Rabu, 15 Juni 2016

"Capacity Building" RAFTING DI SUNGAI TELAGA WAJA



“Capacity Building” yaitu suatu kegiatan di alam terbuka yang bertujuan untuk melatih fisik, mental, disiplin, serta kerja sama kelompok (team) dalam menghadapi berbagai rintangan. Rintangan di sini menjelaskan persoalan-persoalan yang nantinya harus dihadapi dalam aktivitas kehidupan, baik di kantor maupun di masyarakat.

Karyawan dan karyawati Bea dan Cukai Bali, tanggal 25 Mei 2013 melaksanakan capacity building dalam bentuk arung jeram / rafting di Sungai Telaga Waja. Sungai Telaga Waja terletak di desa Muncan, Karangasem yang dapat dicapai kurang lebih 1,5 jam perjalanan dari Tuban (Bandara Ngurah Rai – Kantor Bea dan Cukai). Rombongan sempat mampir di rumah makan Puri Boga Bukit Jambul untuk makan siang, setelah selesai makan siang perjalanan dilanjutkan menuju Sungai Telaga Waja.

Sungai Telaga Waja mempunyai trek rafting yang paling panjang di Bali, yaitu sejauh 16 km. Untuk melintasi trek ini diperlukan waktu sekitar 2,5 sampai 3 jam.

Telaga Waja dipilih menjadi salah satu start point lintasan arung jeram (rafting), karena sebelumnya sudah pernah juga di Sungai Ayung. Air sungai Telaga Waja sangat jernih dan dingin, serta arus air mengalir sangat deras dengan bebatuan sebagai rintangan serta ada Dam yang tingginya kurang lebih 5 meter yg bisa kita terjunin menggunakan perahu, menjadi pilihan yang cocok bagi “petualang” untuk memacu adrenalin serta menguji nyali.

Selain jeram - jeram yang sangat menantang, pemandangan disepanjang sungai ini sangat indah. Sungai ini dikelilingi oleh petak - petak sawah yang mempesona serta disebelah utara juga tampak Gunung Agung yang merupakan gunung tertinggi di Bali.

Sebelum memulai kegiatan ini, seorang pemandu rafting memberi pengarahan tentang duduk di atas perahu, cara mendayung, cara penyelamatkan posisi diri jika terlepas dari perahu, dan hal - hal lain yang menyangkut keselamatan bersama. Setiap peserta dibagikan jaket pelampung dan helm. 1 perahu dinaiki 5 orang termasuk 1 orang pemandu yang sudah berlatih dan berpengalaman. Jumlah perahu yang dipakai tadi siang 28 buah.

Setelah selama 2,5 jam mengarungi sungai Telaga Waja, terakhir di tempat peristirahatan rombongan menikmati makan siang prasmanan yang telah disediakan oleh IO di restoran yang terletak di tengah sawah. Setelah selesai makan siang, rombongan kembali ke Denpasar. Pengalaman yang sangat indah, menarik dan menantang.


Pada tanggal 29 Nopember 2016 juga dilaksanakan rafting di sungai Telaga Waja, dimana start dan finish berbeda dengan pangalaman sebelumnya. Keasikan rafting secara umum sama dengan pengamanan sebelumnya. Bedanya yang sekarang di finish naik tempat ganti baju peserta harus menaiki tangga menuju yang jumlahnya lumayan banyak dan sangat tinggi. Untuk orang yang usia 50-an ke atas hal ini sangat melelahkan, banyak yang ngos-ngosan, tersengal-sengal. 
Ketika sampai diatas, peserta ganti baju secara bergiliran, karena menunggu tempat ganti baju terbatas, sambil menjadi peserta menikmati jagung rebus, ketela rebus, teh, kopi. Beberapa peserta ditanya "mau lagi ikut rafting?", sebagian menjawab "tidak, naiknya ini payah". Inilah namanya suka duka, sukanya ketika masih di air melenggang lenggok diatas air dengan rafting, dukanya ketika selesai di finish harus menaiki tangga yang banyak, tinggi terjal. Wah..sangat mengecewakan....,


-------------------












 

