Kamis, 24 November 2016

Pergeseran Budaya, Krematorium Jadi Alternatif

Foto ilustrasi Sumber Internet

Latar Belakang

Manusia Hindu menempatkan siklus lahir hidup dan mati sebagai sebuah prosesi ritual yang bermakna dalam kehidupannya. Kematian bagi umat Hindu adalah awal sebuah perjalanan panjang yang tidak bertepi untuk menikmati karma. Kematian atau meninggalnya seseorang berarti putusnya hubungan dengan dunia nyata atau duniawi yang kemudian akan kembali ke alam baka atau ke akhirat dengan membawa karmanya masing – masing.
Jadi kematian adalah suatu keharusan dari hidup manusia yang kemudian masing-masing bangsa, agama, suku mempunyai cara-cara tersendiri untuk memberikan penghormatan terakhirnya sebagai manusia yang memiliki peradaban budaya.
Khususnya di Bali, umat yang menganut Agama Hindu menganut kepercayaan adanya upacara pembakaran jenazah atau kremasi yang sering disebut dengan Ngaben. Di dalam Panca Yadnya, upacara ini termasuk dalam Pitra Yadnya, yaitu upacara yang ditujukan untuk roh lelulur. Tujuan upacara ngaben adalah agar ragha sarira (badan / Tubuh) cepat dapat kembali ke asalnya, yaitu Panca Maha Bhuta di alam ini dan Atma selamat dapat pergi ke alam pitra.




Namun proses kematian ini menjadi rumit, ketika dibangun oleh budaya dengan tingkat rigiditas yang tinggi (kaku). Umat ​​Hindu sering terjebak 'proses megah' prosesi ritual yang menelan biaya tinggi dengan mengabaikan kemampuan yang melakukan upacara.
Sejatinya biaya upakara untuk prosesi ngaben di Bali tidak mahal berdasarkan sastra. Biaya tinggi karena menjelimetnya adat yang sering tak bersahabat yang membuat biaya upacara itu membengkak, seperti kadang-kadang karena gengsi, jadi upacaranya harus besar secara kwantitas, sehingga penggunaan banten juga di “besar-besar”. Ada pendapat yang mengatakan, terlalu banyak upacara adat menyebabkan kemiskinan di Bali (judul Berita SINDONEWS.COM). “Kami akui budaya Bali sangat berat, kebutuhan untuk memenuhi upacara adat cukup banyak faktor itu juga menjadi salah satu penyebab kemiskinan. Sekarang ini bagaimana caranya upacara mereka sekedarnya saja tidak jor-joran,” ujar Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa Ketut Lihadnyana, kepada wartawan, Kamis (3/7/2014).
Selain adat yang kadang-kadang rumit, juga kasus-kasus adat termasuk masalah menjaga "status warga adat" sering kali menimbulkan masalah ketika orang meninggal. Masalah penyelesaian status warga adat ini terutama banyak dihadapi oleh keluarga yang sudah lama merantau meninggalkan desanya untuk mencari nafkah, dan abai dengan kewajiban-kewajibannya sebagai warga adat. Kejadian - kejadian akibat dari permasalahan adat yang sering kali terjadi di Bali, sangat merugikan orang / krama Bali itu sendiri, akibatnya menjadi suatu momok dan permasalah psikologis bagi orang Bali.


Banjar hendaknya adalah sebagai lembaga pembantu dan bukan malah menjadi beban psikologis & pesikis bahkan menjadi pengadilan sosial bagi masyarakat Bali itu sendiri, sehingga pelaksanaan kedah-kaedah budaya Bali yang tertuang dalam konsep banjar yakni suka duka larapati, paras paros sarpa naya, selunglung sebayantaka tidak semakin tenggelam bahkan cendrung hilang akibat perkembangan jaman, sehingga mengakibatkan orang Bali tidak akan mampu memberikan warisan budaya yang luhur di Bali ini, suatu saat nanti budaya-budaya akan menjadi hanya wacana saja.

