Senin, 24 November 2025

Perayaan Hari Kelahiran Bhagawan Sri Sathya Sai Baba Ke-100

 

Sumber foto : Internet

Bhagawan Sri Sathya Sai Baba lahir pada tanggal 23 November 1926 di Puthaparthi, Andhra Pradesh, India, dan sejak kecil sudah menunjukkan sifat-sifat spiritual yang luar biasa. Ia kemudian menjadi guru spiritual yang menarik jutaan pengikut dari seluruh dunia.

Pada tanggal 23 November 2025 lalu, hari Perayaan Kelahiran Bhagawan Sri Sathya Sai Baba ke-100, dirayakan oleh pengikutNya di seluruh dunia; termasuk di Indonesia.

Organisasi Sathya Sai Baba memiliki cabang di lebih dari 185 negara, termasuk Indonesia, dan memiliki jutaan pengikut di seluruh dunia. Mereka merayakan hari kelahiran Sathya Sai Baba di Center masing-masing sebagai hari yang suci dan mengadakan berbagai kegiatan spiritual dan sosial untuk menghormati ajarannya.

Ratusan ribu para penekun spiritual pengikut Bhagawan Sathya Sai Baba dari berbagai Negara, yang ingin merayakan kelahiran Beliau tanggal 23 Nopember 2025 di Prasanthi Nilayam India, jauh-jauh hari sudah datang ke Prasanthi Nilayam, Puthaparthi India.

Bhagawan Sri Sathya Sai Baba adalah seorang guru spiritual yang mengajarkan nilai-nilai universal seperti: kebenaran (Sathya), kebajikan (Darma), cinta kasih (Prema), kedamaian (Santi), dan tanpa kekerasan (Ahimsa).

“Bhagawan Sri Sathya Sai Baba telah datang untuk menjalankan tugas suci, yaitu mempersatukan keseluruhan umat manusia sebagai satu keluarga melalui ikatan persaudaraan, memberikan penekanan dan pencerahan dalam hal realitas Atma dari setiap insan, membeberkan Divinitas yang menjadi dasar dari keseluruhan alam semesta/kosmos serta memberi instruksi kepada semuanya, agar dapat mengenali warisan laten yang menjadi tali pengikat antar manusia, sehingga umat manusia dapat melepaskan dirinya dari sifat hewaniah dan merangkak ke atas menuju ke tingkatan yang lebih tinggi, yaitu sifat laten ke-Tuhan-an yang ada di dalam dirinya, yang sekaligus merupakan tujuan akhir dari kehidupan ini.”

Pada tanggal 23 Mei 1940 (saat berumur 14 tahun) Sai Baba menyatakan bahwa Beliau adalah reinkarnasi Sai Baba dari Shirdi seorang mistikus sufi yang hidup pada tahun 1838-1918 M.

Berdasarkan Pratyaksa Pramana, yang berarti pengamatan langsung atau tidak langsung melalui panca indra. Bhagawan Sri  Sai Baba telah diamati oleh berbagai sarjana dan kaum cendikia dalam kurun waktu yang cukup lama dari berbagai keanggotaan, aliran, agama dari berbagai negara dan bangsa. Hasil observasi mereka telah dituangkan ke dalam berpuluh-puluh artikel, dan buku-buku berkesimpulan bahwa  Bhagawan Sri Sathya  Sai Baba adalah : seorang manusia luar biasa, manusia yang mengagumkan, manusia dewa (madava), manusia suci, seorang psikiater, guru sejati, seorang Avatara.

Tanpa memakai mantra, yantra, tantra, Bhagawan Sri Sathya  Sai Baba mampu menciptakan apa saja dari seluruh tubuhnya, terutama yang paling sering dari tangan seperti: vibuti, kalung, gelang, medali, cincin, binatang, patung, dllnya. Bhagawan Sri Sathya Sai Baba juga memiliki kemampuan untuk menyembuhkan berbagai penyakit, memberikan berkah, dan menunjukkan mukjizat lainnya.

Bhagawan Sri Sathya Sai Baba mengatakan, “Aku datang bukan untuk mengganggu atau menghancurkan keyakinan apapun, tetapi untuk menguatkan keyakinan mereka, sehingga seorang Kristen menjadi seorang Kristen yang lebih baik, seorang Muslim menjadi seorang Muslim yang lebih baik, seorang Hindu menjadi seorang Hindu yang lebih baik dan seorang Buddhis menjadi seorang Buddhis yang lebih baik.”

Dalam sebuah kunjungan di Nairobi (Kenya, Afrika Timur), Bhagawan Sri  Sathya Sai Baba menyatakan, 

"Aku datang untuk menyalakan pelita Cinta dalam hatimu, untuk melihat pelita itu bersinar dari hari ke hari dengan menambahkan minyak. Aku datang bukan atas nama agama suatu yang eksklusif. Aku tidak datang untuk misi publisitas untuk sebuah sekte atau kepercayaan, juga Aku tidak datang untuk mengumpulkan pengikut untuk sebuah doktrin. Aku tidak punya rencana untuk menarik murid-murid atau pengikut. Aku datang untuk memberitahu anda tentang kesatuan hal iman, prinsip spiritual, jalur Cinta, kebajikan Cinta, tugas Cinta, kewajiban Cinta ".


