Foto ilustrasi Sumber Internet
Latar Belakang
Manusia Hindu menempatkan siklus lahir hidup dan mati sebagai sebuah prosesi ritual yang bermakna dalam kehidupannya. Kematian bagi umat Hindu adalah awal sebuah perjalanan panjang yang tidak bertepi untuk menikmati karma. Kematian atau meninggalnya seseorang berarti putusnya hubungan dengan dunia nyata atau duniawi yang kemudian akan kembali ke alam baka atau ke akhirat dengan membawa karmanya masing – masing.
Jadi kematian adalah suatu keharusan dari hidup manusia yang kemudian masing-masing bangsa, agama, suku mempunyai cara-cara tersendiri untuk memberikan penghormatan terakhirnya sebagai manusia yang memiliki peradaban budaya.
Khususnya di Bali, umat yang menganut Agama Hindu menganut kepercayaan adanya upacara pembakaran jenazah atau kremasi yang sering disebut dengan Ngaben. Di dalam Panca Yadnya, upacara ini termasuk dalam Pitra Yadnya, yaitu upacara yang ditujukan untuk roh lelulur. Tujuan upacara ngaben adalah agar ragha sarira (badan / Tubuh) cepat dapat kembali ke asalnya, yaitu Panca Maha Bhuta di alam ini dan Atma selamat dapat pergi ke alam pitra.
Namun proses kematian ini menjadi rumit, ketika dibangun oleh budaya dengan tingkat rigiditas yang tinggi (kaku). Umat Hindu sering terjebak 'proses megah' prosesi ritual yang menelan biaya tinggi dengan mengabaikan kemampuan yang melakukan upacara.
Sejatinya biaya upakara untuk prosesi ngaben di Bali tidak mahal berdasarkan sastra. Biaya tinggi karena menjelimetnya adat yang sering tak bersahabat yang membuat biaya upacara itu membengkak, seperti kadang-kadang karena gengsi, jadi upacaranya harus besar secara kwantitas, sehingga penggunaan banten juga di “besar-besar”. Ada pendapat yang mengatakan, terlalu banyak upacara adat menyebabkan kemiskinan di Bali (judul Berita SINDONEWS.COM). “Kami akui budaya Bali sangat berat, kebutuhan untuk memenuhi upacara adat cukup banyak faktor itu juga menjadi salah satu penyebab kemiskinan. Sekarang ini bagaimana caranya upacara mereka sekedarnya saja tidak jor-joran,” ujar Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa Ketut Lihadnyana, kepada wartawan, Kamis (3/7/2014).
http://daerah.sindonews.com/read/879493/27/kemiskinan-di-bali-akibat-banyaknya-upacara-adat SINDONEWS.COM
Selain adat yang kadang-kadang rumit, juga kasus-kasus adat termasuk masalah menjaga "status warga adat" sering kali menimbulkan masalah ketika orang meninggal. Masalah penyelesaian status warga adat ini terutama banyak dihadapi oleh keluarga yang sudah lama merantau meninggalkan desanya untuk mencari nafkah, dan abai dengan kewajiban-kewajibannya sebagai warga adat. Kejadian - kejadian akibat dari permasalahan adat yang sering kali terjadi di Bali, sangat merugikan orang / krama Bali itu sendiri, akibatnya menjadi suatu momok dan permasalah psikologis bagi orang Bali.
Kasus-kasus adat dapat di klik disini https://www.facebook.com/notes/ketut-darmita/kasus-kasus-adat-di-bali/149062338480266
Banjar hendaknya adalah sebagai lembaga pembantu dan bukan malah menjadi beban psikologis & pesikis bahkan menjadi pengadilan sosial bagi masyarakat Bali itu sendiri, sehingga pelaksanaan kedah-kaedah budaya Bali yang tertuang dalam konsep banjar yakni suka duka larapati, paras paros sarpa naya, selunglung sebayantaka tidak semakin tenggelam bahkan cendrung hilang akibat perkembangan jaman, sehingga mengakibatkan orang Bali tidak akan mampu memberikan warisan budaya yang luhur di Bali ini, suatu saat nanti budaya-budaya akan menjadi hanya wacana saja.
Krematoriun Solusi
Akibat dari adanya pergeseran-pergeseran budaya timbul berbagai solusi-solusi yang baru salah satunya di dalam pengabenan ada “krematorium”, hal tersebut tidak salah dan sah-sah saja, tidak semua orang bermasalah melakukan pengabenan di tempat tersebut, namun semua itu akan kembali ke pilihan diri kita sendiri.