Krematoriun Solusi

Akibat dari adanya pergeseran-pergeseran budaya timbul berbagai solusi-solusi yang baru salah satunya di dalam pengabenan ada “krematorium”, hal tersebut tidak salah dan sah-sah saja, tidak semua orang bermasalah melakukan pengabenan di tempat tersebut, namun semua itu akan kembali ke pilihan diri kita sendiri.
Krematorium yang berlokasi di Desa Kedua, Denpasar Utara, Krematorium Santha Yana beroperasi sejak tahun 2009 atas inisiatif Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi (MGPSSR), perkumpulan warga dari keturunan soroh (klan) Pasek. Ini merupakan krematorium pertama yang diperuntukkan bagi umat Hindu. Sebelumnya, dua krematorium sebenarnya sudah berdiri di kawasan Mumbul, Nusa Dua, namun tidak secara spesifik diperuntukkan bagi umat Hindu. “Krematorium ini dibangun untuk menjawab permasalahan umat,” kata Ketua Umum Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi (MGPSSR), Prof. Dr. dr. I Wayan Wita, Sp. JP (K)
Guru besar di Kedokteran Universitas Udayana itu menjelaskan, ide pembangunan krematorium Santha Yana berawal dari keresahan atas berbagai permasalahan yang dihadapi umat Hindu di Bali seperti penyelesaian status warga adat, konflik adat, yang berbuntut pada perebutan tanah setra, hingga beban ekonomi yang menyebabkan tingginya biaya pelaksanaan upacara ngaben.
“Secara ekonomi, warga resah dengan tingginya biaya ngaben. Ini menjadi salah satu yang mendasari ide pembangunan Krematorium Santha Yana,” jelas Wita. Di samping masalah ekonomi, pembangunan krematorium juga didasarkan pada maraknya konflik adat di Bali, yang seringkali berujung pada terhambatnya proses upacara ngaben dari pihak warga yang berkonflik.
 


Krematorium tidak lagi menggunakan bade untuk pengangkutan jenazah, namun diperuntukkan ambulans. Sehingga bisa dihemat. Meski cenderung lebih sederhana, seluruh prosesi upacara ngaben di Krematorium Santha Yana tetap dilaksanakan sesuai sastra atau ajaran agama. “Kalau ditinjau dari segi agama tidak ada bedanya, semua proses di sini sesuai dengan anjuran agama. Krematorium itu kan bentuk dari kemajuan zaman. Intinya sama, yaitu ngaben,” jelas Mangku Putu Mas Sujana, Ketua Bidang Upakara MGPSSR.
Sekarang tidak hanya jenazah “bermasalah” yang ditangani Krematorium Santha Yana. Tidak sedikit pula masyarakat yang sama sekali tidak terkait dengan masalah adat memanfaatkan krematorium dengan berbagai alasan. “Alasannya umumnya karena ekonomis, praktis, prosesinya lebih cepat, dan semua itu tanpa melanggar ajaran agama,” ucap Wenen - Ketua Bidang Hukum, Humas, dan Advokasi MGPSSR. Seorang warga negara Belgia juga sempat dikremasi di tempat ini. “Warga Belgia itu dikremasi di sini sesuai dengan wasiat yang dia tinggalkan,” kata Wenen .
Lalu, apakah krematorium memang menjadi kebutuhan umat Hindu? Kalau penjelasannya ya, bagaimana keberadaan krematorium ini bisa bersinergi dengan tatanan adat yang sudah ada, sehingga dapat meminimalkan terjadinya konflik antara pengusung adat dan kepraktisan beragama? Masalah ini memang menarik untuk diungkapkan sebagai sebuah pemikiran, bahwa ke depan umat Hindu dihadapkan pada dimensi-dimensi baru yang beragam, karena interaksi antar manusia dalam suatu perkampungan global tak dapat dihindarkan.
Perkampungan global membuat dimensi agama hadir dengan peran baru, yaitu peran sosial. Lebih khusus agama sebagai perekat sosial yang merekatkan potensi – potensi antagonistik antar individu dalam masyarakat. 
Khususnya umat Hindu di Bali, perekat-perekat sosial dibangun atas konsepsi ”Tat Twam Asi”. Di dimensi itu, ketika tatanan sosial yang dibangun oleh roh agama, sehingga menghasilkan tafsir yang kerap tidak sesuai dengan zaman, maka perlu dilakukan revisi dan perubahan ke arah kemajuan yang lebih dinamis. Oleh karena itu, dari sudut pandang inilah keberadaan krematorium dan rumah duka yang seperti banyak yayasan yang dimiliki Tionghoa, menarik untuk diingat, yang mungkin bisa dimodifikasi oleh umat Hindu, baik di Bali maupun di luar Bali.
Harus diakui, bahwa ketika banyak adat sering tidak ramah, ketika sulitnya mendapatkan tanah kuburan bagi umat Hindu di rantau, krematorium itu menjadi semacam solusi jitu, Krematorium juga memiliki aspek higienis dalam tata kelola jenazah.***

Selasa, 22 November 2016

"Penyerahan Diri", Wejangan Bhagawan Sri Sathya Sai Baba.

Mengapa engkau sangat bersusah hati ?
Biar Aku mengambil alih semua kekhawatiranmu
Aku akan mengurus semuanya.

Aku mengambil alih (kesusahanmu) hanya bila engkau sanggup menyerahkan diri sepenuhnya kepada-Ku,
Ini adalah sesuatu yang berharga yang sedang Aku nantikan.

