Foto Ilustrasi, sumber internet
Di sebuah desa yang disebut Dhoopkeda, hidup seorang pria terhormat ber Agama Islam, bernama Chand Bhai Patel , dia seorang pejabat di desanya. Patel kehilangan kuda betinanya, dan dia sudah dua bulan mencari kudanya namun belum ketemu.
Sekitar tahun 1857 ketika Patil membawa pelana kuda yang hilang itu, dia melihat laki-laki (Babu) duduk di bawah sebuah pohon mangga. Laki itu bertanya tentang pelana kudanya. Kemudian Patel menjelaskan bahwa ini pelana kudanya yang hilang dua bulan yang lalu. Laki-laki tsb kemudian menyuruh Patel mencarinya di sekitar dekat itu sambil menunjuk ke suatu arah. Patel pergi ke tempat yang diberitahu, aneh bin ajaib dia menemukan kudanya yang hilang. Dia kembali kepada laki-laki itu bersama kudanya. Patil sangat kagum pada laki-laki itu. Dia pikir laki-laki aneh ini orang biasa, ternyata seorang suci besar (fakir).
Dia meminta laki-laki itu untuk datang ke rumah Patil. Laki itu mau datang dan tinggal dirumah Patil untuk beberapa lama. Patil mempersiapkan pernikahan anak iparnya, yang istrinya berasal dari daerah Shirdi. Fakir menemani rombongan Patil ke Shirdi, setelah acara selesai Patil dan rombongan kembali ke Dhoopkeda, sedangkan Fakir tetap tinggal di Shirdi, tinggal di tempat kuil (pura, keterangan penulis) orang hindu.
Suatu malam di daerah Shirdi, Fakir terbangun mendengar orang mengaji di Mesjid. Kemudian Ia pergi ke Mesjid dan membawa Al Qur'an. Semua yang hadir di sana tampak heran, mereka berpikir sang fakir pasti seorang Muslim. Seseorang memberitahukan kepada pendeta hindu bernama Vishwanath bahwa fakir itu seorang muslim karena Ia membawa Al Qur'an di mesjid semalam. Mendengar hal ini, pendeta hindu berkata,
“Kalau begitu kita tidak boleh mengijinkan fakir ini tinggal di dalam kuil kuno” (kuil tempat pemujaan orang hindu, tempat tinggal Baba).
Sejak pertama kali Ia mendengarkan tentang Sang Fakir ini, pendeta hindu- Viswanath itu tidak menyenanginya, karena pengaruhnya di desa ini mulai berkurang. Lalu ia memutuskan untuk menggusur fakir ini keluar dari desa dengan cara apapun. Pendeta Vishwanath bersama-sama dengan pengawalnya pergi menuju kuil kono (tempat pemujaan orang hindu). Dalam perjalanan pendeta bertemu dengan Mullah (Imam) dari mesjid baru bersama penduduk muslim. Mullah bertanya kepada pendeta hindu,
“Pendeta hendak kemana?”
Pendeta menjawab ,
"Apakah engkau mengetahui bahwa fakir itu adalah seorang muslim? Ia membawa Al-Qur'an kemarin di Mesjid" kata pendeta kepada Mullah.
Mullah menjawab , "ya, benar, tetapi ia sekarang memuja Dewa Siva di dalam kuil kuno membawakan seloka Sansekerta. Saya pikir ia bukanlah seorang Hindu, ataupun seorang Muslim. Ia adalah seorang suci besar" .
Kemudian Pendeta berkata, “Tetapi kita tidak akan mengijinkan seseorang yang membawakan Al-Qur'an tinggal di dalam kuil”.
Imam menjawab,
“Itu adalah kuil kuno; tak ada yang patut dipuja, tak seorangpun mengajak orang berdoa di sana. Bukankah tak menjadi masalah jika ia tinggal di sana?”
Pendeta tidak setuju dengan pendapat Mullah (Imam). Mereka semua pergi ke kuil kuno, dan menyaksikan Fakir membaca sloka Sansekerta dengan suara fasih. Semua orang tergerak mendengar suara fakir.