Selasa, 14 Juni 2016

TIRTA YATRA KE PURA DALEM PED - NUSA PENIDA




Pura Dalem Ped / Pura Penataran Agung Ped terletak di sebuah desa, persisnya di Desa Ped, Sampalan, Nusa Penida. Pura Dalem Penataran Agung Ped disepakati sebagai Pura Kahyangan Jagat. Upacara pujawali di Pura Penataran Agung Ped ini dilangsungkan pada setiap Budha Cemeng Klawu. Piodalan di Pura Dalem Penataran Agung Ped selalu dipadati pemedek baik yang berasal dari Bali, maupun luar Bali untuk memohon keselamatan, kesejahteraan, kerahayuan. 


Hari Budha Cemeng Klawu ini adalah hari untuk mengingatkan umat Hindu pada hari keuangan yang disebut Pujawali Batari Rambut Sedhana. Di Pura Dalem Penataran Agung Ped ini terdapat dua arca Purusa dan Predana dari uang kepeng yang disimpan di gedong penyimpenan sebagai pelinggih utama di Pura Dalem Penataran Agung Ped. Arca Purusa Predana inilah yang memvisualisasikan kemahakuasaan Tuhan yang menciptakan waranugraha keseimbangan hidup spiritual (Purusa) dengan kehidupan fisik material (Predana). Purusa itu adalah kekuatan jiwa atau daya spiritualitas yang memberikan napas kehidupan pada alam dan segala isinya. Pradana adalah kekuatan fisik material atau daya jasmaniah yang mewujudkan secara nyata kekuatan Purusa tersebut.


Karyawan/karyawati Kantor Bea dan Cukai Bali yang beragama Hindu beserta keluarga berjumlah sekitar 90 orang, tanggal 17 April (Purnama) melaksanakan Tirta Yatra ke Pura Dalem Penataran Agung Ped. Rombongan berangkat dengan kapal Bounty Cruise dari pelabuhan Benoa menuju Nusa Penida. Setelah tiba di Nusa Penida kapal Bounty Cruis berlabuh ditengah karena tidak ada dermaga, selanjutnya pemedek ditransfer dengan menggunakan boat kecil demikian pula sebaliknya. Kapal Bounty Cruise hanya melayani penumpang ke Nusa Penida pada hari hari khusus seperti Purnama, Tilem, Piodalan atau hari raya.

Di Pura ini rombongan sembahyang di empat buah pura, yaitu (1) Pura Segara,  (2) Pura Taman, (3) Pura Penataran Ratu Gede Mecaling, (4) Pura Penataran Agung.

Areal Pura Dalem Penataran Agung Ped lumayan luas, dengan penataan yang bagus. Terdapat banyak pelinggih berjajar pada sisi sebelah timur dan sebelah utara. Agak ke tengah berdiri sebuah gedong besar.

Ada lima lokasi pura yang bersatu pada areal Pura Penataran Agung Ped yaitu :

1 Pura Segara

Pura ini sebagai tempat berstananya Batara Baruna, terletak paling utara dekat dengan bibir pantai lautan Selat Nusa. Areal pura tidak begitu luas. Dengan suasana pantai dan suara deburan ombak saat mata terpejam dalam keheningan suara, ini membangkitkan vibrasi tersendiri.

2 Pura Taman Sari

Pura Taman dengan kolam mengitari pelinggih yang ada di dalamnya. Pura ini berlokasi disebelah timur atau sebelah kanan dari Pura Penataran Agung. Pura ini berfungsi sebagai tempat penyucian. Kolam di sekeliling pura penuh dengan tanaman teratai yang berbunga indah. Kapasitas pura sekitar 30 orang.

3 Pura Dalem Ida Ratu Gede Mecaling

Penataran Ratu Gede Mecaling sebagai simbol kesaktian penguasa Nusa pada zamannya. Pura ini mengarah ke barat, di sebelah kiri dari Pura Pentaran Agung. Pura Dalem Ratu Gede Mecaling ini tidak terdapat banyak pelinggih. Satu pelinggih utama dan disebelah kiri pelinggih penyangga. Kapasitas pura cukup besar.

