Para Rsi Yg Berjasa
Perkembangan Agama dan budaya yang sekarang ada di bali mengalami proses perkembangan yang cukup panjang. Kedatangan Para Rsi, tokoh-tokoh spiritual, dan masuknya Majapahit paska Raja Sri Asta Sura Ratna Bumi Banten ditaklukkan oleh Majapahit, juga telah memberi corak adat dan budaya Agama Hindu di Bali yang kita warisi sekarang.
Banyak Rsi / Pendeta yang berjasa dalam perkembangan Agama Hindu di Bali, namun disini disajikan beberapa saja antara lain :
1. Rsi Markandeya
Rsi Markandeya adalah putra dari Sang Mrakanda dan Dewi Manaswini. Maharsi Markandeya adalah seorang Rsi yang berasal dari perguruan Markandeya di India, juga dikenal sebagai murid dari Resi Agastya.
Jauh sebelum datangnya Rsi Markandeya ke Bali, sudah ada orang-orang yang lebih dahulu berada di Bali yaitu orang-orang keturunan Austronesia. Mereka tinggal berkelompok dengan pemimpinnya masing-masing. Kelompok-kelompok inilah nantinya yang menjadi desa-desa di Bali, mereka adalah orang Bali Mula. Pada saat itu orang Bali Mula belum menganut agama, mereka hanya menyembah roh-roh para leluhur yang mereka namakan Hyang. Menurut para ahli, keadaan yang demikian ini berlangsung hingga awal tarih masehi kurang lebih sekitar abad pertama masehi.
Pada abad ke 8 M Rsi Markandeya merupakan Maharsi pertama yang datang dari Jawa ke Bali menyebarkan agama Hindu, terutama paham Waisnava (pemuja Wisnu). Di Jawa pada awalnya Beliau berasrama di daerah pegunungan Dieng yang termasuk daerah Kerajaan Mataram Kuno (Jawa Tengah). Namun karena pada kala itu terjadi suatu bencana alam, sehingga pusat Kerajaan Mataram dipindahkan ke wilayah Jawa Timur. Maharsi Markandeya juga ikut berpindah ke arah timur, akhirnya bermukim di daerah Gunung Raung (Jawa Timur). Di sana Beliau melakukan pertapaan dan mendapatkan petunjuk untuk pergi ke arah timur yaitu pulau Bali.
Dalam menyebarkan Agama Hindu di Bali, Beliau banyak membangun tempat suci, misalnya Pura Besakih, Pura Payogan Agung Gunung Lebah yang berlokasi di Ubud. Gunung artinya tinggi, Lebah artinya sungai. Rsi Markandeya mengganti nama hutan mautama menjadi Sarwo Ade yang dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai serba ada. Sarwa Ade ini merupakan hutan kayu dan karena terdapat pohon yang menyala disini, akhirnya tempat ini dinamakan Desa Taro yang berasal dari kata “taru” yang artinya pohon.
Pada saat Rsi Markandeya berada di ketinggian gunung Toh Langkir, Beliau menyadari bahwa pulau Dawa (Dewata?) tersebut tidaklah sepanjang yang diperkirakan sebelumnya, kemudian menggantinya dengan nama “Bali”, berasal dari kata “wali” (bahasa Palawa dari India Selatan) yang berarti 'Persembahan Suci'. Selanjutnya pada masa kini persembahan atau upacara suci tersebut dikenal dalam bentuk 'banten' yang dibawa umat ke pura saat melakukan persembahyangan.
Selanjutnya kawasan Toh Langkir ini dikembangkan, dan diberi nama Besuki, kemudian menjadi Besakih yang artinya 'selamat'. Sedangkan tempat Rsi Markandeya melakukan upacara persembahan dan menanam 5 elemen logam (Panca Datu) dikenal dengan nama Pura Besakih. Awalnya dari sebuah pelinggih kemudian didirikan pura bernama Besukian, kemudian pura tersebut terus berkembang, pembangunan dilakukan secara bertahap, sehingga menjadi komplek pura terbesar yang sekarang dikenal dengan nama Pura Besakih.
Peninggalan Rsi Markandeya sampai saat ini disucikan di Pura Gunung Raung di Desa Taro berupa : batu, emas, lingga yoni, arca. Ada satu peninggalan Rsi Markandeya yang sangat disakralkan berupa tombak. Tombak ini dinamakan "Ratu Madeg", yaitu “Sesuai dengan namanya yaitu Ratu Madeg, Madeg artinya 'tegak', maka tombak suci tersebut ditempatkan secara tegak lurus dan diyakini bila tombak tersebut miring ke salah satu arah mata angin, maka akan terjadi kebakaran hutan atau kayu kemana arah tombak itu miring".
