Jumat, 21 Maret 2025

CATUR YUGA DALAM HINDU

Situasi Dunia ditinjau dari teori Catur Yuga menurut Agama Hindu

Foto hanya Ilustrasi, Sumber Internet.


Agama Hindu mengenal adanya empat zaman yang disebut dengan 'Catur Yuga'. Catur Yuga adalah konsep dalam agama Hindu yang menggambarkan siklus empat zaman atau periode dalam kehidupan manusia. Kata "Catur" berarti "empat" dalam bahasa Sanskerta, sedangkan "Yuga" berarti "zaman" atau "periode", yakni Satyayuga atau Kertayuga, Tretayuga, Dwaparayuga, dan Kaliyuga.

Siklus perkembangan zaman yang terjadi di muka bumi Kerta Yuga, Treta Yuga, Dwapara Yuga dan Kali Yuga, keempatnya ini berlangsung selama 12.000 th dewa atau sama dengan  4.320.000 th manusia, ini disebut dengan Maha Yuga; 1.000 Mahayuga sama dengan 1 hari Brahman. (Pancaran Bhagawata jilid II, hal 66).

Foto hanya Ilustrasi, Sumber Internet


Kerta Yuga
Zaman Kerta yuga ibarat lembu yang berdiri dengan empat kaki (moralitas sepenuhnya), kaki-kaki Dharma yaitu : Sathya (Kebenaran), Prema (Belas Kasih), Tapa (Pengendalian Diri, dan Dana (Amal, sedekah).
Pada zaman Kerta adalah masa yang penuh kedamaian. Tidak ada manusia yang berbuat adharma walaupun hanya dalam pikiran. Manusia pada masa ini selalu mematuhi ajaran-ajaran kebenaran dan tiada pernah menyakiti makhluk lain, baik dalam pikiran, perkataan dan perbuatan (Advestha Sarva Bhutaman). Masa Kertayuga berlangsung selama 4000 th dewa, hal ini ditambahkan lagi masa transisi 800 th dewa, sehingga total masa Kerta Yuga 4.800 th dewa atau 1.728.000 th manusia, (1 th dewa sama dg 360 th manusia). Usia manusia pada zaman Kerta yuga rata-rata 400 th. Pada masa Kerta Yuga, hal - hal yang paling utama yaitu Dhyana (bermeditasi atau mengheningkan pikiran). Hal ini berarti, bermeditasi dan memusatkan pikiran kepada Tuhan sebagai hal yang utama. Orang - orang yang melakukan meditasi dan memusatkan pikiran akan mendapatkan penghormatan dari orang lain.


Treta Yuga
Zaman Treta Yuga seperti lembu yang berdiri dengan tiga kaki. Pada masa ini sdh mulai terjadi kemerosotan moral manusia. Pikiran manusia mulai tercemar. Pada masa Treta Yuga, Sadana spiritual yang paling utama yaitu Yajna (ritual keagamaan). Siapapun yang mengadakan ritual, baik itu orang kaya maupun miskin akan mendapatkan penghormatan dan mendapatkan keistimewaan.

Masa Treta Yuga berlangsung selama
3.000 th dewa hal ini ditambahkan lagi masa transisi 600 th dewa, sehingga total masa Treta Yuga 3.600 th dewa atau 1.296.000 th manusia. Usia manusia pada zaman Treta yuga rata-rata 300 th.


Dwapara Yuga
Dwaparayuga seperti lembu dengan dua kaki. Pada masa Dwaparayuga, dharma hanya berdiri dg 2 kaki. Moral manusia sdh merosot setengahnya. Antara kebajikan dan kejahatan secara kwantitatif seimbang 50%. Kelicikan dan kebohongan mulai terlihat. Zaman Dwaparayuga berlangsung 2.000 th dewa, hal ini ditambahkan lagi masa transisi 400 th dewa, sehingga total masa Dwapara Yuga 2.400 th dewa atau sm dg 864.000 th manusia. Sadana spiritual pada zaman Dwapara Yuga adalah Sujud pada Kaki Padma.
Usia manusia pada zaman ini rata-rata 200 th. Pada saat perang Kuru Ksetra usia kakek Bisma sekitar 125 th, Krisna 76 th, Arjuna 74 th. Kalau zaman skrang org yg berumur 125 th sdh tergeletak di tempat tidur, tdk berdaya, namun Kakek Bisa diusia 125 th masih mampu berperang dg gagah berani sehat walafiat.


