Asal Nama Hindu
Nama Hindu berasal dari nama sebuah sungai di India bernama sungai Sindhu. Sekelompok suku bangsa Arya yang menetap disekitar sungai Sindhu, orang-orang Parsi mengutarakan orang-orang Hindhu. Hindu merupakan bentuk perubahan kata Shindu menjadi Hindhu. Suku bangsa Arya tersebar ke seluruh dataran sungai Gangga lalu orang-orang Parsi menamakannya Hindhustan atau kediaman orang-orang Hindhu di seluruh kawasan antara Punyab dan Benares (Sivananda, 1993 : 7).
Sebelum Agama Hindu masuk dan berkembang di Indonesia, masyarakat Indonesia atau penduduk asli Indonesia telah memiliki kepercayaan. Kepercayaan mereka disebut sebagai kepercayaan prasejarah yang kemudian ketika Indonesia merdeka disebut sebagai aliran kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Para antropolog menyebut sebagai agama suku, agama asli atau agama primitif dan dewasa ini umumnya disebut sebagai agama animisme yang percaya kepada eksistensi roh atau arwah, dan kekuatan alam yang disebut dinamisme.
Agama Hindu masuk ke Indonesia kira-kira pada abad ke 1 yaitu sekitar tahun 78 Masehi, yang disebarluaskan oleh Sang Hyang Aji Caka (Raka Santri, dalam Cendekiawan Hindu Bicara, 1992 : 99). Beliau pula yang memulai memperkenalkan tahun Caka di Indonesia. Pada abad ke 4 yaitu tahun 400 Masehi, Agama Hindu berkembang di Kalimantan Timur dengan ditandai kerajaan Kutai dengan rajanya bernama Mulawarman, kemudian menyebar ke Jawa Barat kira-kira pada abad ke 5 (kerajaan Taruma Negara), kemudian ke Jawa Tengah kira-kira pertengahan abad ke 7 (kerajaan Medangkemulan). Sedangkan di Jawa Timur Agama Hindu mulai berkembang pada pertengahan abad ke 8 (prasasti Dinoyo) dengan kerajaan Kanjurukan, dan akhirnya melintasi ke Bali.
Agama Hindu ke Bali
- Pada zaman prasejarah Bali telah ada kepercayaan kepada gunung sebagai alam arwah tempat bersemayamnya roh nenek moyang. Gunung sebagai ciptaan Tuhan Yang Mahakuasa dirasakan langsung memberikan kehidupan kepada manusia berupa kesuburan pertanian, karena pohon-pohon besar yang berguna bagi kehidupan dan sumber-sumber mata air berasal dari gunung. Di sampingnya penguburan sarkofagus itu mengarah ke gunung dan laut. Gunung dan laut melambangkan laki-laki dan perempuan. Pertemuan gunung dan laut atau laki-laki dan perempuan menciptakan kesuburan yang didambakan oleh setiap manusia yang lahir ke dunia ini.
- Adanya kepercayaan alam nyata dan tidak nyata. Alam nyata ini tempat kehidupan di dunia ini, sedangkan alam tidak nyata adalah alam yang dituju oleh orang yang telah meninggal. Dan di alam yang tidak nyata itu pun ada kemungkinan kembali ke alam nyata.
- Adanya kepercayaan bahwa setelah mati, ada kehidupan di alam lain dan akan menjelma kembali, ini berarti sebelum masuknya Agama Hindu ke Bali telah ada unsur-unsur kepercayaan pada asal usul kelahiran kembali.
- Adanya kepercayaan kepada roh nenek moyang atau leluhur yang dapat dimintai perlindungan oleh keturunannya (Putra, 1987:53).
Masuknya Agama Hindu di Bali tidak merusak atau melenyapkan kepercayaan atau kebudayaan, dan bahkan dalam hal tertentu sangat menghargai kepercayaan dan tradisi budaya masyarakat asli. Hal ini dapat diketahui antara lain dari prasasti Tarunyan yang berasal dari tahun 818 Saka (896 M), yang menceritakan tentang pemberian ijin kepada nanyakan pradhana dan bhiksu agar membangun sebuah kuil untuk Hyang Api di desa Banua Bharu. Prasasti lainnya yang berasal dari tahun 813 Saka (891 M) berisi tentang pemberian ijin kepada penduduk desa Trunyan untuk membangun kuil bagi Bhatara Da Tonta (Titib, 2007 : 40).