 Sumber foto  : SS Internet


Kunjungan Presiden India yang Terhormat, Smt Droupadi Murmu ji untuk Program Khusus - sebagai bagian dari Perayaan Seratus Tahun Bhagawan Sri Sathya Sai Baba. 

Beberapa suasana perayaan Kelahiran Bhagawan Sri Sathya Sai Baba ke-100 (sumber internet) :



Sumber foto : Internet.

Perdana Menteri India yang terhormat, Narendra Modi, tanggal 19 November 2025, mengunjungi Prasanthi Nilayam, bagian dari Perayaan seratus tahun Bhagawan Sri Sathya Sai Baba. Beliau disambut hangat oleh Tuan RJ Rathnakar, Manajer Amanah Pusat Sri Sathya Sai, Prasanthi Nilayam.

Mendampingi Perdana Menteri adalah beberapa pemimpin terkemuka dan tokoh-tokoh terkemuka, termasuk Yang Mulia Ketua Menteri Andhra Pradesh, Mr Nara Chandrababu Naidu, Wakil Ketua Menteri, Mr Pawan Kalyan, Menteri Kabinet, MLA, dan pejabat lainnya.

https://www.facebook.com/share/v/1Ba5vJySzr/


Foto Tangan Bhagawan yang berbingkai kaca, mengeluarkan Vibuti. 
Sumber foto : Internet.


Dikutip dari, Deccan HeraldPemerintah India juga merilis koin peringatan senilai Rs 100 untuk menandai peringatan seratus tahun kelahiran Sri Sathya Sai Baba.

Di sisi depan, pemberitahuan tersebut menyatakan, "Sisi koin ini akan menampilkan Ibukota Singa Pilar Ashoka di tengahnya dengan tulisan 'Satyamev Jayate' di bawahnya, diapit di sisi kiri dengan kata "Bharat" dalam aksara Devnagri dan di sisi kanan dengan kata "INDIA" dalam bahasa Inggris." Koin ini juga akan menampilkan simbol Rupee dan nilai nominal "100" dalam angka internasional di bawah Ibukota Singa.

Pada sisi sebaliknya, "koin akan menampilkan gambar 'BHAGAWAN SRI SATHYA SAI BABA' di bagian tengah koin. Tahun '1926' dalam angka internasional akan tertulis di sisi kiri gambar, dan tahun '2026' akan tertulis di sisi kanan," demikian bunyi bunyi pernyataan tersebut. Pada sisi atas koin, tulisan "Bhagawan Sri Sathya Sai Baba ki Janma Shatabdi" akan ditulis dalam aksara Devnagari, dan tulisan 'BIRTH CENTENARY OF BHAGAWAN SRI SATHYA SAI BABA' dalam bahasa Inggris akan ditulis pada sisi bawah koin.

Sathya Sai Baba mengajarkan nilai-nilai kemanusiaan yang ada dalam diri manusia sejak lahir, yaitu : Sathya, Dharma, Prema, Santi, dan Ahimsa. Namun tidak semua orang merasa nyaman. Ada beberapa alasan mengapa beberapa orang tidak suka atau bahkan menentang Sathya Sai Baba :

  1. Kurangnya pemahaman. Beberapa orang mungkin tidak memahami ajaran Sathya Sai Baba dengan benar, sehingga mereka membuat kesimpulan yang salah.
  2. Bias agama. Beberapa orang mungkin memiliki bias agama yang kuat, sehingga mereka tidak dapat menerima ajaran Sathya Sai Baba yang dianggap tidak sesuai dengan agama mereka.
  3. Kritik terhadap organisasi. Beberapa orang mungkin memiliki kritik terhadap organisasi Sathya Sai Baba atau cara pengelolaannya, sehingga mereka menentang ajaran Sathya Sai Baba secara keseluruhan.
  4. Kekuasaan dan kepentingan. Beberapa orang mungkin merasa terancam oleh pengaruh Sathya Sai Baba dan mencoba menghancurkan reputasinya.

Di dunia ini 'Rwabhineda,' dua hal yang berbeda selalu ada; baik-buruk, siang-malam, susah-senang, yang tidak bisa ditiadakan. Begitu juga terhadap Bhagawan Sri Sathya Sai Baba, ada yang pro, ada yang kontra. Setiap orang mempunyai hak untuk berpendapat dan mengkritik, namun perlu dilakukan dengan cara yang sopan dan berdasarkan fakta.