Pendeta Vishwanath berpikir dalam hati, "Jika sang fakir ini tinggal di desa, posisiku menjadi tidak ada artinya. Tak ada orang yang akan datang kepadanya. Lalu untuk menjaga posisi tetap utuh, aku harus mengusir fakir ini keluar dari desa".
Berfikir begitu, pendeta Vishwanath itu bertanya kepada fakir,
"Apakah agamamu? Apakah kamu seseorang yang beragama Hindu atau Muslim?"
Fakir menjawab, “Saya adalah Sai”. Pendeta berkata lagi, “Saya tidak menanyakan namamu, saya ingin mengetaui tentang agamamu”
Fakir menjawab,
“Saya adalah seorang manusia, kamu boleh menganggapku sebagai Hindu maupun Muslim, terserah kamu”.
“Kalau begitu kami tidak mengijinkan kamu tinggal di dalam kuil”, kata Pendeta.
“Sayapun tidak ingin tanggal disini”, jawab Fakir.
Mendengar percakapan itu lalu Mullah berkata,
“Sai Baba, kamu boleh tinggal di Mesjid kuno yang bernama Dwaraka”. Mesjid itu dibangun oleh wanita hindu, mesjid itu tidak dipergunakan sekarang. Bagaimana pendapatmu saudara Damolkar?”
Mullah bertanya kepada Damolkar yang juga berada di tempat itu.
Untuk mendukung ucapan Mullah, Damolkar berkata,
“Sai Baba, kamu harus tinggal di Mesjid Dwaraka. Kami akan membersihkannya besok”.
Sai Baba setuju. Sambil mengambil tasnya ia meneruskan tujuannya ke Mesjid Dwaraka.
Hari berikutnya banyak orang yang datang ke Mesjid kuno bersama-sama dengan Damolkar. Beberapa orang muslim juga datang bersama Mullah. Mereka semua mulai bekerja, dalam beberapa jam Mesjid itu sudah rapi dan bersih kembali menjadi tempat tinggal Sai Baba.
Damolkar berkata,
"Sai Baba, berlindunglah di tempat ini. Buatlah tempat duduk dimanapun kamu suka. Untuk makanan, jangan khawatir, aku akan menyediakan makanan-makananmu setiap hari".
Sai Baba menjawab,
"Jangan khawatir Damolkar, aku tahu kamu adalah orang yang kaya. Tapi aku tidak dapat mengambil makanan-makanan darimu secara tetap. Aku mengemis makananKu dari hari ke hari. Ini adalah aturanku" .
Hari berikutnya Damolkar pergi ke Mesjid Dwaraka bersama pengikutnya untuk memperbaiki Mesjid kuno. Nama lengkap Damolkar adalah Damolkar Govindrao Raghunath. Pada saat Damolkar tiba di Mesjid kuno itu, Sai Baba memberikan salam dengan menciptakan nama baru untuk Damolkar, “mari, mari
Hemad Pant, tetapi mengapa kamu bersusah payah padaku?”
Semua orang merasa terkejut dengan nama baru Damolkar.
Sai Baba berkata,
"Nama aslimu terlalu panjang, jadi aku memanggilmu dengan nama baru itu. Apakah kamu suka dengan nama itu ?"
Damolkar menjawab dengan suara tertahan,
"Ya, Tuanku. Kemarin aku mendapat inspirasi baru. Aku telah memutuskan untuk bekerja melayani umat manusia tanpa membedakan agama mereka sehingga aku membutuhkan sebuah nama baru. Mohon berkatilah aku agar aku dapat melayani seluruh umat manusia di bawah bimbinganmu".
Senyum yang sangat menarik muncul di wajah Sai Baba.