Pada abad ke 8 Rsi Markandeya bersama pengikutnya berjumlah sekitar 800 orang dari Gunung Raung (Jatim) datang ke Bali menuju Gunung Agung (Tolangkir). Rsi Markandeya bersama-sama dengan pengikutnya merabas hutan, hutan yang dulunya sangat angker karena tidak pernah dijamah oleh manusia sedikit demi sedikit mulai terbuka. Dalam proses pembukaan lahan tersebut banyak pengikutnya yang jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia. Rsi Markandeya menganggap secara spiritual hal ini sangat aneh. Untuk mengatasi keadaan Rsi Markandeya kembali ke Gunung Raung kemudian disana Beliau melakukan yoga semadi untuk memohon wahyu. Setelah mendapat wahyu Rsi Markandeya kembali lagi ke Bali dengan pengikutnya sekitar 400 orang. Tiba di Gunung Agung Rsi Markandeya membangun bangunan di daerah Besakih dengan dasar Panca Datu (emas, perak tembaga, besi dan kuningan, ke lima logam tersebut dicampur). Bangunan pemujaan itu sekarang dikenal dengan nama Pura Besakih.
Berkat kekuatan Panca Datu itulah pula perabasan hutan / pembukaan lahan dan pembangunan desa adat berlanjut, tetapi bukan dilereng Gunung Agung melainkan di Desa Taro, Kabupaten Gianyar. Ini mungkin Desa Adat pertama di Bali lengkap dengan nama Pura Gunung Raung. Rsi Markandeya juga memperkenalkan sistem pengairan / irigasi yang sekarang disebut subak. Dalam penyebaran Agama Hindu di Bali, Rsi Markandeya juga membangun Pura Pucak Payogan, Pura Lebah di Ubud, dan Pura Murwa di Payangan. Bersamaan dengan agama Hindu pada abad ke 8 masuk juga Agama Buddha ke Bali, namun nampaknya Agama Buddha kurang mendapat simpati dari masyarakat sehingga pada pemerintahan Raja Udayana yang ke 10 agama Buddha akhirnya luluh ke dalam Hindu.
Pada masa Bali Kuno abad ke 10 merupakan masa tumbuh dan berkembangnya Agama Hindu yang mencapai puncak kejayaan dengan ditandai oleh berkuasanya raja suami istri Dharma Udayana dan Gunapriya Darmapatni. Pada masa itu di Bali banyak sekte-sekte (menurut Dr. Goris dalam buku tentang sekte-sekta di Bali) sejumlah 9 sekte yaitu : Sekta Siwa Sidhanta, Sekta Pasupata, Sekta Bhairawa, Sekta Waisnawa, Bhoda (Sogata), Bhrahmana, Resi, Sora (Surya), dan Ganapatya.
Situasi dan kondisi politik pulau Bali sempat tidak stabil hal ini menyebabkan raja Cri Gunapriya Darmapatni mengundang 4 Bhrahmana (Pandita) bersaudara untuk datang ke Bali yaitu : Mpu Gnijaya, Mpu Semeru, Mpu Gana, dan Mpu Kuturan. Keempat Bhrahmana ini kelahiran Bali kemudian bersama-sama melakukan tapa brata yoga semadi di Gunung Semeru (Jatim) untuk memuja leluhurnya bernama Bhatara Hyang Pacupati.
Para Bhrahmana tersebut bukan saja ahli dalam bidang agama, namun juga ahli dalam bidang sosial politik, sosial budaya dsbnya. Mpu Kuturan (Mpu Rajakerta) dipilih dan diangkat menjadi Senopati (semacam perdana menteri) merangkap jabatan Ketua Majelis “Pakira-kiran Ijro Makabehan” yaitu suatu Lembaga Tertinggi yang bertugas dan berfungsi memberikan nasihat kepada Raja. Majelis ini beranggotakan seluruh tokoh masyarakat termasuk Pandita.
Sebagai ketua Majelis, Mpu Kuturan kemudian mengadakan pesamuhan Agung yang dihadiri oleh penganut-penganut sekte dan agama pada waktu itu. Dalam pesamuhan tersebut Mpu Kuturan menyampaikan buah pikiran, gagasan dan ide yang dianggap bisa mengatasi keadaan politik yang terjadi di masyarakat. Setelah ide-ide Mpu Kuturan dibahas dan disertai dengan argumentasi yang kuat, maka ide-ide Mpu Kuturan tersebut dapat diterima dan menjadi keputusan. Keputusan tersebut bersifat perubahan dan perbaikan yang mencakup hampir seluruh aspek kehidupan dalam bidang sosial, politik, bisnis dsbnya yang dapat menciptakan suasana aman, tertib, kerukunan hidup serta persatuan seluruh rakyat Bali.
Pesamuhan tersebut menghasilkan 5 keputusan yang disebut “Panca Putusing Paruman” yaitu :
- Paham Tri Murti dijadikan dasar keagamaan
- Agama disebut agama Ciwa Buddha sebagai satu-satunya agama yang dianut masyarakat Bali
- Dibentuk organisasi desa yang disebut Desa Pakraman, dan pada setiap desa Pakraman agar Didirikan Khayangan Tiga (Pura Desa, Pura Puseh, Pura Dalem).