Bhagawan Sri Sathya Sai Baba sendiri mengajarkan bahwa, setiap orang memiliki kebebasan untuk memilih jalan spiritual mereka sendiri dan bahwa tidak ada satu jalan yang benar untuk semua orang . Jadi, mari kita menghormati perbedaan dan fokus pada nilai-nilai kebaikan yang diajarkan oleh Bhagawan Sri Sathya Sai Baba. Inilah sikap orang yang bijaksana.***

Sumber foto : 
Majalah Tempo 2 Maret 2003

Baca artikel lainnya klik :

Minggu, 09 November 2025

Rsi Yang Berjasa Dalam Perkembangan Agama Hindu, Dan Masuknya Majapahit di Bali.

 


Para Rsi Yg Berjasa

Perkembangan Agama dan budaya yang sekarang ada di bali mengalami proses perkembangan yang cukup panjang. Kedatangan Para Rsi,  tokoh-tokoh spiritual, dan masuknya Majapahit paska Raja Sri Asta Sura Ratna Bumi Banten ditaklukkan oleh Majapahit, juga telah memberi corak adat dan budaya Agama Hindu di Bali yang kita warisi sekarang.

Banyak Rsi / Pendeta yang berjasa dalam perkembangan Agama Hindu di Bali, namun disini disajikan beberapa saja antara lain :


1. Rsi Markandeya

Rsi Markandeya adalah putra dari Sang Mrakanda dan Dewi Manaswini. Maharsi Markandeya adalah seorang Rsi yang berasal dari perguruan Markandeya di India, juga dikenal sebagai murid dari Resi Agastya.

Jauh sebelum datangnya Rsi Markandeya ke Bali, sudah ada orang-orang yang lebih dahulu berada di Bali yaitu orang-orang keturunan Austronesia. Mereka tinggal berkelompok dengan  pemimpinnya masing-masing. Kelompok-kelompok inilah nantinya yang menjadi desa-desa di Bali, mereka adalah orang Bali Mula. Pada saat itu orang Bali Mula belum menganut agama, mereka hanya menyembah roh-roh para leluhur yang mereka namakan Hyang. Menurut para ahli, keadaan yang demikian ini berlangsung hingga awal tarih masehi kurang lebih sekitar abad pertama masehi. 

Pada abad ke 8 M Rsi Markandeya merupakan Maharsi pertama yang datang dari Jawa ke Bali menyebarkan agama Hindu, terutama paham Waisnava (pemuja Wisnu). Di Jawa pada awalnya Beliau berasrama di daerah pegunungan Dieng yang termasuk daerah Kerajaan Mataram Kuno (Jawa Tengah). Namun karena pada kala itu terjadi suatu bencana alam, sehingga pusat Kerajaan Mataram dipindahkan ke wilayah Jawa Timur. Maharsi Markandeya juga ikut berpindah ke arah timur, akhirnya bermukim di daerah Gunung Raung (Jawa Timur). Di sana Beliau melakukan pertapaan dan mendapatkan petunjuk untuk pergi ke arah timur yaitu pulau Bali.

Dalam menyebarkan Agama Hindu di Bali, Beliau banyak membangun tempat suci, misalnya Pura Besakih, Pura Payogan Agung Gunung Lebah yang berlokasi di Ubud. Gunung artinya tinggi, Lebah artinya sungai. Rsi Markandeya mengganti nama hutan mautama menjadi Sarwo Ade yang dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai serba ada. Sarwa Ade ini merupakan hutan kayu dan karena terdapat pohon yang menyala disini, akhirnya tempat ini dinamakan Desa Taro yang berasal dari kata “taru” yang artinya pohon.

Pada saat Rsi Markandeya berada di ketinggian gunung Toh Langkir, Beliau menyadari bahwa pulau Dawa (Dewata?) tersebut tidaklah sepanjang yang diperkirakan sebelumnya, kemudian menggantinya dengan nama “Bali”, berasal dari kata “wali” (bahasa Palawa dari India Selatan) yang berarti 'Persembahan Suci'.  Selanjutnya pada masa kini persembahan atau upacara suci tersebut dikenal dalam bentuk 'banten' yang dibawa umat ke pura saat melakukan persembahyangan.
Selanjutnya kawasan Toh Langkir ini dikembangkan, dan diberi nama Besuki, kemudian menjadi Besakih yang artinya 'selamat'. Sedangkan tempat Rsi Markandeya melakukan upacara persembahan dan menanam 5 elemen logam (Panca Datu) dikenal dengan nama Pura Besakih. Awalnya dari sebuah pelinggih kemudian didirikan pura bernama Besukian, kemudian pura tersebut terus berkembang, pembangunan dilakukan secara bertahap, sehingga menjadi komplek pura terbesar yang sekarang dikenal dengan nama Pura Besakih.

Peninggalan Rsi Markandeya sampai saat ini disucikan di Pura Gunung Raung di Desa Taro berupa : batu, emas, lingga yoni, arca. Ada satu peninggalan Rsi Markandeya yang sangat disakralkan berupa tombak. Tombak ini dinamakan "Ratu Madeg", yaitu “Sesuai dengan namanya yaitu Ratu Madeg, Madeg artinya 'tegak', maka tombak suci tersebut ditempatkan secara tegak lurus dan diyakini bila tombak tersebut miring ke salah satu arah mata angin, maka akan terjadi kebakaran hutan atau kayu kemana arah tombak itu miring".