Krematorium yang berlokasi di Desa Kedua, Denpasar Utara, Krematorium Santha Yana
beroperasi sejak tahun 2009 atas inisiatif Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi (MGPSSR), perkumpulan warga dari keturunan soroh (klan) Pasek. Ini merupakan krematorium pertama yang diperuntukkan bagi umat Hindu. Sebelumnya, dua krematorium sebenarnya sudah berdiri di kawasan Mumbul, Nusa Dua, namun tidak secara spesifik diperuntukkan bagi umat Hindu. “Krematorium ini dibangun untuk menjawab permasalahan umat,” kata Ketua Umum Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi (MGPSSR), Prof. Dr. dr. I Wayan Wita, Sp. JP (K)
Guru besar di Kedokteran Universitas Udayana itu menjelaskan, ide pembangunan krematorium Santha Yana berawal dari keresahan atas berbagai permasalahan yang dihadapi umat Hindu di Bali seperti penyelesaian status warga adat, konflik adat, yang berbuntut pada perebutan tanah setra, hingga beban ekonomi yang menyebabkan tingginya biaya pelaksanaan upacara ngaben.
“Secara ekonomi, warga resah dengan tingginya biaya ngaben. Ini menjadi salah satu yang mendasari ide pembangunan Krematorium Santha Yana,” jelas Wita. Di samping masalah ekonomi, pembangunan krematorium juga didasarkan pada maraknya konflik adat di Bali, yang seringkali berujung pada terhambatnya proses upacara ngaben dari pihak warga yang berkonflik.
Krematorium tidak lagi menggunakan bade untuk pengangkutan jenazah, namun diperuntukkan ambulans. Sehingga bisa dihemat. Meski cenderung lebih sederhana, seluruh prosesi upacara ngaben di Krematorium Santha Yana tetap dilaksanakan sesuai sastra atau ajaran agama. “Kalau ditinjau dari segi agama tidak ada bedanya, semua proses di sini sesuai dengan anjuran agama. Krematorium itu kan bentuk dari kemajuan zaman. Intinya sama, yaitu ngaben,” jelas Mangku Putu Mas Sujana, Ketua Bidang Upakara MGPSSR.
Sekarang tidak hanya jenazah “bermasalah” yang ditangani Krematorium Santha Yana. Tidak sedikit pula masyarakat yang sama sekali tidak terkait dengan masalah adat memanfaatkan krematorium dengan berbagai alasan. “Alasannya umumnya karena ekonomis, praktis, prosesinya lebih cepat, dan semua itu tanpa melanggar ajaran agama,” ucap Wenen - Ketua Bidang Hukum, Humas, dan Advokasi MGPSSR. Seorang warga negara Belgia juga sempat dikremasi di tempat ini. “Warga Belgia itu dikremasi di sini sesuai dengan wasiat yang dia tinggalkan,” kata Wenen .
Lalu, apakah krematorium memang menjadi kebutuhan umat Hindu? Kalau penjelasannya ya, bagaimana keberadaan krematorium ini bisa bersinergi dengan tatanan adat yang sudah ada, sehingga dapat meminimalkan terjadinya konflik antara pengusung adat dan kepraktisan beragama? Masalah ini memang menarik untuk diungkapkan sebagai sebuah pemikiran, bahwa ke depan umat Hindu dihadapkan pada dimensi-dimensi baru yang beragam, karena interaksi antar manusia dalam suatu perkampungan global tak dapat dihindarkan.
Perkampungan global membuat dimensi agama hadir dengan peran baru, yaitu peran sosial. Lebih khusus agama sebagai perekat sosial yang merekatkan potensi – potensi antagonistik antar individu dalam masyarakat.
Khususnya umat Hindu di Bali, perekat-perekat sosial dibangun atas konsepsi ”Tat Twam Asi”. Di dimensi itu, ketika tatanan sosial yang dibangun oleh roh agama, sehingga menghasilkan tafsir yang kerap tidak sesuai dengan zaman, maka perlu dilakukan revisi dan perubahan ke arah kemajuan yang lebih dinamis. Oleh karena itu, dari sudut pandang inilah keberadaan krematorium dan rumah duka yang seperti banyak yayasan yang dimiliki Tionghoa, menarik untuk diingat, yang mungkin bisa dimodifikasi oleh umat Hindu, baik di Bali maupun di luar Bali.
Harus diakui, bahwa ketika banyak adat sering tidak ramah, ketika sulitnya mendapatkan tanah kuburan bagi umat Hindu di rantau, krematorium itu menjadi semacam solusi jitu, Krematorium juga memiliki aspek higienis dalam tata kelola jenazah.***