Kertanegara, Sumber Internet
Kerajaan Singasari
Kertanegara adalah raja terakhir Kerajaan Singasari yang memerintah dari tahun 1268-1292! Masehi, dengan gelar Si Maharajadiraja Kertanegara. Ia adalah putra dari Wisnuwardhana, raja Singasari sebelumnya. Kertanegara dikenal karena keberaniannya melakukan ekspansi ke wilayah-wilayah sekitarnya, dan bercita-cita mempersatukan Nusantara.
Raja Kertanegara mempunyai mantu bernama Raden Wijaya. Kisah asmara dari Raden Wijaya dengan putri dari Raja Kertanegara juga sempat dituliskan dalam Kitab Negarakertagama serta Kitab Pararaton. Dalam Kitab Negarakertagama disebutkan bahwa Raden Wijaya menikahi empat putri Kertanegara yaitu : Gayatri, Jayendradewi, Nerendraduhita serta Tribhuwaneswari. Dari empat putri tersebut Tribuwaneswari yang terpilih sebagai Permaisuri, sedangkan tiga lainnya adalah selir. Raden Wijaya sekaligus sebagai panglima perang Kerajaan Singasari.
Pada tahun 1292 M terjadi pemberontakan kepada Kerajaan Singasari yang dilakukan oleh Jayakatwang, Bupati Gelang-gelang yang kini menjadi Madiun. Jayakatwang mengirimkan pasukan yang besar ke Singasari. Pasukan Jayakatwang pun berhasil menduduki istana Singasari, bahkan Raja Kertanegara terbunuh dalam pemberontakan itu. Raden Wijaya berhasil menyelamatkan diri kemudian melarikan diri ke dalam hutan di sekitar Sungai Brantas.
Kertanegara kemudian didharmakan sebagai Siwa-Bidha (Brairawa) di candi Singasari, arca lanjutnya dikenal dengan nama Joko Dolog yang berada di Taman Simpang Surabaya.
Dengan gugurnya Kertanegara maka kerajaan Singasari dikuasai oleh Jayakatwang. Raden Wijaya mendapat pengampunan dan mengabdi kepada Jayakatwang. Raden Wijaya diberikan sebidang tanah namanya 'Tanah Tarik' oleh Jayakatwang untuk ditempati.
Raden Wijaya masih memiliki dendam kepada Jayakatwang, dan memiliki kesempatan ketika pasukan Mongol yang dikirimkan oleh Kubilai Khan datang untuk menghukum Kertanegara, karena Kertanegara pernah melukai wajah Meng Ci utusan Kubilai Khan. Namun, karena Kertanegara telah terbunuh, ribuan orang pasukan yang dibawa oleh Mongol pun diajak oleh Raden Wijaya untuk kembali menyerang Jayakatwang. Dalam perang ini dimenangkan oleh Raden Wijaya yang dibantu oleh pasukan Mongol.
Raden Wijaya mengaku bahwa apabila meraih kemenangan melawan Jayakaywang maka ia pun akan tunduk pada Kubilai Khan.
Usai berhasil menyingkirkan Jayakatwang, Raden Wijaya pun langsung menyerang pasukan Mongol. Serangan mendadak tersebut kemudian membuat pasukan Mongol memilih untuk meninggalkan Jawa saat itu.
Kerajaan Majapahit.
Setelah Raden Wijaya berhasil mengalahkan Jayakatwang, pada th 1293 pendeklarasian berdirinya Kerajaan Majapahit dan Raden Wijaya dinobatkan sebagai raja Majapahit pertama dengan gelar Kertarajasa Jayawardhana (1293-1309). Ibukota kerajaannya yang diintepretasikan terletak di Trowulan, Jawa Timur.
Kerajaan Majapahit berkembang menjadi kerajaan besar dengan daerah kekuasaan yang sangat luas dan mampu bertahan hingga lebih dari 2 abad (1293-1528), dengan 13 kali pergantian raja.
Menurut sejarah, tercatat ada 13 nama raja Majapahit yang pernah memimpin tahta kerajaan, yaitu :
1. Raden Wijaya atau Kertarajasa Jayawardhana (1293-1309)
Majapahit adalah kerajaan Hindu-Buddha terbesar di Nusantara yang berdiri dari tahun 1293 hingga 1527. Raden Wijaya dinobatkan sebagai raja Majapahit pertama dengan gelar Kertarajasa Jayawardhana.