Foto : Pura Payogan Agung Gunung Lebah 
Sumber foto Internet.

2. Rsi Agastya

Rsi Agastya lahir di Kasi (Benares) India. Rsi Agastya disebut juga sebagai Bhatara Guru perwujudan Dewa Siwa, karena kebesaran dan kesuciannya. Dalam sejarah perkembangan Hindu di Indonesia, nama Rsi Agastya pertama kali disebut dalam Prasasti Dinoyo di Jawa Timur tahun saka 682. Prasasti itu menyebutkan seorang Raja bernama Gajayana yang membuat tempat suci indah untuk Maha Rsi Agastya. Tempat ini untuk memohon kekuatan suci agar bisa mengatasi kegelapan.


3. Mpu Kuturan

Mpu Kuturan atau Mpu Rajakretha seorang pendeta Hindu dari Kerajaan Majapahit. Mpu Kuturan adalah penasihat Raja Airlangga. Namun karena nasihatnya sudah tidak didengarkan lagi oleh para ksatria, Mpu Kuturan memilih untuk meninggalkan kerajaan kembali ke Bali.

Pada abad ke-10 Mpu Kuturan menjadi penasihat Raja Sri Guna Priya Dharmapatni / Raja Udayana kemudian menetap di lokasi yang kini menjadi Pura Silayukti. Selama di tempat ini, Mpu Kuturan melakukan yoga dan menyebarkan ajaran Hindu.
Satu karya besar Mpu Kuturan adalah sistem Pura Kahyangan Tiga yaitu Pura Puseh, Pura Desa, dan Pura Dalem sebagai wujud lambang Dewa Wisnu, Dewa Brahma, serta Dewa Siwa. Mpu Kuturan moksa atau menyatu bersama Sang Pencipta di Pura Silayukti.


4. Dang Hyang Dwijendra

Dang Hyang Dwijendra atau Rsi Dwijendra, atau Mpu Nirartha, atau Dang Hyang Nirartha adalah seorang pengelana Hindu abad ke-16 Masehi yang datang ke Bali. Beliau dari Kerajaan Majapahit setelah perjalanan dari Blambangan Jawa Timur.
Beliau banyak membangun pura seperti Pura Purancak, Pura Rambut Siwi, Pura Uluwatu, Pura Tanah Lot, dllnya. Beliau di Lombok mendapat sebutan Tuan Semeru, di Bali mendapat sebutan "Pedanda Sakti Wawu Rauh". Nama ini diperoleh saat ia menolong penduduk Desa Gading Wani yang sedang dilanda wabah penyakit. Karena kesaktian Dang Hyang Dwijendra, maka Desa Gading Wani terbebas dari wabah penyakit.

Dang Hyang Dwijendra seorang pendiri ajaran Siwaisme di Bali, juga dikenal sebagai seorang sastrawan.  Beberapa karya sastranya yang berbentuk puisi maupun prosa seperti : Gegutuk Menur, Ampik Legarang, Sara Kusuma, Usana Bali, dan lainnya. Dang Hyang Dwijenda mencapai Moksa di Pura Uluwatu.



5. Mpu Tantular

Dikenal sebagai pujangga besar Hindu yang mengarang Kitab Sutasoma. Kitab ini menyebutkan, bahwa Sang Hyang Widhi Wasa adalah satu (tunggal) bukan dua, melainkan memiliki banyak sebutan. Semboyan Negara Indonesia, "Bhinneka Tunggal Ika", yang berarti berbeda-beda tetap satu juga diambil dari Kitab Sutasoma.

Mpu Tantular adalah putra dari Mpu Bahula. Mpu Tantular memiliki empat orang putra yaitu : Mpu Kanawawika, Mpu Asirnaranatha, Mpu Sidhimantra, dan Mpu Kepakisan.
Satu putra Mpu Tantular -- Mpu Kepakisan, adalah leluhur dari Raja Dalem Batur Enggong Kerajaan Gelgel di Bali.


6. Masuknya Majapahit

Paska Raja Ratna Bumi Banten (raja Badhahulu) ditaklukkan oleh Majapahit pada th 1343, masuklah budaya Majapahit ke Bali, apa yg berlaku di Majapahit diberlakukan juga di Bali. Terjadi 2 terapan religi yang dianut oleh masyarakat Bali, yaitu ada yang mengikuti religi Bali kuno dan ada yg mengikuti religi Majapahit, bahkan ada masyarakat yg melaksanakan kedua-duanya. 