Semenjak kehadiran Sai Baba di Shirdi, Desa Shirdi semakin dikenal tidak hanya di India, tapi di seluruh dunia. Shirdi adalah sebuah desa di tepi sungai Godavari dan merupakan sebuah tempat ziarah suci di antara banyak tempat di India. Sungai ini dikenal dan diakui sebagai sumber air suci, selain Sungai Gangga. Ribuan bahkan jutaan orang dari seluruh dunia datang ke Desa Shirdi, meraka adalah para penyembah (pengikut) dari berbagai agama, antara lain, ada yang beragama Hindu, Islam, ada juga Kristen. Setiap hari Kamis ada sebuah prosesi besar yang diadakan dan semua orang mengambil makanan dari halaman Masjid Dwaraka sebagai ‘Prasad’ yaitu makanan yang telah diberkati oleh Baba. Sai Baba sendiri mengurus distribusi makanan.
Di sana tak seorangpun saling menanyakan tentang kasta atau agama seseorang. Mereka bersatu hati dan perbedaan agama bukanlah alasan untuk tidak bekerja sama. Alangkah bagusnya keharmonisan dan kesatuan orang-orang di sana. Mereka menunjukkan bahwa mereka para devotee (pengikut) Sai Baba. Setiap orang yang mengunjungi Sai Baba menjadi lebih toleran dalam pemikiran dan tindak-tanduk mereka.
Tingkah laku, teladan, ajaran dan ucapan sehari-hari Sai Baba benar-benar memurnikan siapapun yang dekat dengannya, berinteraksi dengannya, memandangnya (dharsan) karena vibrasi yang dipancarkan oleh aura tubuh dan jiwa Sai Baba sangatlah kuat bagaikan aliran sungai Gangga, membantu “pelepasan” kemandirian tubuh dan jiwa.
Kata-katanya begitu menyejukkan, menggetarkan, menyucikan. Di dalamnya ada getaran yang mampu mentransformasikan nilai dan tingkat kesadaran, mengubah citra dan kehidupan orang-orang yang beruntung mendengarnya. Sai Baba adalah seorang yang welas asih, pelindung bagi mereka yang bernaung dalam cinta kasihnya – dalam sifat-sifat Ilahinya. Hujan kata-kata darinya adalah energi yang sangat kuat bak pancuran air yang mengalirkan air surgawi amritha-nektar-sari pati hidup.
Sai Baba membaca (mengaji) ayat-ayat Al Qur'an di kuil orang Hindu, dan dilain hari melakukan pemujaan Shiva Linggam di Mesjid orang Islam. Kita, manusia yang terbatas ini tidak bisa memahami apa maksudnya. Shiva Linggam adalah sebuah batu hitam lambang penciptaan jagad raya ini, lambang prinsip ketuhanan. Tak ada yang bisa memastikan apakah dia Hindu atau Islam. Isi kitab kedua agama dan agama-agama/ajaran lain berada di kepalanya. Dia sumber lautan pengetahuan. Di masjid tersebut ia mengajar umat Hindu dan Muslim.
Foto, sumber internet.
Shirdi Baba Memberantas Penyakit Kolera.
Pada tahun 1910 pagi-pagi setelah Shirdi Baba mencuci muka dan berkumur, Beliau mulai membuat persiapan untuk penggilingan gandum. Beliau menggelar selembar karung dilantai dan diatasnya diletakkan sebuah penggilingan tangan, lalu Beliau mulai menggiling gandum dengan cara memutar penggilingan dengan tangan-Nya. Orang-orang yang melihat aktifitas Shirdi Baba seperti itu jadi bertanya-tanya, untuk apa Beliau menggiling gandum, padahal Beliau tidak memiliki dan tidak akan mendapatkan apa-apa, Tapi tidak ada yang berani bertanya kepada Shirdi Baba, tentang apa yang sedang dilakukannya.
Kabar tentang Baba yang menggiling ini tersebar ke desa dan segera para pria dan wanita berlarian ke Mesjid untuk melihat apa yang Baba menggiling. Ada empat orang perempuan yang ingin membantu Baba menggiling mula-mula ditolak oleh Baba, tapi setelah Baba mengetahui cinta dan pengabdian mereka, Beliau merasa senang dan mulai tersenyum dan mengijinkan empat perempuan itu membantu-Nya.