Menurut Nagarakertagama, Raden Wijaya meninggal dunia pada tahun 1309. Untuk mengenang Raden Wijaya sebagai pendiri Kerajaan Majapahit, Raden Wijaya kemudian dimakamkan di Antahpura dan dicandikan di Simping, Blitar, sebagai Hari Hara, atau perpaduan Wisnu dan Siwa. Ia digantikan oleh putra, Jayanagara sebagai raja selanjutnya.
2. Sri Jayanagara atau Kalagemet (1309-1328)
Jayanegara masih berusia 15 tahun saat menggantikan Raden Wijaya sebagai Raja. Dalam Kitab Pararaton, Raja Jayanegara memiliki julukan Kala Gemet, yang berarti jahat dan lemah. Julukan tersebut ditekankan karena Jayanegara tidak memiliki kecakapan dalam melaksanakan pemerintahannya, dan karena sifat-sifatnya yang tidak baik.
Pada masa pemerintahan Jayanegara, banyak terjadi pemberontakan, antara lain : Pemberontakan Gajah Biru (1314), Pemberontakan Nambi (1316), Pemberontakan Semi (1318), dan Pemberontakan Ra Kuti (1319).
Jayanegara meninggal pada tahun 1328 setelah ditusuk oleh Ra Tanca, seorang anggota Dharmaputra yang juga tabib istana. Kemudian tahta Majapahit diteruskan oleh Tribhuwana Wijayatunggadewi, Putri dari Raden Wijaya dan Gayatri Rajapatni.
3. Tribhuwana Wijayatunggadewi atau Sri Gitarja (1328-1350).
Tribhuwana Wijayatunggadewi atau Sri Gitarja adalah seorang ratu perempuan pertama yang memimpin Majapahit dan dikenal karena keberaniannya. Selama masa pemerintahan Tribhuwana, Majapahit melakukan banyak ekspansi ke wilayah Nusantara dibantu oleh Gajah Mada.
Pada tahun 1336 M. Gadjah Mada mengucapkan Sumpah Palapa di hadapan Tribhuwana Isi sumpah tersebut berbunyi :
Sira Gajah Madapatih amangkubhumi tan ayun amuktia palapa, sira Gajah Mada :
“Lamun huwus kalah nusantara isun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seran, Tanjungpura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana isun amukti palapa”.
Terjemahannya:
[Akhirnya] Gajah Mada menjadi patih mangkubumi, [tetapi] tidak ingin amukti palapa. Gajah Mada [bersumpah],
" Jika sudah takluk Nusantara, [maka] aku amukti palapa (aku akan menikmati istirahat). Jika [sudah] takluk Gurun, Seran, Tanjungpura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, barulah aku amukti palapa (menikmati istirahat)".
Dengan dukungan Gajah Mada, ia memimpin perluasan Majapahit ke wilayah seperti Bali (1343) dan Sumatra (1347).
Tribhuwana Wijayatunggadewi menikah dengan Cakradhara atau Kertawardhana Bhre Tumapel. Dari pernikahannya, ia memiliki anak yang diberi nama Dyah Hayam Wuruk. Ketika Ibunya (Gayatri) meninggal th 1350 Tri Buana Tunggadewi digantikan oleh Hayam Wuruk, namun menurut prasasti Singasari Tri Buanatunggadewi masih menjadi ratu Majapahit, diperkirakan pada th th 1351 Tri Buanatunggadewi turun takhta.
Gajah Mada : Sumber Internet
4. Hayam Wuruk atau Sri Rajasanagara (1350-1389).
Pada tahun 1350, Prabu Hayam Wuruk naik takhta dalam usia relatif muda, 16 tahun, dengan gelar Sri Rajasanagara, menggantikan ibundanya - Tribhuwana Tunggadewi.
Selama 39 tahun berkuasa, Hayam Wuruk disebut sebagai raja Majapahit terbesar atau paling utama. Keberhasilannya membawa Majapahit menuju puncak kejayaan tidak lepas dari bantuan Mahapatih Gajah Mada.
Pada saat Hayam Wuruk dan Gajah Mada menjalankan pemerintahan, seluruh kepulauan Indonesia bahkan Jazirah Malaka mengibarkan panji-panji Majapahit. Daerah kekuasaan Majapahit meliputi Sumatera, Semenanjung Malaya, Kalimantan, Sulawesi, Kepulauan Nusa Tenggara, Maluku, Papua, ditambah Tumasik (Singapura) dan sebagian Kepulauan Filipina.