Jika setiap Kamis Wage Sungsang (Sugiyan Jawa), rakyat Majapahit lah yg menyelenggarakan Yadnya. Jika setiap Jumat Kliwon Sungsang (Sugiyan Bali), rakyat Bali asli yg menyelenggarakan Yadnya.
Juga ada tonggak piodalan yg satu mengikuti sasih (bulan), dan yg satu mengikuti wuku.
Acara pemelastian yg satu mengikuti sasih ke Sanga (bulan ke-9), dan yg satu lagi mengikuti sasih kedasa (bulan ke-10).
Juga dalam acara Rsi yadnya pediksan dlm pengesahan seorang pendeta, yg satu mengikuti Napak Wakil Bhatara Kawitan, dan yang satu lagi mengikuti Napak Kaki Guru Nabe, dllnya.

Meskipun Raja Bhadahulu telah wafat, pemberontakan rakyat Bali terus berlanjut. Warga Bali Mula yg diperlukan wibawanya utk menjaga stabilitas yang baru disebut Arya. Misalnya : Sri Giri Ularan, putra Si Rigis yg menjadi Patih raja Batur Enggong menjadi Arya Ularan (Gusti Ularan), Sri Pasung Giri menjadi Arya Pasung Giri, Keturunan Sri Karang Buncing menjadi Arya Karang Buncing, Gusti Karang Buncing; Sri Rigis menjadi Arya Rigis, Si Tunjung Tutur menjadi Arya Tunjung Tutur, Si Tunjung Biru menjadi Arya Tunjung Biru.

Terjadi akulturasi adat dan budaya antara masyarakat Bali Aga dan Bali yang dipengaruhi Majapahit, yang menjadi latar belakang perubahan besar dalam tatanan sosial dan budaya di Bali. Hal ini juga memberikan corak Agama Hindu seperti yg kita warisi sekarang.***


Gambar : Kebo Iwa dan Gajah Mada
Sumber internet.


Baca juga:
Perayaan Hari Kelahiran Bhagawan Sri Sathya Sai Baba ke-100


Diolah dari berbagai sumber.


Sabtu, 01 November 2025

Kertanegara Raja Singasari Terakhir, dan 13 Nama - Nama Raja Majapahit

Kertanegara, Sumber Internet

Kerajaan Singasari

Kertanegara adalah raja terakhir Kerajaan Singasari yang memerintah dari tahun 1268-1292! Masehi, dengan gelar Si Maharajadiraja Kertanegara. Ia adalah putra dari Wisnuwardhana, raja Singasari sebelumnya. Kertanegara dikenal karena keberaniannya melakukan ekspansi ke wilayah-wilayah sekitarnya, dan bercita-cita mempersatukan Nusantara.

Raja Kertanegara mempunyai mantu bernama Raden Wijaya. Kisah asmara dari Raden Wijaya dengan putri dari Raja Kertanegara juga sempat dituliskan dalam Kitab Negarakertagama serta Kitab Pararaton. Dalam Kitab Negarakertagama disebutkan bahwa Raden Wijaya menikahi empat putri Kertanegara yaitu : Gayatri, Jayendradewi, Nerendraduhita serta Tribhuwaneswari. Dari empat putri tersebut Tribuwaneswari yang terpilih sebagai Permaisuri, sedangkan tiga lainnya adalah selir. Raden Wijaya sekaligus sebagai panglima perang Kerajaan Singasari.

Pada tahun 1292 M terjadi pemberontakan kepada Kerajaan Singasari yang dilakukan oleh Jayakatwang, Bupati Gelang-gelang yang kini menjadi Madiun. Jayakatwang mengirimkan pasukan yang besar ke Singasari. Pasukan Jayakatwang pun berhasil menduduki istana Singasari, bahkan Raja Kertanegara terbunuh dalam pemberontakan itu. Raden Wijaya berhasil menyelamatkan diri kemudian melarikan diri ke dalam hutan di sekitar Sungai Brantas.
Kertanegara kemudian didharmakan sebagai Siwa-Bidha (Brairawa) di candi Singasari, arca lanjutnya dikenal dengan nama Joko Dolog yang berada di Taman Simpang Surabaya.

Dengan gugurnya Kertanegara maka kerajaan Singasari dikuasai oleh Jayakatwang. Raden Wijaya mendapat pengampunan dan mengabdi kepada Jayakatwang. Raden Wijaya diberikan sebidang tanah namanya 'Tanah Tarik' oleh Jayakatwang untuk ditempati.

Raden Wijaya masih memiliki dendam kepada Jayakatwang, dan memiliki kesempatan ketika pasukan Mongol yang dikirimkan oleh Kubilai Khan datang untuk menghukum Kertanegara, karena Kertanegara pernah melukai wajah Meng Ci utusan Kubilai Khan. Namun, karena Kertanegara telah terbunuh,  ribuan orang pasukan yang dibawa oleh Mongol pun diajak oleh Raden Wijaya untuk kembali menyerang Jayakatwang. Dalam perang ini dimenangkan oleh Raden Wijaya yang dibantu oleh pasukan Mongol.