4 Di sebelah timurnya ada lagi pelebaan Ratu Mas.

5 Terakhir di jaba tengah ada Bale Agung yang merupakan linggih Batara-batara pada waktu ngusaba.

Pengalaman ini merupakan pengalaman yang sangat berharga khususnya bagi pegawai beserta keluarga yang selama ini belum pernah tangkil ke Pura Dalem Ped. Hal ini terlaksana berkat kepemimpinan Kepala Kantor (Bapak I Made Wijaya) yang sangat tertarik untuk hal-hal yang bersifat spiritual.

----------------------




Sabtu, 11 Juni 2016

3. KEDATANGAN BABA KE DAERAH SHIRDI

Foto Ilustrasi, sumber internet


Di sebuah desa yang disebut Dhoopkeda, hidup seorang pria terhormat ber Agama Islam, bernama Chand Bhai Patel , dia seorang pejabat di desanya. Patel kehilangan kuda betinanya, dan dia sudah dua bulan mencari kudanya
namun belum ketemu.

Sekitar tahun 1857 ketika Patil membawa pelana kuda yang hilang itu, dia melihat laki-laki (Babu)  duduk di bawah sebuah pohon mangga. Laki itu bertanya tentang pelana kudanya. Kemudian Patel menjelaskan bahwa ini pelana kudanya yang hilang dua bulan yang lalu. Laki-laki tsb kemudian menyuruh Patel mencarinya di sekitar dekat itu sambil menunjuk ke suatu arah. Patel pergi ke tempat yang diberitahu, aneh bin ajaib dia menemukan kudanya yang hilang. Dia kembali kepada laki-laki itu bersama kudanya. Patil sangat kagum pada laki-laki itu. Dia pikir laki-laki aneh ini orang biasa, ternyata seorang suci besar (fakir). 
Dia meminta laki-laki itu untuk datang ke rumah Patil.  Laki itu mau datang dan tinggal dirumah Patil untuk beberapa lama. Patil mempersiapkan pernikahan anak iparnya, yang istrinya berasal dari daerah Shirdi. Fakir menemani rombongan Patil ke Shirdi, setelah acara selesai Patil dan rombongan kembali ke Dhoopkeda, sedangkan Fakir tetap tinggal di Shirdi, tinggal di tempat  kuil (pura, keterangan penulis) orang hindu. 

Suatu malam di daerah Shirdi, Fakir terbangun mendengar orang mengaji di Mesjid. Kemudian Ia pergi ke Mesjid dan membawa Al Qur'an. Semua yang hadir di sana tampak heran, mereka berpikir sang fakir pasti seorang Muslim. Seseorang memberitahukan kepada pendeta hindu bernama Vishwanath bahwa fakir itu seorang muslim karena Ia membawa Al Qur'an di mesjid semalam. Mendengar hal ini, pendeta hindu berkata,
Kalau begitu kita tidak boleh mengijinkan fakir ini tinggal di dalam kuil kuno (kuil tempat pemujaan orang hindu, tempat tinggal Baba).
                       
Sejak pertama kali Ia  mendengarkan tentang Sang Fakir ini, pendeta hindu- Viswanath  itu tidak menyenanginya, karena pengaruhnya di desa ini mulai berkurang. Lalu ia memutuskan untuk menggusur fakir ini keluar dari desa dengan cara apapun. Pendeta Vishwanath bersama-sama dengan pengawalnya pergi menuju kuil kono (tempat pemujaan orang hindu). Dalam perjalanan pendeta bertemu dengan Mullah (Imam) dari mesjid baru bersama penduduk muslim. Mullah bertanya kepada pendeta hindu,
Pendeta hendak kemana?” 
Pendeta menjawab ,
"Apakah engkau mengetahui bahwa fakir itu adalah seorang muslim? Ia membawa Al-Qur'an kemarin di Mesjid" kata pendeta kepada Mullah.
Mullah menjawab
"ya, benar, tetapi ia sekarang memuja Dewa Siva di dalam kuil kuno membawakan seloka Sansekerta. Saya pikir ia bukanlah seorang Hindu, ataupun seorang Muslim. Ia adalah seorang suci besar" 
Kemudian Pendeta berkata, 
Tetapi kita tidak akan mengijinkan seseorang yang membawakan Al-Qur'an tinggal di dalam kuil”.
Imam menjawab, 
Itu adalah kuil kuno; tak ada yang patut dipuja, tak seorangpun mengajak orang berdoa di sana. Bukankah tak menjadi masalah jika ia tinggal di sana?” 

