Adakah Kaitannya Pengarakan Ogoh-Ogoh Dengan Nyepi?
Hari Raya Nyepi yang dirayakan setahun sekali pada Sasih Kesenge oleh umat Hindu dengan pengarakan ogoh-ogoh, khususnya di Bali diidentikkan dengan Perayaan Tahun Baru Saka.
Hal ini menarik untuk disimak mengingat tidak semua umat Hindu di Indonesia mengarak ogoh-ogoh dalam rangka merayakan Tahun Baru Saka. Atau apakah Hari Raya Nyepi untuk memperingati ketika dunia diciptakan pertama kali oleh Ida Hyang Widhi Wasa mengingat sebelum dunia diciptakan keadaannya Sepi, sehingga umat Hindu melaksanakan Nyepi (Sipeng) membuat sepi-sepian?
Pada mulanya sebelum alam semesta diciptakan ini kosong, yang ada hanya Tuhan, sering disebut jaman "duk tan hana paran-paran anrawang anruwung", artinya ketika itu belum ada apa-apa dan semuanya tidak menentu. Keadaan sebelum dunia diciptakan dianggap sebagai keadaan “gelap”, yang disebut sebagai “Tamas”. Tamas adalah salah satu dari tiga guna (sifat) yang ada dalam alam semesta, yaitu :
1. Sattva (Terang)
Sattva adalah sifat yang terkait dengan terang, kesadaran, dan kebijaksanaan.
2. Rajas (Gerak)
Rajas adalah sifat yang terkait dengan gerak, aktivitas, dan perubahan.
3. Tamas (Gelap)
Tamas adalah sifat yang terkait dengan kegelapan, dan ketidaktahuan.
Dalam sebelum keadaan dunia diciptakan, Tamas sebagai sifat yang dominan, sehingga keadaan tersebut dianggap sebagai keadaan gelap . Namun, dengan terciptanya dunia, Sattva dan Rajas mulai berperan, sehingga keadaan gelap mulai berubah menjadi terang.
Dalam agama Hindu, keadaan sebelum dunia diciptakan dianggap sebagai keadaan gelap, karena beberapa alasan yang terkait dengan filosofi dan mitologi Hindu :
1. Mitologi Menurut Hindu, awal penciptaan alam semesta dimulai dengan kesunyian dan ketenangan. Tuhan Brahma, pencipta alam semesta, menciptakan alam semesta dari kenyamanan, kesunyian dari kehampaan, yang ada hanya kegelapan.2. Dalam filosofi Hindu, ada siklus penciptaan dan siklus yang terus-menerus. Kesunyian dan kenyamanan sebagai awal dari siklus baru, di mana kesunyian dan kenyamanan menjadi simbol dari awal penciptaan yang baru.
3. Kesunyian dan ketenangan juga dianggap sebagai cara untuk membersihkan diri dari dosa-dosa dan kotoran-kotoran spiritual. Dengan berdiam diri dan tidak melakukan aktivitas apapun (tidak melakukan aktivitas seperti biasa), umat Hindu dapat memusatkan diri pada spiritualitas dan melakukan instrospeksi diri apa yang sudah dilakukan dalam setahun yang sudah lewat, dan merencanakan apa yang baik yang akan dilakukan tahun mendatang.
4. Kesunyian dan ketenangan juga dianggap sebagai cara berbakti kepada Tuhan. Dengan berdiam diri dan tidak melakukan aktivitas apa pun (Samadi), umat Hindu dapat mendengarkan hati nuraninya, "Silence Is Brahman," artinya : "Keheningan adalah Brahman".
Kesunyian / keheningan yang dipraktikkan selama Nyepi melambangkan kontemplasi dan memungkinkan Umat Hindu untuk merenungkan kehidupan mereka, menilai perbuatan mereka selama ini. Selain itu, Nyepi juga merupakan cara untuk menjaga keseimbangan hubungan antar manusia, manusia dengan alam, dan manusia dengan Tuhan.
Sehari sebelum Nyepi, umat Hindu melaksanakan upacara Buta Yadnya, mulai dari masing-masing keluarga, banjar, desa, kecamatan, dan seterusnya, dengan mengambil salah satu dari jenis-jenis caru menurut kemampuannya. Buta Yadnya itu masing-masing bernama Pañca Sata (kecil), Pañca Sanak (sedang), dan Tawur Agung (besar). Tawur atau pecaruan merupakan penyucian pemarisuda Buta Kala, dan segala leteh (kekotoran) diharapkan sirna semuanya. Kemudian pada sandyakala melakukan ngerupuk/ mebuu-buu dimulai dari lingkungan rumah lebih dulu, dilaksanakan ramai-ramai bersama keluarga yang dilengkapi dengan sarana pokok ngerupuk berupa gni seprapak (meobor obor), semburakena (simbuh atau semburkan) bawang putih, mesui dan jangu (triketuka), sirat tirta panyomya bhuta, memukul bunyi-bunyian berupa kaleng bekas, peralatan dapur, kentongan bambu dan lain-lain. Setelah itu barulah dilanjutkan keluar ke jalan raya bergabung dengan teman-teman kelompok/banjar lainnya.