Raden Wijaya mengaku bahwa apabila meraih kemenangan melawan Jayakaywang maka ia pun akan tunduk pada Kubilai Khan. 
Usai berhasil menyingkirkan Jayakatwang, Raden Wijaya pun langsung menyerang pasukan Mongol. Serangan mendadak tersebut kemudian membuat pasukan Mongol memilih untuk meninggalkan Jawa saat itu.


Kerajaan Majapahit.

Setelah Raden Wijaya berhasil mengalahkan Jayakatwang, pada th 1293 pendeklarasian berdirinya Kerajaan Majapahit dan Raden Wijaya dinobatkan sebagai raja Majapahit pertama dengan gelar Kertarajasa Jayawardhana (1293-1309). Ibukota kerajaannya yang diintepretasikan terletak di Trowulan, Jawa Timur.

Kerajaan Majapahit berkembang menjadi kerajaan besar dengan daerah kekuasaan yang sangat luas dan mampu bertahan hingga lebih dari 2 abad (1293-1528), dengan 13 kali pergantian raja.


Menurut sejarah, tercatat ada 13 nama raja Majapahit yang pernah memimpin tahta kerajaan, yaitu :


1. Raden Wijaya atau Kertarajasa Jayawardhana (1293-1309)

Majapahit adalah kerajaan Hindu-Buddha terbesar di Nusantara yang berdiri dari tahun 1293 hingga 1527. Raden Wijaya dinobatkan sebagai raja Majapahit pertama dengan gelar Kertarajasa Jayawardhana.

Menurut Nagarakertagama, Raden Wijaya meninggal dunia pada tahun 1309. Untuk mengenang Raden Wijaya sebagai pendiri Kerajaan Majapahit, Raden Wijaya kemudian dimakamkan di Antahpura dan dicandikan di Simping, Blitar, sebagai Hari Hara, atau perpaduan Wisnu dan Siwa. Ia digantikan oleh putra, Jayanagara sebagai raja selanjutnya.


2.  Sri Jayanagara atau Kalagemet (1309-1328)

Jayanegara masih berusia 15 tahun saat menggantikan Raden Wijaya sebagai Raja. Dalam Kitab Pararaton, Raja Jayanegara memiliki julukan Kala Gemet, yang berarti jahat dan lemah. Julukan tersebut ditekankan karena Jayanegara tidak memiliki kecakapan dalam melaksanakan pemerintahannya, dan karena sifat-sifatnya yang tidak baik.

Pada masa pemerintahan Jayanegara, banyak terjadi pemberontakan, antara lain : Pemberontakan Gajah Biru (1314), Pemberontakan Nambi (1316), Pemberontakan Semi (1318), dan Pemberontakan Ra Kuti (1319).

Jayanegara meninggal pada tahun 1328 setelah ditusuk oleh Ra Tanca, seorang anggota Dharmaputra yang juga tabib istana. Kemudian tahta Majapahit diteruskan oleh Tribhuwana Wijayatunggadewi, Putri dari Raden Wijaya dan Gayatri Rajapatni.


3.  Tribhuwana Wijayatunggadewi atau Sri Gitarja (1328-1350).

Tribhuwana Wijayatunggadewi atau Sri Gitarja adalah seorang ratu perempuan pertama yang memimpin Majapahit dan dikenal karena keberaniannya. Selama masa pemerintahan Tribhuwana, Majapahit melakukan banyak ekspansi ke wilayah Nusantara dibantu oleh Gajah Mada.

Pada tahun 1336 M. Gadjah Mada mengucapkan Sumpah Palapa di hadapan Tribhuwana Isi sumpah tersebut berbunyi :

Sira Gajah Madapatih amangkubhumi tan ayun amuktia palapa, sira Gajah Mada :

“Lamun huwus kalah nusantara isun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seran, Tanjungpura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana isun amukti palapa”.

Terjemahannya:

[Akhirnya] Gajah Mada menjadi patih mangkubumi, [tetapi] tidak ingin amukti palapa. Gajah Mada [bersumpah],
Jika sudah takluk Nusantara, [maka] aku amukti palapa (aku akan menikmati istirahat). Jika [sudah] takluk Gurun, Seran, Tanjungpura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, barulah aku amukti palapa (menikmati istirahat)".

Dengan dukungan Gajah Mada, ia memimpin perluasan Majapahit ke wilayah seperti Bali (1343) dan Sumatra (1347).

Tribhuwana Wijayatunggadewi menikah dengan Cakradhara atau Kertawardhana Bhre Tumapel. Dari pernikahannya, ia memiliki anak yang diberi nama Dyah Hayam Wuruk. Ketika Ibunya (Gayatri) meninggal th 1350 Tri Buana Tunggadewi digantikan oleh Hayam Wuruk, namun menurut prasasti Singasari Tri Buanatunggadewi masih menjadi ratu Majapahit, diperkirakan pada th th 1351 Tri Buanatunggadewi turun takhta.