Setelah selesai menggiling, mereka membagi tepung itu menjadi empat kantong, dan masing-masing mulai mengambil bagiannya. Baba yang tadinya tenang menjadi marah, dan berkata : “Ibu-ibu apakah kalian telah gila? Milik ayah siapa yang telah anda ambil? Apakah Aku telah meminjam gandum kepada kalian sehingga kalian dengan bebas mengambil tepungnya? Ayo, sekarang lakukan ini, ambil dan taburkan tepung ini dipinggir desa,” kata Baba.
Ketika mendengar kata-kata demikian, para wanita tsb merasa kaget dan berbisik-bisik diantara mereka, lalu pergi kebagian luar desa masing-masing membawa satu kantong, dan menaburkan tepung itu seperti yang diperintahkan Baba. Ada yang bertanya untuk apa Baba bertindak demikian, mereka akhirnya mengetahui karena epidemi kolera sedang menyebar di desa dan ini adalah pengobatan Baba terhadapnya; bukan gandum yang digiling tetapi kolera itu sendiri yang telah digiling sampai lumat. Sejak saat itu epidemi kolera berhenti dan penduduk sangat bahagia. Penduduk di desa ditempat Baba tinggal tidak ada yang korban kolera, semua selamat dari penyakit kolera.
Shirdi Baba Mahasamadhi
Baba menderita sakit demam ringan selama 2 atau 3 hari, sehingga Beliau menghentikan kegiatan keluar pagi-pagi dan hanya duduk di Mesjid. Beliau tetap sadar sampai akhir dan telah menasehati para pemujanya agar tidak kehilangan semangat. Beliau tidak memberitahu siapa pun waktu yang tepat mengenai kepergiannya. Beliau menyuruh pergi orang-orang yang menunggui Beliau, hanya beberapa orang saja yang diperkenankan tetap tinggal disana. Baba menyandarkan tubuhnya ke tubuh Bayaji dan menghembuskan nafas-Nya yang terakhir dipangkuan Bayaji. Baba wafat pada perayaan Dussehra
hari Selasa tanggal 15 Oktober 1918 pukul 02.30 malam.
Pecahnya Batu Bata
Beberapa hari sebelum wafatnya, telah muncul pertanda yang meramalkan peristiwa tersebut. Di Mesjid terdapat sebuah batu bata tua yang digunakan oleh Baba untuk meletakkan tangan dan duduk. Pada suatu hari, ketika Baba tidak ada, seorang anak laki-laki yang sedang menyapu lantai telah mengambil dan celakanya batu bata itu terlepas dari tangan yang jatuh ke lantai dan pecah menjadi dua bagian.
Baba berkata : "Itu bukan batu batanya yang pecah, melainkan nasib-Ku yang telah hancur ke dalam keping-keping. Batu Bata itu adalah teman hidup-Ku, dengan batu bata itu Aku selalu bermeditasi pada Diri, batu bata itu sangat berharga bagi-Ku seperti hidup-Ku sendiri, pada hari ini batu bata telah meninggalkan Aku."
Menjelang akhir hidupnya Ia berkata kepada Abdulla yang dekat dengan-Nya, untuk tidak menangisi kepergian-Nya, karena dia akan dilahirkan lagi dan dianugerahi darshan kembali. Abdulla bertanya kapan hal tersebut terjadi, Baba menjawab : “delapan tahu lagi”

Daftar Pustaka :
- Santisri. 2006. Thapovanam, Sri Sathya Sai Satcharitra. Alih bahasa : Tim Penterjemah Toko Prashadam, editor : I Wayan Jendra, Yogjakarta : Sipress
- Tarjan, Josep. 2001 Shirdi Sai Baba, Sang Fakir. Jakarta : PT Protona Findo UE
- Wilson, Rudy. 2001. Shri Sai Satcharita jilid 1 dan 2 (terjemahan). Jakarta : Yayasan Sri Sathya Sai Baba Indonsia