Pada tahun 1364, Mahapatih Gajah Mada meninggal dan posisi Mahapatih langsung di pegang Prabu Hayam Wuruk dan dibantu Menteri Seniornya bernama Mpu Nala. Beberapa tahun kemudian diangkat Mahapatih baru bernama Gajah Enggon.
Tahun 1389, Prabu Hayam Wuruk meninggal, kemudian Prabu Hayam Wuruk di dharmakan di Candi Ngetos, Nganjuk, Jawa Timur.
Prabu Hayam Wuruk mempunyai anak 2 orang, anak pertama Kusumawardhani putri dari Sri Sudewi, dan kedua Bhre Wirabhumi anak dari istri ke-2 nya.
Pengganti Prabu Hayam Wuruk adalah anak pertama Beliau yaitu Kusumawardhani menjadi Maharani ke 5 yang dibantu suaminya yaitu Wikramawardhana.
5. Wikramawardhana dan Kusumawardhani (1389-1429)
Ia dikenal karena terlibat dalam Perang Paregreg melawan Bhre Wirabhumi, putra Hayam Wuruk dari selir, yang mengklaim hak atas takhta.
Wikramawardhana memimpin "keraton kulon" (barat) sementara Bhre Wirabhumi memimpin "keraton wetan" (timur). Wikramawardhana awalnya kalah namun berhasil membalikkan keadaan setelah mendapat bantuan dari Bhre Tumapel. Wikramawardhana memiliki tiga anak dari selir : Bhre Tumapel, Suhita, dan Kertawijaya. Setelah kematiannya, digantikan oleh putri Suhita naik takhta pada tahun 1429.
6. Ratu Suhita atau Dyah Ayu Kencana Wungu (1429-1447)
Ratu Suhita naik takhta pada usia sekitar 20 tahun setelah ayahnya meninggal. Ia merupakan ratu perempuan kedua sekaligus terakhir yang memimpin kerajaan Majapahit setelah Tribhuwana Tunggadewi. Ia memerintah bersama suaminya, Aji Ratnapangkaja yang bergelar Bhatara Parameswara. Ia dikenal karena membalas kematian kakeknya, Bhre Wirabhumi, dengan menghukum mati Raden Gajah alias Bhra Narapati pada tahun 1433.
Masa kepemimpinannya terjadi di tengah situasi sulit, termasuk krisis kelaparan dan ketegangan politik pasca Perang Paregreg, yang berakar dari persaingan dua kubu bangsawan besar.
Ratu Suhita meninggal pada tahun 1447 dan digantikan oleh adiknya, Dyah Kertawijaya, karena tidak memiliki putra mahkota. Ia dicandikan bersama suaminya di Singhajaya.
7. Kertawijaya atau Brawijaya (1447-1451)
Kertawijaya adalah raja Majapahit ketujuh dengan gelar Sri Maharaja Wijayaparakramawardhana.
Pada masa pemerintahannya sering terjadi gempa bumi dan meletusnya gunung. Juga terjadi peristiwa pembunuhan penduduk Tidung Galating oleh keponakannya, yaitu Bhre Paguhan putra Bhre Tumapel.
Beberapa sumber menyebut Kertawijaya sebagai Brawijaya I. Nama "Brawijaya" berasal dari gelar raja-raja Majapahit. Identifikasi ini diperkuat oleh bukti seperti batu nisan Putri Campa yang bertanggal 1448 dan silsilah Raden Patah yang menyebutkan Kertawijaya sebagai leluhur, meskipun ada perbedaan pendapat tentang istri Kertawijaya berdasarkan naskah babad dan serat dibandingkan dengan prasasti.
8. Rajasawardhana atau Brawijaya II (1451-1453)
Rajasawardhana atau Brawijaya II adalah raja ke-8 Majapahit yang menggantikan ayahnya, Kertawijaya (Brawijaya I). Nama lengkap Rajasawardhana Dyah Wijayakumara, dikenal juga sebagai Sang Sinagara atau Bhre Kahuripan.
Masa pemerintahannya singkat, hanya dua tahun, dan ia menghabiskan sebagian besar waktunya untuk mengatasi gejolak internal kerajaan. Setelah wafat tahun 1453, terjadi kekosongan kekuasaan selama tiga tahun hingga digantikan oleh Girishawardhana tahun 1456..