Gajah Mada : Sumber Internet

4. Hayam Wuruk atau Sri Rajasanagara (1350-1389).

Pada tahun 1350, Prabu Hayam Wuruk naik takhta dalam usia relatif muda, 16 tahun, dengan gelar Sri Rajasanagara, menggantikan ibundanya - Tribhuwana Tunggadewi.
Selama 39 tahun berkuasa, Hayam Wuruk disebut sebagai raja Majapahit terbesar atau paling utama. Keberhasilannya membawa Majapahit menuju puncak kejayaan tidak lepas dari bantuan Mahapatih Gajah Mada.

Pada saat Hayam Wuruk dan Gajah Mada menjalankan pemerintahan, seluruh kepulauan Indonesia bahkan Jazirah Malaka mengibarkan panji-panji Majapahit. Daerah kekuasaan Majapahit meliputi Sumatera, Semenanjung Malaya, Kalimantan, Sulawesi, Kepulauan Nusa Tenggara, Maluku, Papua, ditambah Tumasik (Singapura) dan sebagian Kepulauan Filipina.

Pada tahun 1364, Mahapatih Gajah Mada meninggal dan posisi Mahapatih langsung di pegang Prabu Hayam Wuruk dan dibantu Menteri Seniornya bernama Mpu Nala. Beberapa tahun kemudian diangkat Mahapatih baru bernama Gajah Enggon.

Tahun 1389, Prabu Hayam Wuruk meninggal, kemudian Prabu Hayam Wuruk di dharmakan di Candi Ngetos, Nganjuk, Jawa Timur.

Prabu Hayam Wuruk mempunyai anak 2 orang, anak pertama Kusumawardhani putri dari Sri Sudewi, dan kedua Bhre Wirabhumi anak dari istri ke-2 nya.
Pengganti Prabu Hayam Wuruk adalah anak pertama Beliau yaitu Kusumawardhani menjadi Maharani ke 5 yang dibantu suaminya yaitu Wikramawardhana.


5.  Wikramawardhana dan Kusumawardhani (1389-1429)

Ia dikenal karena terlibat dalam Perang Paregreg melawan Bhre Wirabhumi, putra Hayam Wuruk dari selir, yang mengklaim hak atas takhta.
Wikramawardhana memimpin "keraton kulon" (barat) sementara Bhre Wirabhumi memimpin "keraton wetan" (timur).  Wikramawardhana awalnya kalah namun berhasil membalikkan keadaan setelah mendapat bantuan dari Bhre Tumapel. Wikramawardhana memiliki tiga anak dari selir : Bhre Tumapel, Suhita, dan Kertawijaya. Setelah kematiannya, digantikan oleh putri Suhita naik takhta pada tahun 1429.


6. Ratu Suhita atau Dyah Ayu Kencana Wungu (1429-1447)

Ratu Suhita naik takhta pada usia sekitar 20 tahun setelah ayahnya meninggal. Ia merupakan ratu perempuan kedua sekaligus terakhir yang memimpin kerajaan Majapahit setelah Tribhuwana Tunggadewi. Ia memerintah bersama suaminya, Aji Ratnapangkaja yang bergelar Bhatara Parameswara. Ia dikenal karena membalas kematian kakeknya, Bhre Wirabhumi, dengan menghukum mati Raden Gajah alias Bhra Narapati pada tahun 1433.

Masa kepemimpinannya terjadi di tengah situasi sulit, termasuk krisis kelaparan dan ketegangan politik pasca Perang Paregreg, yang berakar dari persaingan dua kubu bangsawan besar.

Ratu Suhita meninggal pada tahun 1447 dan digantikan oleh adiknya, Dyah Kertawijaya, karena tidak memiliki putra mahkota. Ia dicandikan bersama suaminya di Singhajaya.


7. Kertawijaya atau Brawijaya  (1447-1451)

Kertawijaya adalah raja Majapahit ketujuh dengan gelar Sri Maharaja Wijayaparakramawardhana.
Pada masa pemerintahannya sering terjadi gempa bumi dan meletusnya gunung. Juga terjadi peristiwa pembunuhan penduduk Tidung Galating oleh keponakannya, yaitu Bhre Paguhan putra Bhre Tumapel. 

Beberapa sumber menyebut Kertawijaya sebagai Brawijaya I. Nama "Brawijaya" berasal dari gelar raja-raja Majapahit. Identifikasi ini diperkuat oleh bukti seperti batu nisan Putri Campa yang bertanggal 1448 dan silsilah Raden Patah yang menyebutkan Kertawijaya sebagai leluhur, meskipun ada perbedaan pendapat tentang istri Kertawijaya berdasarkan naskah babad dan serat dibandingkan dengan prasasti. 