Kali Yuga
Kali Yuga Dharma hanya dengan dengan satu kaki, disebut juga zaman kehancuran. Kaliyuga berlangsung 1.000 th dewa, hal ini ditambahkan lagi masa transisi 200 th dewa, sehingga total masa Kali Yuga 1.200 th dewa atau sama dengan 432.000 th manusia. Sadana spiritual pada zaman Kali Yuga adalah dengan menyanyikan Nama-Nama Suci Tuhan (Namasmaranam) atau Bhajan.
Usia manusia pada zaman kali rata-rata 100 th, bahkan skrang sdh  banyak dibawah 100 th.
Pada zaman kali ini, moralitas tidak bisa berdiri lagi dengan seimbang, murid - murid berani melawan gurunya, banyak anak mulai membantah perkataan orang tua. Banyak manusia yang mencari nafkah dengan tidak jujur, korupsi merajalela, org2 tidak malu-malu lagi berbuat dosa, antara yg diucapkan dengan yg dikerjakan tdk sesuai alias  bohong, serta banyak lagi kepalsuan, dan tindak kekerasan. Di kota - kota besar panti pijat dan sarang pelacuran menjadi hiburan tersendiri bagi lelaki hudang belang. Wanita - wanita dengan pakaian mini dipajang dalam ruangan kaca (bagaikan aquarium) siap dibocking oleh lelaki hidung belang. Begitu jatuhnya moral manusia. Pada masa Kali Yuga hal - hal yang paling utama yaitu uang. Asalkan orang-orang memiliki uang maka akan mendapatkan penghormatan dan berkuasa. Uang mampu membeli hukum dan jabatan. Orang-orang dengan kekuasaan mulai bersikap semena-mena. Budi pekerti tidak lagi dihiraukan, malah orang yang jujur kadang2 akan menjadi bahan ejekan.

Seorang pujangga besar Ranggawarsita mengatakan zaman kali ini dengan istilah zaman edan dalam Serat Kalatida, yang terdiri atas 12 bait tembang Sinom. Salah satu bait ke 7 yang paling terkenal adalah sbb :

"amenangi jaman édan, éwuhaya ing pambudi, mélu ngédan nora tahan, yén tan mélu anglakoni, boya keduman mélik, kaliren wekasanipun, ndilalah kersa Allah, begja-begjaning kang lali, luwih begja kang éling klawan waspada."

Terjemahannya :

(menyaksikan zaman gila, serba susah dalam bertindak, ikut gila tidak akan tahan, tapi kalau tidak mengikuti (gila), tidak akan mendapat bagian, kelaparan pada akhirnya, namun telah menjadi kehendak Allah, sebahagia - bahagianya orang yang lalai, akan lebih bahagia orang yang tetap ingat dan waspada).

Itulah sebabnya perlu “DISUMPAH” setiap pengangkatan pejabat, sidang pengadilan, pengangkatan ASN dll utk meyakinkan bahwa akan bersikap jujur, memberi kesaksian yg jujur. Tapi apakah dengan disumpah akan betul2 memberikan etos kerja yang baik, integritas tinggi, serta menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan tercela? Tergantung orangnya. Sangsi bagi yg melanggar sumpah disebutkan sbb :

"Ih kita sang mahupesaksi anyaksi raga yan tuhu cor ketiba, matemahan mertha, adirgayusa aweta urip, yan" angawe-awe atur tan tuhu, angadu-ada, nyalah bikas, ala pelaksanannia, marep sekeluiring sumpah jabatan, cor katiba matemahan wisia, sinapa den nira Sanghyang Hari Cendani asti ye bhiru pati, kadi lara katemu denta, tan kasupat den nira Pandita, teke siddhimandi, kedep rumusup sabdania Sanghyang Trimurti, Sang Panca Pandita, mrtyu petaka neraka, duka, dursila, papa"