Pendeta tidak setuju dengan pendapat Mullah (Imam). Mereka semua pergi ke kuil kuno, dan menyaksikan Fakir membaca sloka Sansekerta dengan suara fasih. Semua orang tergerak mendengar suara fakir. 

Pendeta Vishwanath berpikir dalam hati, "Jika sang fakir ini tinggal di desa, posisiku menjadi tidak ada artinya. Tak ada orang yang akan datang kepadanya. Lalu untuk menjaga posisi tetap utuh, aku harus mengusir fakir ini keluar dari desa".  

Berfikir begitu, pendeta Vishwanath itu bertanya kepada fakir, 
"Apakah agamamu? Apakah kamu seseorang  yang beragama Hindu atau Muslim?" 
Fakir menjawab, Saya adalah Sai”.  Pendeta berkata lagi, Saya tidak menanyakan namamu, saya ingin mengetaui tentang agamamu 
Fakir menjawab,
Saya adalah seorang manusia, kamu boleh menganggapku sebagai Hindu maupun Muslim, terserah kamu”.
“Kalau begitu kami tidak mengijinkan kamu tinggal di dalam kuil”, kata Pendeta.
“Sayapun tidak ingin tanggal disini”,  jawab Fakir.

Mendengar percakapan itu lalu Mullah berkata,
Sai Baba, kamu boleh tinggal di Mesjid kuno yang bernama Dwaraka”. Mesjid itu dibangun oleh wanita hindu, mesjid itu tidak dipergunakan sekarang. Bagaimana pendapatmu saudara Damolkar? 
Mullah bertanya kepada Damolkar yang juga berada di tempat itu. 

Untuk mendukung ucapan Mullah, Damolkar berkata,
Sai Baba, kamu harus tinggal di Mesjid Dwaraka. Kami akan membersihkannya besok”.
Sai Baba setuju. Sambil mengambil tasnya ia meneruskan tujuannya ke Mesjid Dwaraka.

Hari berikutnya banyak orang yang datang ke Mesjid kuno bersama-sama dengan Damolkar. Beberapa orang muslim juga datang bersama Mullah. Mereka semua mulai bekerja, dalam beberapa jam Mesjid itu sudah rapi dan bersih kembali menjadi tempat tinggal Sai Baba.

Damolkar berkata,
"Sai Baba, berlindunglah di tempat ini. Buatlah tempat duduk dimanapun kamu suka. Untuk makanan, jangan khawatir, aku akan menyediakan makanan-makananmu setiap hari". 
Sai Baba menjawab,
"Jangan khawatir Damolkar, aku tahu kamu adalah orang yang kaya. Tapi aku tidak dapat mengambil makanan-makanan darimu secara tetap. Aku mengemis makananKu dari hari ke hari. Ini adalah aturanku" .

Hari berikutnya Damolkar pergi ke Mesjid Dwaraka bersama pengikutnya untuk memperbaiki Mesjid kuno. Nama lengkap Damolkar adalah Damolkar Govindrao Raghunath. Pada saat Damolkar tiba di Mesjid kuno itu, Sai Baba memberikan salam dengan menciptakan nama baru untuk Damolkar, “mari, mari Hemad Pant, tetapi mengapa kamu bersusah payah padaku?” 
Semua orang merasa terkejut dengan nama baru Damolkar. 
Sai Baba berkata,
"Nama aslimu terlalu panjang, jadi aku memanggilmu dengan nama baru itu. Apakah kamu suka dengan nama itu ?" 
Damolkar menjawab dengan suara tertahan, 
"Ya, Tuanku. Kemarin aku mendapat inspirasi baru. Aku telah memutuskan untuk bekerja melayani umat manusia tanpa membedakan agama mereka sehingga aku membutuhkan sebuah nama baru. Mohon berkatilah aku agar aku dapat melayani seluruh umat manusia di bawah bimbinganmu".
Senyum yang sangat menarik muncul di wajah Sai Baba.