8. Rajasawardhana atau Brawijaya II (1451-1453)

Rajasawardhana atau Brawijaya II adalah raja ke-8 Majapahit yang menggantikan ayahnya, Kertawijaya (Brawijaya I). Nama lengkap Rajasawardhana Dyah Wijayakumara, dikenal juga sebagai Sang Sinagara atau Bhre Kahuripan. 
Masa pemerintahannya singkat, hanya dua tahun, dan ia menghabiskan sebagian besar waktunya untuk mengatasi gejolak internal kerajaan. Setelah wafat tahun 1453, terjadi kekosongan kekuasaan selama tiga tahun hingga digantikan oleh Girishawardhana tahun 1456..


9. Girishawardhana atau Purwawisesa atau Brawijaya III (1456-1466).

Sepeninggal Rajasawardhana tahun 1453 Majapahit dilanda hambatan pemerintahan selama tiga tahun. Baru pada tahun 1456, Girishawardhana Bhre Wengker naik takhta bergelar Bhra Hyang Purwawisesa. Pada tahun 1462 terjadi bencana gunung meletus mewarnai pemerintahannya.

Girisawardhana wafat pada tahun 1466, dan dicandikan di "Candi Waji" Puri, Mojokerto. Ia digantikan oleh adiknya Dyah Suraprabhawa yang dianggap identik dengan Bhre Pandansalas, bergelar Singhawikramawardhana yang namanya tercatat dalam prasasti Waringin Pitu (1447) sebagai putra bungsu Dyah Kertawijaya.


10. Bhre Pandansalas atau Dyah Suraprabhawa atau Brawijaya IV (1466-1468)

Maharaja Majapahit yang memiliki gelar lengkap Sri Adi Suraprabhawa Singhawikramawardhana Giripati Pasutabhupati Ketubhuta.
Diberitakan dalam Pararaton, setelah Bhre Pandansalas menjadi raja selama dua tahun, keponakannya Bhre Kertabhumi melakukan kudeta untuk mengambil alih kekuasaan pada tahun 1468.


11. Bhre Kertabumi / Angkawijaya atau Brawijaya V (1468-1478)

Sepanjang masa pemerintahannya, Bhre Kertabumi menghadapi berbagai konflik dan pemberontakan internal. Bhre Kertabumi memiliki 3 (tiga) istri cantik jelita yang menurunkan raja-raja besar di Tanah Jawa : Dewi Amarawati (seorang putri dari Champa yang dikenal sebagai "Putri Cempo"), Dewi Wandan Kuning, serta selir : Wandan Sari (Siu Ban Ci), adalah seorang wanita Muslim keturunan Tionghoa yang berasal dari negeri Campa (sekarang di wilayah Vietnam).

Angkawijaya dengan selir Siu Ban Ci mempunyai putra Raden Patah, yang kemudian mendirikan Kesultanan Demak, sebuah kerajaan Islam pertama di Jawa. 

Kerajaan Bhre Kertabumi / Angkawijaya runtuh saat ia dikalahkan oleh putra sendiri - Raden Patah - Kerajaan Demak Kediri.
Makam Bhre Kertabumi terletak di Trowulan, Mojokerto, di sebelah timur laut Kolam Segaran, dan dikenal sebagai kompleks Makam Panjang. 


12. Girindrawardhana atau Brawijaya VI (1478-1489)

Girindrawardhana atau Brawijaya VI adalah Dyah Ranawijaya, yang dianggap sebagai raja Majapahit yang berkuasa secara mandiri, dan memindahkan ibu kota kerajaan ke Daha (Kediri). Ia naik takhta setelah mengalahkan Bhre Kertabhumi (Brawijaya V) pada tahun 1478 dan menyatukan kembali Majapahit. Ia juga berhasil mempertahankan wilayah Majapahit dari serangan Kesultanan Demak yang dipimpin oleh Raden Patah.
Ketika memerintah, ia berusaha memulihkan kejayaan Majapahit, namun tidak berhasil. Girindrawardhana akhirnya tewas dalam pertempuran melawan pasukan Demak yang menyerang kembali Majapahit.


13. Patih Udara (1489-1527).

Patih Udara sendiri merupakan patih Majapahit yang menjadi raja terakhir kerajaan ini. Ia naik takhta setelah kematian Girindrawardhana (Brawijaya VI).
Ketika menjadi seorang raja, Patih Udara banyak menghadapi kesulitan, seperti serangan-serangan dari Kerajaan Demak yang semakin agresif.  Patih Udara meninggal pada tahun 1527 dan digantikan oleh Menak Sapetak . Namun, kekuasaan Majapahit semakin melemah dan tidak mampu menahan serbuan Demak yang terus berlanjut. Pada tahun 1528, Demak berhasil merebut Daha (Kediri), ibu kota Majapahit saat itu, dan mengakhiri keberadaan Majapahit sebagai kerajaan besar di Nusantara.***

Diolah dari berbagai sumber.


Baca juga : 

3. Keberangkatan Kebo Iwa Ke Majapahit, Majapahit Menyerang Bali

  Sumber foto Internet Kebo Iwa Ke Majapahit Sebelum Kebo Iwa berangkat ke Majapahit, terlebih dahulu Kebo Iwa sempat sembahyang di...