Artinya :

(Wahai kamu yang bersaksi kepada dirimu sendiri, bila benar-benar bersumpah palsu, berbohong, bersikap salah, melanggar sumpah jabatan, kutukan sumpah palsu dikenakan oleh tiga wujud Hyang Widhi dan para Rsi, maut akan mengantarkan kamu ke neraka, didahului oleh kesengsaran, duka nestapa karena kelakuan jahatmu).

Kesempatan menjelma sebagai manusia sangat sulit diperoleh, ini memerlukan berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus kali reinkarnasi, sehingga kesempatan ini hendaknya dimanfaatkan dengan baik dengan merealisasikan ajaran Dharma (Dharmasadhana) seperti yang disebutkan dalam Sarascamuccaya sloka 4 dan 14, sebagai berikut :

"Apang iking dadi wwang, uttama juga ya, nimittaning mangkana, wenang ya tumulung awaknya sangkeng sangsara, makasadhanang cubhakarma, hinganing kottamaning dadi wwang ika”. (Sarasamuccaya, 4).

Terjemahan :

Menjelma menjadi manusia itu adalah sungguh utama; karena dapat menolong dirinya dari keadaan  samsara (menjelma berulang kali), dengan jalan berbuat baik, demikian keuntungan menjelma sebagai manusia (Kajeng, 2001 : 6).

“Ikang dharma ngaranya, hanuning mara ring swargan ika, kadi gatening perahu, an henuning banyage nentasing tasik”. (Sarasamuccaya, 14).

Terjemahan :

Yang disebut dharma, adalah merupakan jalan untuk pergi ke sorga; sebagai halnya perahu, sesungguhnya adalah merupakan alat bagi orang dagang mengarungi lautan (Kajeng, 2001 : 11).

Tidak seorangpun bisa menghindarkan diri dari pengaruh zaman kali atau zaman edan secara total, minimal tahu dan sadar bahwa kita ibarat orang tenggelam jangan sampai kepalanya juga tenggelam sehingga buta sama sekali.
Seperti yg disebutkan diatas kalau tdk ikut gila akan tdk dpt bagian, ibarat mencelup ke air yg kotor jangan sampai kepala jg kotor, cukup telapak kaki saja yang kotor.


Periode dari Satya Yuga hingga Kali Yuga dikenal sebagai satu Mahayuga yg lamanya 4.320.000 tahun manusia. Setelah Mahayuga maka terjadi suatu periode yang disebut Manwantara. Setelah Manwantara, maka tercapailah suatu periode yang disebut Kalpa. Kalpa adalah hari Brahma. Satu Kalpa = 1 hari Brahma yang berlangsung selama 1.000 Mahayuga (Catur Yuga).
Menurut ajaran Hindu, pada saat mencapai periode tersebut, alam semesta dihancurkan dan dimulai kembali dari awal zaman.

Foto hanya Ilustrasi Sumber Internet


Daftar pustaka :


  1. ‌Baba, Bhagawan Sri Sathya Sai. 1993. Pancaran Dharma (Dharma Vahini), wejangan Bhagawan Sri Sathya Sai Baba, disunting oleh Dra. Retno S. Buntoro. Jakarta : Yayasan Shri Sathya Sai Indonesia.
  2. Baba, Bhagawan Sri Sathya Sai. 1993. Pancaran Bhagawata, jilid II wejangan Bhagawan Sri Sathya Sai Baba, alih Bahasa Dra. Retno S. Buntoro. Jakarta : Yayasan Shri Sathya Sai Indonesia.
  3. Drucker, A. 1991. Intisari Bhagawadgita, wejangan Bhagawan Sri Sathya Sai Baba, alih Bahasa Drs. I Wayan Sadia. Jakarta : Yayasan Shri Sathya Sai Indonesia.
  4. Jendra, I Wayan. 1991.  Kidung Suci  (Bhajan), Ungkapan Bahasa Bakti yang paling efektif dan Komunikatif pada Zaman Kali. Denpasar : Sai Study Group Bali.
  5. Jendra, I Wayan. 1996. Variasi Bahasa, Kedudukan dan Peran Bhagawan Shri Sathya Sai Baba,  dalam Agama Hindu. Surabaya : Paramita.
  6. Kajeng, I Nyoman dkk. 2001. Sarasamuccaya. Pemerintah Propinsi Bali.
  7. Pendit,  Nyoman S. 2002. Bhagawadgita. Jakarta : PT. Gramedia.