- Pada masing-masing rumah tangga agar dibangun Pelinggih (bangunan suci) berbentuk rong tiga yang terdapat pada setiap pemerajan untuk memuja dan memuliakan arwah leluhur, juga berfungsi sebagai Khayangan Tiga keluarga.
- Semua tanah pakraman dan tanah yang terletak di sekitar Desa Pakraman dan Pura Khayangan Tiga adalah milik Desa, yang berarti juga milik Pura Khayangan Tiga dan tanah-tanah tersebut hanya boleh dipinjamkan oleh krama desa adat yang bersangkutan dan tidak boleh dipindahtangan / di jual. Dalam perkembangannya kemudian dikenal dengan Desa Adat.
Demikianlah para Rsi dan Mpu yang datang ke Bali, ibarat sumber mata air Weda yang menggenangi danau budaya lokal. Rsi Markandya memperkenalkan Panca Datu, membangun subak, sistem irigasi yang bersifat sosial religius. Mpu Kuturan kemudian merehabilitasi Pura Besakih yang dibuat oleh Rsi Markandeya, memperkuat ikatan ke agamaan ke dalam budaya lokal itu dengan menyempurnakan sistem adat yang juga bersifat sosial keagamaan. Mpu Kuturan juga membangun Kahyangan Tiga dan Sad Kahyangan, Catur Loka Pala dan Kahyangan Tiga Keluarga.
Dari uraian tersebut diatas, perkembangan agama Hindu di Bali pada masa Bali Kuno abad ke 10 mencatat 2 peristiwa besar, pertama leburnya agama Buddha ke dalam agama Hindu meskipun leburnya agama Siwa-Buddha itu tidak menghentikan sama sekali penyebaran agama Buddha di Bali. Kedua, leburnya sekta-sekta di Bali. Kedua peristiwa itu rupanya telah ikut membentuk wajah agama Hindu di Bali yang kita warisi sampai sekarang.
Kesimpulan :
Agama Hindu yang masuk ke Bali tidak sulit diterima oleh masyarakat saat itu, karena ajaran agama yang masuk itu sesuai dengan kepercayaan yang diwajibkan pada masyarakat saat itu. Kepercayaan kepada Dewa dan roh-roh suci yang bersemayam di puncak-puncak gunung merupakan pula kepercayaan (sradha) dalam Agama Hindu, demikian juga kepercayaan terhadap kelahiran kembali (samsara), dan roh-roh suci yang memberi perlindungan kepada umat manusia juga merupakan kepercayaan Agama Hindu. Agama Hindu masuk Bali (Indonesia) memberi pencerahan kepada kepercayaan prasejarah yang telah tumbuh dan berkembang sebelumnya.
Rsi Markandeya dianggap sebagai penyebar Agama Hindu yang pertama datang ke Bali sekitar abad ke-8. Rsi Markandeya memperkenalkan Panca Datu (emas, perak tembaga, besi dan kuningan, ke lima logam tersebut dicampur), yang dipakai dasar setiap bangunan pemujaan di Bali sampai sekarang, Juga Rsi Markandeya membangun bangunan pemujaan sekarang dikenal dengan nama Pura Besakih.
Mpu Kuturan merehabilitasi Pura Besakih yang dibuat oleh Rsi Markandeya, memperkuat ikatan ke agamaan ke dalam budaya lokal itu dengan menyempurnakan sistem adat yang juga bersifat sosial keagamaan. Mpu Kuturan juga membangun Kahyangan Tiga dan Sad Kahyangan, Catur Loka Pala dan Kahyangan Tiga Keluarga.
--------------
DAFTAR PUSTAKA
Ardika, I Wayan, 1997, Bali Dalam Sentuhan Budaya Global dalam Dinamika Kebudayaan Bali, Denpasar : Upasana Sastra.
Sivananda, Sri Swami. 1993. Intisari Ajaran Hindu. Surabaya : Paramita
Titib, I Made, Prof. Dr. Ph.D, 2006, Veda, Sabda Suci Pedoman Praktis Kehidupan, Surabaya : Paramita.
Titib, I Made, Prof.Dr.Ph.D, 2007, Teologi Hundu (Brahmavidya), Denpasar, Institut Hindu Dharma Negeri.
Titib, I Made, Prof.Dr.Ph.D, 2007, Studi Agama Hindu, Denpasar, Institut Hindu Dharma Negeri.
………1992, Cendekiawan Hindu Bicara, Jakarta, Yayasan Dharma Narada
Tidak ada komentar:
Posting Komentar