Bila engkau berserah diri sepenuhnya kepada-Ku,
Engkau tidak perlu lagi merasa khawatir tentang apapun.
Singkirkan semua rasa takut dan kebingungan.

Engkau menyatakan bahwa engkau tidak percaya kepada-Ku
Sebaiknya percayalah dirimu sendiri sepenuhnya.

Menyerahkan diri diartikan sebagai kemampuan menjauhkan pikiran-pikiranmu dari rasa khawatir, dari begitu banyak kesulitan yang harus engkau hadapi dan dari banyak macam masalahmu.

Serahkan semua masalah ini kepada-Ku dan katakanlah ”
”Oh Tuhan, ambilah semuanya. Biar semua terjadi.”

Yang bisa diartikan menjadi :

”Terima kasih Tuhan,
Dengan segala sesuatunya sudah berada di tanganMu,
aku tahu bahwa semua itu akan menjadi yang terbaik bagiku.”

Penyerahan diri berarti tidak perlu berharap, tidak perlu kecewa bila yang terjadi bebeda dengan yang diharapkan.

Bila engkau masih memiliki rasa khawatir,
Hal itu menunjukkan bahwa engkau tidak percaya bahwa engkau dicintai dan dihargai, bahwa Aku berkuasa atas hidupmu dan bahwa tidak ada yang terlewatkan oleh-Ku.

Jangan berfikir tentang apa yang akan terjadi dan bagaimana segala sesuatunya akan berproses.

Sikap lemahmu yang seperti ini memperlihatkan bahwa engkau tidak memiliki rasa percaya yang penuh pada diri-Ku.

Engkau  ingin Aku mengambil alih atau tidak ?
Engkau hanya perlu berhenti khawatir !
Aku akan membimbingmu hanya bila engkau berserah penuh pada-Ku.

Dan bila Aku harus mengarahkanmu di jalan yang sama sekali berbeda dari yang engkau harapkan, maka Aku sendiri yang akan menggendongmu.

Pikiranmulah yang menjadi sumber penyebab kegelisahanmu;
seperti pikiran dan kekhawatiran, serta keinginan untuk menyelesaikan segala sesuatu sendiri.

Sering kali Aku ikut campur tangan dalam keperluanmu untuk spiritual dan material, ketika kemudian engkau berpaling kepada-Ku dan dalam hati berkata, ”Tolong, ambilah ini” yang setelah itu engkau akan menutup matamu dan tidur dalam damai !

Tetapi engkau akan merasakan manfaatnya hanya bila dalam doa-doamu engkau mempercayakan dirimu sepenuhnya kepada-Ku.

Ketika engkau sedang dalam penderitaan, engkau berdoa meminta bantuan-Ku, tetapi yang engkau minta adalah sesuatu yang sesuai dengan keinginanmu sendiri; engkau tidak mempercayakan dirimu pada-Ku, melainkan engkau ingin membuat Aku menyesuaikan diri-Ku dengan keinginanmu.

Engkau seperti pasien yang memberitahu dokter tentang obat apa yang engkau perlukan dan bukannya bertanya kepada dokter tentang obat yang seharusnya diperlukan!
Jangan bersikap seperti itu.

Biarkan pada masa-masa yang sulit pun engkau akan berkata :
” Puji Tuhan dan bersyukur atas masalah yang harus aku hadapi. Mohon buat segala sesuatunya menjadi layak seperti yang Engkau anggap paling baik untuk segala sesuatunya yang bersifat sementara di dunia ini. Engkau mengetahui apa yang diperlukan pada waktunya”.

Bila engkau berkata dengan tulus :
”Jadilah kehendakMu”,
yang juga berarti
”Biarlah Engkau mengambil alih semua ini”.
Maka Aku akan terlibat dengan segenap kekuatan ke-mahakuasaan-Ku dan memecahkan masalah pelik, bahkan yang sepertinya mustahil.

Kadang kala, apakah engkau pernah merasakan bahwa sepertinya kemalangamu justru bertambah dan bukannya berkurang ?

Jangan merasa risau, pejamkan matamu dan dengan penuh keyakinan ucapkan kata-kata ini :
”Engkaulah yang mengambil alih. Jadilah kehendakMu”.

Maka Aku akan mengatasinya, dan bila diperlukan, Aku juga akan membuat sebuah keajaiban.
Aku senantiasa memikirkanmu – Aku hanya bisa membantumu bila engkau mempercayakan dirimu sepenuhnya kepadaKu.

...Jay Sai Ram...





Oleh : Dra. Stefani Yuliawati, Toko "PRASHADAM", Mandir ”Sai Prashada”
Jln. Dukuh Sari 5A, Sesetan - Denpasar
Diterbitkan pertama kali dalam acara peringatan Hari Kelahiran Baba tanggal 23 Nopember 2011

----------------------------