Keesokan harinya, adalah Hari Raya Nyepi. Pada hari Nyepi ini umat Hindu melaksanakan "Catur Brata Penyepian", yang terdiri dari :
Amati Gni, yaitu tidak menyalakan api/lampu termasuk api nafsu yang mengandung makna pengendalian diri dari segala bentuk angkara murka.
Amati Karya, yaitu tidak melakukan kegiatan fisik/kerja dan yang terpenting adalah melakukan aktivitas rohani untuk penyucian diri.
Amati Lelungan, yaitu tidak berpergian, akan tetapi senantiasa introspeksi diri/mawas diri dengan memusatkan pikiran astiti bhakti kehadapan Ida Sang Hyang Widhi /Ista Dewata.
Amati Lelanguan, yaitu tidak mengadakan hiburan/rekreasi yang bertujuan untuk bersenang-senang, melainkan tekun melatih bathin untuk mencapai produktivitas rohani
yang tinggi.
Nyepi diperingati dengan kesunyian dan keheningan (Sipeng yang berarti Sepi) membuat Sepi-sepian sebagai cara untuk mengingat awal penciptaan semesta. Jadi Nyepi bukan dalam rangka memperingati Tahun Baru Saka.
Rangkaian terakhir dari perayaan Nyepi yaitu Ngembak Geni besoknya mulai pkl 06.00. Ngembak Geni pertanda sudah berakhir Catur Brata penyepian masyarakat sudah boleh melakukan aktivitas seperti biasa.
Sejak tahun 1983 Hari Raya Nyepi dan Hari Raya Waisak ditetapkan oleh pemerintah sebagai Hari Libur Nasional, berdasarkan Keputusan Presiden Indonesia Nomor 3 tahun 1983 tanggal 19 Januari 1983.
Dengan perkembangan zaman, dimana Nyepi kebetulan berdekatan dengan Tahun Baru Saka, sehingga Hari Raya Nyepi dianggap memperingati Tahun Baru Saka, yang diisi dengan pengarakan Ogoh-ogoh.
Pengarakan ogoh - ogoh yang berlangsung setiap tahun pada saat pengerupukan bukan bagian dari ritual perayaan Nyepi, namun merupakan kreativitas budaya yang lebih menonjolkan ekspresi seni (Buku Panduan Ogoh-ogoh Pengerupukan, hal: 20, poin 3, Dinas Kebudayaan Kota Denpasar 2011).
Menurut I Bagus Putu Sudarmaya (dalam artikel), mulai tahun 1966 pelaksanaan pengerupukan di Badung dipusatkan atau berkumpul terlebih dulu di Lapangan Puputan Badung/I Gusti Ngurah Made Agung kemudian bergerak keliling kota Denpasar. Pada saat itu ada salah satu kelompok/ banjar yang membawa 9 buah obor yang dirangkai menjadi satu dengan ikatan bambu yang dibuat bercabang-cabang yang sudah dililitkan jerami sebagai bentuk kreativitas atau bentuk lain dari obor yang biasa dibawa orang pada umumnya. Kemudian dengan berbaris rapi semua para peserta pawai obor diberi kesempatan masuk ke depan/teras Kantor Gubernur/rumah tempat tinggal Gubernur dengan berbaris 2 secara tertib dan rapi sambil membawa obor untuk mendapat sapaan / lambaian tangan dari Bapak Gubernur Mertha pada waktu itu (kalau tidak salah). Namun, obor kreativitas yang tingginya sekitar 3 meter tidak bisa masuk karena terhalang oleh atap beton di depan teras Kantor Gubernur, sehingga obor kreativitas langsung saja bergerak ke timur di Jl. Surapati, belok ke Jl. Melati terus keliling Kota Denpasar yang diikuti oleh peserta pawai obor.
''Kreativitas obor'' inilah dianggap sebagai cikal bakal ogoh-ogoh yang ada sekarang ini, karena setelah tahun 1967, setiap acara pengerupukan makin banyak kelompok/banjar yang membawa obor kreatif dengan berbagai macam ragam bentuk dan kreasi. Kemudian berkembang sehingga setiap pengerupukan semua kelompok peserta hanya membawa (menggotong/mendorong dengan kereta) ogoh-ogoh, tanpa ada yang membawa api obor lagi sebagai sarana utama pengerupukan.
Karena tidak ada hubungannya dengan hari raya Nyepi, maka jelaslah ogoh-ogoh itu tidak mutlak ada dalam upacara Nyepi. Seperti selama Covid-19 tidak ada pengarakan ogoh-ogoh saat perayaan Nyepi. Namun, ogoh-ogoh itu tetap boleh dibuat sebagai pelengkap kemeriahan upacara.
Sekarang dengan adanya pengarakan ogoh-ogoh setiap perayaan Nyepi hampir diseluruh Bali bahkan sudah mulai berkembang di luar Bali, maka masyarakat Hindu di Bali khususnya mendapatkan hiburan sebelum besoknya melaksanakan Brata Penyepian. Hanya saja ada kekawatiran, bahwa anak-anak, cucu-cucu tidak mengetahui bahwa mebuu-buu / ngerupuklah yang sakral bagian dari Tawur ke Sange, bukan pengarakan Ogoh-ogoh nya.
Sekian yang dapat saya sampaikan ini hanya tafsir saya apabila ada yang tidak tepat saya mohon maaf. Suksma🙏
__________