Semenjak kehadiran Sai Baba di Shirdi, Desa Shirdi semakin dikenal tidak hanya di India, tapi di seluruh dunia. Shirdi adalah sebuah desa di tepi sungai Godavari dan merupakan sebuah tempat ziarah suci di antara banyak tempat di India. Sungai ini dikenal dan diakui sebagai sumber air suci, selain Sungai Gangga. Ribuan bahkan jutaan orang dari seluruh dunia datang ke Desa Shirdi, meraka adalah para penyembah (pengikut) dari berbagai agama, antara lain, ada yang beragama Hindu, Islam, ada juga Kristen. Setiap hari Kamis ada sebuah prosesi besar yang diadakan dan semua orang mengambil makanan dari halaman Masjid Dwaraka sebagai ‘Prasad’ yaitu makanan yang telah diberkati oleh Baba. Sai Baba sendiri mengurus distribusi makanan.

Di sana tak seorangpun saling menanyakan tentang kasta atau agama seseorang. Mereka bersatu hati dan perbedaan agama bukanlah alasan untuk tidak bekerja sama. Alangkah bagusnya keharmonisan dan kesatuan orang-orang di sana. Mereka menunjukkan bahwa mereka para devotee (pengikut) Sai Baba. Setiap orang yang mengunjungi Sai Baba menjadi lebih toleran dalam pemikiran dan tindak-tanduk mereka.


Tingkah laku, teladan, ajaran dan ucapan sehari-hari Sai Baba benar-benar memurnikan siapapun yang dekat dengannya, berinteraksi dengannya, memandangnya (dharsan) karena vibrasi yang dipancarkan oleh aura tubuh dan jiwa Sai Baba sangatlah kuat bagaikan aliran sungai Gangga, membantu “pelepasan” kemandirian tubuh dan jiwa.

Kata-katanya begitu menyejukkan, menggetarkan, menyucikan. Di dalamnya ada getaran yang mampu mentransformasikan nilai dan tingkat kesadaran, mengubah citra dan kehidupan orang-orang yang beruntung mendengarnya. Sai Baba adalah seorang yang welas asih, pelindung bagi mereka yang bernaung dalam cinta kasihnya – dalam sifat-sifat Ilahinya. Hujan kata-kata darinya adalah energi yang sangat kuat bak pancuran air yang mengalirkan air surgawi amritha-nektar-sari pati hidup.

Sai Baba membaca (mengaji) ayat-ayat Al Qur'an di kuil orang Hindu, dan dilain hari melakukan pemujaan Shiva Linggam di Mesjid orang Islam. Kita, manusia yang terbatas ini tidak bisa memahami apa maksudnya. Shiva Linggam adalah sebuah batu hitam lambang penciptaan jagad raya ini, lambang prinsip ketuhanan. Tak ada yang bisa memastikan apakah dia Hindu atau Islam. Isi kitab kedua agama dan agama-agama/ajaran lain berada di kepalanya. Dia sumber lautan pengetahuan. Di masjid tersebut ia mengajar umat Hindu dan Muslim.

Foto, sumber internet.

Shirdi Baba Memberantas Penyakit Kolera.

Pada tahun 1910 pagi-pagi setelah Shirdi Baba mencuci muka dan berkumur, Beliau mulai membuat persiapan untuk penggilingan gandum. Beliau menggelar selembar karung dilantai dan diatasnya diletakkan sebuah penggilingan tangan, lalu Beliau mulai menggiling gandum dengan cara memutar penggilingan  dengan tangan-Nya. Orang-orang yang melihat aktifitas Shirdi Baba seperti itu jadi bertanya-tanya, untuk apa Beliau menggiling gandum, padahal Beliau tidak memiliki dan tidak akan mendapatkan apa-apa, Tapi tidak ada yang berani bertanya kepada Shirdi Baba, tentang apa yang sedang dilakukannya.

Kabar tentang Baba yang menggiling ini tersebar ke desa dan segera para pria dan wanita berlarian ke Mesjid untuk melihat apa yang Baba menggiling. Ada empat orang perempuan yang ingin membantu Baba menggiling mula-mula ditolak oleh Baba, tapi setelah Baba mengetahui cinta dan pengabdian mereka, Beliau merasa senang dan mulai tersenyum dan mengijinkan empat perempuan itu membantu-Nya.