----------

Selasa, 04 Maret 2025

MASUKNYA AGAMA HINDU KE BALI


Asal Nama Hindu

            Nama Hindu berasal dari nama sebuah sungai di India bernama sungai Sindhu. Sekelompok suku bangsa Arya yang menetap disekitar sungai Sindhu, orang-orang Parsi mengutarakan orang-orang Hindhu. Hindu merupakan bentuk perubahan kata Shindu menjadi Hindhu. Suku bangsa Arya tersebar ke seluruh dataran sungai Gangga lalu orang-orang Parsi menamakannya Hindhustan atau kediaman orang-orang Hindhu di seluruh kawasan antara Punyab dan Benares (Sivananda, 1993 : 7).


          Sebelum Agama Hindu masuk dan berkembang di Indonesia, masyarakat Indonesia atau penduduk asli Indonesia telah memiliki kepercayaan. Kepercayaan mereka disebut sebagai kepercayaan prasejarah yang kemudian ketika Indonesia merdeka disebut sebagai aliran kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Para antropolog menyebut sebagai agama suku, agama asli atau agama primitif dan dewasa ini umumnya disebut sebagai agama animisme yang percaya kepada eksistensi roh atau arwah, dan kekuatan alam yang disebut dinamisme.

 
            Agama Hindu masuk ke Indonesia kira-kira pada abad ke 1 yaitu sekitar tahun 78 Masehi, yang disebarluaskan oleh Sang Hyang Aji Caka (Raka Santri, dalam Cendekiawan Hindu Bicara, 1992 : 99). Beliau pula yang memulai memperkenalkan tahun Caka di Indonesia. Pada abad ke 4 yaitu tahun 400 Masehi, Agama Hindu berkembang di Kalimantan Timur dengan ditandai kerajaan Kutai dengan rajanya bernama Mulawarman, kemudian menyebar ke Jawa Barat kira-kira pada abad ke 5 (kerajaan Taruma Negara), kemudian ke Jawa Tengah kira-kira pertengahan abad ke 7 (kerajaan Medangkemulan). Sedangkan di Jawa Timur Agama Hindu mulai berkembang pada pertengahan abad ke 8 (prasasti Dinoyo) dengan kerajaan Kanjurukan, dan akhirnya melintasi ke Bali.

Foto hanya Ilustrasi
Sumber : Internet.