9. Girishawardhana atau Purwawisesa atau Brawijaya III (1456-1466).
Sepeninggal Rajasawardhana tahun 1453 Majapahit dilanda hambatan pemerintahan selama tiga tahun. Baru pada tahun 1456, Girishawardhana Bhre Wengker naik takhta bergelar Bhra Hyang Purwawisesa. Pada tahun 1462 terjadi bencana gunung meletus mewarnai pemerintahannya.
Girisawardhana wafat pada tahun 1466, dan dicandikan di "Candi Waji" Puri, Mojokerto. Ia digantikan oleh adiknya Dyah Suraprabhawa yang dianggap identik dengan Bhre Pandansalas, bergelar Singhawikramawardhana yang namanya tercatat dalam prasasti Waringin Pitu (1447) sebagai putra bungsu Dyah Kertawijaya.
10. Bhre Pandansalas atau Dyah Suraprabhawa atau Brawijaya IV (1466-1468)
Maharaja Majapahit yang memiliki gelar lengkap Sri Adi Suraprabhawa Singhawikramawardhana Giripati Pasutabhupati Ketubhuta.
Diberitakan dalam Pararaton, setelah Bhre Pandansalas menjadi raja selama dua tahun, keponakannya Bhre Kertabhumi melakukan kudeta untuk mengambil alih kekuasaan pada tahun 1468.
11. Bhre Kertabumi / Angkawijaya atau Brawijaya V (1468-1478)
Sepanjang masa pemerintahannya, Bhre Kertabumi menghadapi berbagai konflik dan pemberontakan internal. Bhre Kertabumi memiliki 3 (tiga) istri cantik jelita yang menurunkan raja-raja besar di Tanah Jawa : Dewi Amarawati (seorang putri dari Champa yang dikenal sebagai "Putri Cempo"), Dewi Wandan Kuning, serta selir : Wandan Sari (Siu Ban Ci), adalah seorang wanita Muslim keturunan Tionghoa yang berasal dari negeri Campa (sekarang di wilayah Vietnam).
Angkawijaya dengan selir Siu Ban Ci mempunyai putra Raden Patah, yang kemudian mendirikan Kesultanan Demak, sebuah kerajaan Islam pertama di Jawa.
Kerajaan Bhre Kertabumi / Angkawijaya runtuh saat ia dikalahkan oleh putra sendiri - Raden Patah - Kerajaan Demak Kediri.
Makam Bhre Kertabumi terletak di Trowulan, Mojokerto, di sebelah timur laut Kolam Segaran, dan dikenal sebagai kompleks Makam Panjang.
12. Girindrawardhana atau Brawijaya VI (1478-1489)
Girindrawardhana atau Brawijaya VI adalah Dyah Ranawijaya, yang dianggap sebagai raja Majapahit yang berkuasa secara mandiri, dan memindahkan ibu kota kerajaan ke Daha (Kediri). Ia naik takhta setelah mengalahkan Bhre Kertabhumi (Brawijaya V) pada tahun 1478 dan menyatukan kembali Majapahit. Ia juga berhasil mempertahankan wilayah Majapahit dari serangan Kesultanan Demak yang dipimpin oleh Raden Patah.
Ketika memerintah, ia berusaha memulihkan kejayaan Majapahit, namun tidak berhasil. Girindrawardhana akhirnya tewas dalam pertempuran melawan pasukan Demak yang menyerang kembali Majapahit.
13. Patih Udara (1489-1527).
Patih Udara sendiri merupakan patih Majapahit yang menjadi raja terakhir kerajaan ini. Ia naik takhta setelah kematian Girindrawardhana (Brawijaya VI).
Ketika menjadi seorang raja, Patih Udara banyak menghadapi kesulitan, seperti serangan-serangan dari Kerajaan Demak yang semakin agresif. Patih Udara meninggal pada tahun 1527 dan digantikan oleh Menak Sapetak . Namun, kekuasaan Majapahit semakin melemah dan tidak mampu menahan serbuan Demak yang terus berlanjut. Pada tahun 1528, Demak berhasil merebut Daha (Kediri), ibu kota Majapahit saat itu, dan mengakhiri keberadaan Majapahit sebagai kerajaan besar di Nusantara.***
Diolah dari berbagai sumber.
Baca juga :