Setelah selesai menggiling, mereka membagi tepung itu menjadi empat kantong, dan masing-masing mulai mengambil bagiannya. Baba yang tadinya tenang menjadi marah, dan berkata : “Ibu-ibu apakah kalian telah gila? Milik ayah siapa yang telah anda ambil? Apakah Aku telah meminjam gandum kepada kalian sehingga kalian dengan bebas mengambil tepungnya? Ayo, sekarang lakukan ini, ambil dan taburkan tepung ini dipinggir desa,” kata Baba.

Ketika mendengar kata-kata demikian, para wanita tsb merasa kaget dan berbisik-bisik diantara mereka, lalu pergi kebagian luar desa masing-masing membawa satu kantong, dan menaburkan tepung itu seperti yang diperintahkan Baba. Ada yang bertanya untuk apa Baba bertindak demikian, mereka akhirnya mengetahui karena epidemi kolera sedang menyebar di desa dan ini adalah pengobatan Baba terhadapnya; bukan gandum yang digiling tetapi kolera itu sendiri yang telah digiling sampai lumat. Sejak saat itu epidemi kolera berhenti dan penduduk sangat bahagia. Penduduk di desa ditempat Baba tinggal tidak ada yang korban kolera, semua selamat dari penyakit kolera.



Shirdi Baba Mahasamadhi

Baba menderita sakit demam ringan selama 2 atau 3 hari, sehingga Beliau menghentikan kegiatan keluar pagi-pagi dan hanya duduk di Mesjid. Beliau tetap sadar sampai akhir dan telah menasehati para pemujanya agar tidak kehilangan semangat. Beliau tidak memberitahu siapa pun waktu yang tepat mengenai kepergiannya. Beliau menyuruh pergi orang-orang yang menunggui Beliau, hanya beberapa orang saja yang diperkenankan tetap tinggal disana. Baba menyandarkan tubuhnya ke tubuh Bayaji dan menghembuskan nafas-Nya yang terakhir dipangkuan Bayaji. Baba wafat pada perayaan Dussehra hari Selasa tanggal 15 Oktober 1918 pukul 02.30 malam.


Pecahnya Batu Bata

Beberapa hari sebelum wafatnya, telah muncul pertanda yang meramalkan peristiwa tersebut. Di Mesjid terdapat sebuah batu bata tua yang digunakan oleh Baba untuk meletakkan tangan dan duduk. Pada suatu hari, ketika Baba tidak ada, seorang anak laki-laki yang sedang menyapu lantai telah mengambil dan celakanya batu bata itu terlepas dari tangan yang jatuh ke lantai dan pecah menjadi dua bagian. 
Baba berkata : "Itu bukan batu batanya yang pecah, melainkan nasib-Ku yang telah hancur ke dalam keping-keping. Batu Bata itu adalah teman hidup-Ku, dengan batu bata itu Aku selalu bermeditasi pada Diri, batu bata itu sangat berharga bagi-Ku seperti hidup-Ku sendiri, pada hari ini batu bata telah meninggalkan Aku." 

Menjelang akhir hidupnya Ia berkata kepada Abdulla yang dekat dengan-Nya, untuk tidak menangisi kepergian-Nya, karena dia akan dilahirkan lagi dan dianugerahi darshan kembali. Abdulla bertanya kapan hal tersebut terjadi, Baba menjawab : “delapan tahu lagi” 




Daftar Pustaka :
  • Santisri. 2006. Thapovanam, Sri Sathya Sai Satcharitra. Alih bahasa : Tim Penterjemah Toko Prashadam, editor : I Wayan Jendra, Yogjakarta : Sipress
  • Tarjan, Josep. 2001 Shirdi Sai Baba, Sang Fakir. Jakarta : PT Protona Findo UE
  • Wilson, Rudy. 2001. Shri Sai Satcharita jilid 1 dan 2 (terjemahan). Jakarta : Yayasan Sri Sathya Sai Baba Indonsia