Agama Hindu ke Bali


         Tidak jelas kapan sebenarnya Agama Hindu mulai masuk ke Bali. Tetapi secara tradisional Rsi Markandeya (pendeta Hindu Siwa Tatwa asal India) dianggap sebagai penyebar Agama Hindu yang pertama datang ke Bali sekitar abad ke-8. Agama Hindu masuk ke Bali tidak sulit diterima oleh masyarakat Bali, karena ada persamaan dalam keyakinan dengan agama prasejarah Bali. Dari peninggalan-peninggalan arkeologis yang dapat dijumpai pada zaman pra sejarah Bali, dapat diambil kesimpulan bahwa pra masyarakat Bali telah memliki kepercayaan yang telah bersistem meskipun dalam wujud yang masih sederhana. Kepercayaan itu adalah seperti dibawah ini.
  1. Pada zaman prasejarah Bali telah ada kepercayaan kepada gunung sebagai alam arwah tempat bersemayamnya roh nenek moyang. Gunung sebagai ciptaan Tuhan Yang Mahakuasa dirasakan langsung memberikan kehidupan kepada manusia berupa kesuburan pertanian, karena pohon-pohon besar yang berguna bagi kehidupan dan sumber-sumber mata air berasal dari gunung. Di sampingnya penguburan sarkofagus itu mengarah ke gunung dan laut. Gunung dan laut melambangkan laki-laki dan perempuan. Pertemuan gunung dan laut atau laki-laki dan perempuan menciptakan kesuburan yang didambakan oleh setiap manusia yang lahir ke dunia ini.
  2. Adanya kepercayaan alam nyata dan tidak nyata. Alam nyata ini tempat kehidupan di dunia ini, sedangkan alam tidak nyata adalah alam yang dituju oleh orang yang telah meninggal. Dan di alam yang tidak nyata itu pun ada kemungkinan kembali ke alam nyata.
  3. Adanya kepercayaan bahwa setelah mati, ada kehidupan di alam lain dan akan menjelma kembali, ini berarti sebelum masuknya Agama Hindu ke Bali telah ada unsur-unsur kepercayaan pada asal usul kelahiran kembali.
  4. Adanya kepercayaan kepada roh nenek moyang atau leluhur yang dapat dimintai perlindungan oleh keturunannya (Putra, 1987:53).

      Masuknya Agama Hindu di Bali tidak merusak atau melenyapkan kepercayaan atau kebudayaan, dan bahkan dalam hal tertentu sangat menghargai kepercayaan dan tradisi budaya masyarakat asli. Hal ini dapat diketahui antara lain dari prasasti Tarunyan yang berasal dari tahun 818 Saka (896 M), yang menceritakan tentang pemberian ijin kepada nanyakan pradhana dan bhiksu agar membangun sebuah kuil untuk Hyang Api di desa Banua Bharu. Prasasti lainnya yang berasal dari tahun 813 Saka (891 M) berisi tentang pemberian ijin kepada penduduk desa Trunyan untuk membangun kuil bagi Bhatara Da Tonta (Titib, 2007 : 40).


            Pada abad ke 8 Rsi Markandeya bersama pengikutnya berjumlah sekitar 800 orang dari Gunung Raung (Jatim) datang ke Bali menuju Gunung Agung (Tolangkir). Rsi Markandeya bersama-sama dengan pengikutnya merabas hutan, hutan yang dulunya sangat angker karena tidak pernah dijamah oleh manusia sedikit demi sedikit mulai terbuka. Dalam proses pembukaan lahan tersebut banyak pengikutnya yang jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia. Rsi Markandeya menganggap secara spiritual hal ini sangat aneh. Untuk mengatasi keadaan Rsi Markandeya kembali ke Gunung Raung kemudian disana Beliau melakukan yoga semadi untuk memohon wahyu. Setelah mendapat wahyu Rsi Markandeya kembali lagi ke Bali dengan pengikutnya sekitar 400 orang. Tiba di Gunung Agung Rsi Markandeya membangun bangunan di daerah Besakih dengan dasar Panca Datu (emas, perak tembaga, besi dan kuningan, ke lima logam tersebut dicampur). Bangunan pemujaan itu sekarang dikenal dengan nama Pura Besakih.


          Berkat kekuatan Panca Datu itulah pula perabasan hutan / pembukaan lahan dan pembangunan desa adat berlanjut, tetapi bukan dilereng Gunung Agung melainkan di Desa Taro, Kabupaten Gianyar. Ini mungkin Desa Adat pertama di Bali lengkap dengan nama Pura Gunung Raung. Rsi Markandeya juga memperkenalkan sistem pengairan / irigasi yang sekarang disebut subak. Dalam penyebaran Agama Hindu di Bali, Rsi Markandeya juga membangun Pura Pucak Payogan, Pura Lebah di Ubud, dan Pura Murwa di Payangan. Bersamaan dengan agama Hindu pada abad ke 8 masuk juga Agama Buddha ke Bali, namun nampaknya Agama Buddha kurang mendapat simpati dari masyarakat sehingga pada pemerintahan Raja Udayana yang ke 10 agama Buddha akhirnya luluh ke dalam Hindu.


