babu lalu meninggalkan ashram sambil membawa batu bata yang berlumuran darah kering. Ia berpakaian seperti seorang fakir dan mulai berjalan dengan rasa enggan menuju kemana saja, tanpa suatu tujuan yang pasti.***
Bersambung....... 3 Baba Ke Daerah Shirdi..
- Santisri. 2006. Thapovanam, Sri Sathya Sai Satcharitra . Alih bahasa : Tim Penterjemah Toko Prashadam, editor : I Wayan Jendra, Yogyakarta : Sipress
- Tarjan, Josep. 2001 Shirdi Sai Baba, Sang Fakir . Jakarta : PT Protona Findo UE
- Wilson, Rudy. 2001. Shri Sai Satcharita jilid 1 dan 2 (terjemahan). Jakarta : Yayasan Sri Sathya Sai Baba Indonsia