 
            Pada masa Bali Kuno abad ke 10 merupakan masa tumbuh dan berkembangnya Agama Hindu yang mencapai puncak kejayaan dengan ditandai oleh berkuasanya raja suami istri Dharma Udayana dan Gunapriya Darmapatni. Pada masa itu di Bali banyak sekte-sekte (menurut Dr. Goris dalam buku tentang sekte-sekta di Bali) sejumlah 9 sekte yaitu : Sekta Siwa Sidhanta, Sekta Pasupata, Sekta Bhairawa, Sekta Waisnawa, Bhoda (Sogata), Bhrahmana, Resi, Sora (Surya), dan Ganapatya.

Situasi dan kondisi politik pulau Bali sempat tidak stabil hal ini menyebabkan raja Cri Gunapriya Darmapatni mengundang 4 Bhrahmana (Pandita) bersaudara untuk datang ke Bali yaitu : Mpu Gnijaya, Mpu Semeru, Mpu Gana, dan Mpu Kuturan. Keempat Bhrahmana ini kelahiran Bali kemudian bersama-sama melakukan tapa brata yoga semadi di Gunung Semeru (Jatim) untuk memuja leluhurnya bernama Bhatara Hyang Pacupati.


          Para Bhrahmana tersebut bukan saja ahli dalam bidang agama, namun juga ahli dalam bidang sosial politik, sosial budaya dsbnya. Mpu Kuturan (Mpu Rajakerta) dipilih dan diangkat menjadi Senopati (semacam perdana menteri) merangkap jabatan Ketua Majelis “Pakira-kiran Ijro Makabehan” yaitu suatu Lembaga Tertinggi yang bertugas dan berfungsi memberikan nasihat kepada Raja. Majelis ini beranggotakan seluruh tokoh masyarakat termasuk Pandita.

 
            Sebagai ketua Majelis, Mpu Kuturan kemudian mengadakan pesamuhan Agung yang dihadiri oleh penganut-penganut sekte dan agama pada waktu itu. Dalam pesamuhan tersebut Mpu Kuturan menyampaikan buah pikiran, gagasan dan ide yang dianggap bisa mengatasi keadaan politik yang terjadi di masyarakat. Setelah ide-ide Mpu Kuturan dibahas dan disertai dengan argumentasi yang kuat, maka ide-ide Mpu Kuturan tersebut dapat diterima dan menjadi keputusan. Keputusan tersebut bersifat perubahan dan perbaikan yang mencakup hampir seluruh aspek kehidupan dalam bidang sosial, politik, bisnis dsbnya yang dapat menciptakan suasana aman, tertib, kerukunan hidup serta persatuan seluruh rakyat Bali.


            Pesamuhan tersebut menghasilkan 5 keputusan yang disebut “Panca Putusing Paruman” yaitu :

  1. Paham Tri Murti dijadikan dasar keagamaan
  2. Agama disebut agama Ciwa Buddha sebagai satu-satunya agama yang dianut masyarakat Bali
  3. Dibentuk organisasi desa yang disebut Desa Pakraman, dan pada setiap desa Pakraman agar Didirikan Khayangan Tiga (Pura Desa, Pura Puseh, Pura Dalem).
  4. Pada masing-masing rumah tangga agar dibangun Pelinggih (bangunan suci) berbentuk rong tiga yang terdapat pada setiap pemerajan untuk memuja dan memuliakan arwah leluhur, juga berfungsi sebagai Khayangan Tiga keluarga.
  5. Semua tanah pakraman dan tanah yang terletak di sekitar Desa Pakraman dan Pura Khayangan Tiga adalah milik Desa, yang berarti juga milik Pura Khayangan Tiga dan tanah-tanah tersebut hanya boleh dipinjamkan oleh krama desa adat yang bersangkutan dan tidak boleh dipindahtangan / di jual. Dalam perkembangannya kemudian dikenal dengan Desa Adat.

           

             Demikianlah para Rsi dan Mpu yang datang ke Bali, ibarat sumber mata air Weda yang menggenangi danau budaya lokal. Rsi Markandya memperkenalkan Panca Datu, membangun subak, sistem irigasi yang bersifat sosial religius. Mpu Kuturan kemudian merehabilitasi Pura Besakih yang dibuat oleh Rsi Markandeya, memperkuat ikatan ke agamaan ke dalam budaya lokal itu dengan menyempurnakan sistem adat yang juga bersifat sosial keagamaan. Mpu Kuturan juga membangun Kahyangan Tiga dan Sad Kahyangan, Catur Loka Pala dan Kahyangan Tiga Keluarga.

 
            Dari uraian tersebut diatas, perkembangan agama Hindu di Bali pada masa Bali Kuno abad ke 10 mencatat 2 peristiwa besar, pertama leburnya agama Buddha ke dalam agama Hindu meskipun leburnya agama Siwa-Buddha itu tidak menghentikan sama sekali penyebaran agama Buddha di Bali. Kedua, leburnya sekta-sekta di Bali. Kedua peristiwa itu rupanya telah ikut membentuk wajah agama Hindu di Bali yang kita warisi sampai sekarang.

Foto hanya Ilustrasi
Sumber : Internet

Kesimpulan :


            Agama Hindu yang masuk ke Bali tidak sulit diterima oleh masyarakat saat itu, karena ajaran agama yang masuk itu sesuai dengan kepercayaan yang diwajibkan pada masyarakat saat itu. Kepercayaan kepada Dewa dan roh-roh suci yang bersemayam di puncak-puncak gunung merupakan pula kepercayaan (sradha) dalam Agama Hindu, demikian juga kepercayaan terhadap kelahiran kembali (samsara), dan roh-roh suci yang memberi perlindungan kepada umat manusia juga merupakan kepercayaan Agama Hindu. Agama Hindu masuk Bali (Indonesia) memberi pencerahan kepada kepercayaan prasejarah yang telah tumbuh dan berkembang sebelumnya.
 
            Rsi Markandeya dianggap sebagai penyebar Agama Hindu yang pertama datang ke Bali sekitar abad ke-8. Rsi Markandeya memperkenalkan Panca Datu (emas, perak tembaga, besi dan kuningan, ke lima logam tersebut dicampur), yang dipakai dasar setiap bangunan pemujaan di Bali sampai sekarang, Juga Rsi Markandeya membangun bangunan pemujaan sekarang dikenal dengan nama Pura Besakih.
 
            Mpu Kuturan merehabilitasi Pura Besakih yang dibuat oleh Rsi Markandeya, memperkuat ikatan ke agamaan ke dalam budaya lokal itu dengan menyempurnakan sistem adat yang juga bersifat sosial keagamaan. Mpu Kuturan juga membangun Kahyangan Tiga dan Sad Kahyangan, Catur Loka Pala dan Kahyangan Tiga Keluarga.


--------------

DAFTAR PUSTAKA
 
Ardika, I Wayan, 1997, Bali Dalam Sentuhan Budaya Global dalam Dinamika Kebudayaan Bali, Denpasar : Upasana Sastra.
 
Sivananda, Sri Swami. 1993. Intisari Ajaran Hindu. Surabaya : Paramita
 
Titib, I Made, Prof. Dr. Ph.D, 2006, Veda, Sabda Suci Pedoman Praktis Kehidupan, Surabaya : Paramita.
 
Titib, I Made, Prof.Dr.Ph.D, 2007, Teologi Hundu (Brahmavidya), Denpasar, Institut Hindu Dharma Negeri.
 
Titib, I Made, Prof.Dr.Ph.D, 2007, Studi Agama Hindu, Denpasar, Institut Hindu Dharma Negeri.
 
………1992, Cendekiawan Hindu Bicara, Jakarta, Yayasan Dharma Narada