2. Rsi Agastya
Rsi Agastya lahir di Kasi (Benares) India. Rsi Agastya disebut juga sebagai Bhatara Guru perwujudan Dewa Siwa, karena kebesaran dan kesuciannya. Dalam sejarah perkembangan Hindu di Indonesia, nama Rsi Agastya pertama kali disebut dalam Prasasti Dinoyo di Jawa Timur tahun saka 682. Prasasti itu menyebutkan seorang Raja bernama Gajayana yang membuat tempat suci indah untuk Maha Rsi Agastya. Tempat ini untuk memohon kekuatan suci agar bisa mengatasi kegelapan.
3. Mpu Kuturan
Mpu Kuturan atau Mpu Rajakretha seorang pendeta Hindu dari Kerajaan Majapahit. Mpu Kuturan adalah penasihat Raja Airlangga. Namun karena nasihatnya sudah tidak didengarkan lagi oleh para ksatria, Mpu Kuturan memilih untuk meninggalkan kerajaan kembali ke Bali.
Pada abad ke-10 Mpu Kuturan menjadi penasihat Raja Sri Guna Priya Dharmapatni / Raja Udayana kemudian menetap di lokasi yang kini menjadi Pura Silayukti. Selama di tempat ini, Mpu Kuturan melakukan yoga dan menyebarkan ajaran Hindu.
Satu karya besar Mpu Kuturan adalah sistem Pura Kahyangan Tiga yaitu Pura Puseh, Pura Desa, dan Pura Dalem sebagai wujud lambang Dewa Wisnu, Dewa Brahma, serta Dewa Siwa. Mpu Kuturan moksa atau menyatu bersama Sang Pencipta di Pura Silayukti.
4. Dang Hyang Dwijendra
Dang Hyang Dwijendra atau Rsi Dwijendra, atau Mpu Nirartha, atau Dang Hyang Nirartha adalah seorang pengelana Hindu abad ke-16 Masehi yang datang ke Bali. Beliau dari Kerajaan Majapahit setelah perjalanan dari Blambangan Jawa Timur.
Beliau banyak membangun pura seperti Pura Purancak, Pura Rambut Siwi, Pura Uluwatu, Pura Tanah Lot, dllnya. Beliau di Lombok mendapat sebutan Tuan Semeru, di Bali mendapat sebutan "Pedanda Sakti Wawu Rauh". Nama ini diperoleh saat ia menolong penduduk Desa Gading Wani yang sedang dilanda wabah penyakit. Karena kesaktian Dang Hyang Dwijendra, maka Desa Gading Wani terbebas dari wabah penyakit.
Dang Hyang Dwijendra seorang pendiri ajaran Siwaisme di Bali, juga dikenal sebagai seorang sastrawan. Beberapa karya sastranya yang berbentuk puisi maupun prosa seperti : Gegutuk Menur, Ampik Legarang, Sara Kusuma, Usana Bali, dan lainnya. Dang Hyang Dwijenda mencapai Moksa di Pura Uluwatu.
5. Mpu Tantular
Dikenal sebagai pujangga besar Hindu yang mengarang Kitab Sutasoma. Kitab ini menyebutkan, bahwa Sang Hyang Widhi Wasa adalah satu (tunggal) bukan dua, melainkan memiliki banyak sebutan. Semboyan Negara Indonesia, "Bhinneka Tunggal Ika", yang berarti berbeda-beda tetap satu juga diambil dari Kitab Sutasoma.
Mpu Tantular adalah putra dari Mpu Bahula. Mpu Tantular memiliki empat orang putra yaitu : Mpu Kanawawika, Mpu Asirnaranatha, Mpu Sidhimantra, dan Mpu Kepakisan.
Satu putra Mpu Tantular -- Mpu Kepakisan, adalah leluhur dari Raja Dalem Batur Enggong Kerajaan Gelgel di Bali.
6. Masuknya Majapahit
Paska Raja Ratna Bumi Banten (raja Badhahulu) ditaklukkan oleh Majapahit pada th 1343, masuklah budaya Majapahit ke Bali, apa yg berlaku di Majapahit diberlakukan juga di Bali. Terjadi 2 terapan religi yang dianut oleh masyarakat Bali, yaitu ada yang mengikuti religi Bali kuno dan ada yg mengikuti religi Majapahit, bahkan ada masyarakat yg melaksanakan kedua-duanya.
Jika setiap Kamis Wage Sungsang (Sugiyan Jawa), rakyat Majapahit lah yg menyelenggarakan Yadnya. Jika setiap Jumat Kliwon Sungsang (Sugiyan Bali), rakyat Bali asli yg menyelenggarakan Yadnya.
Juga ada tonggak piodalan yg satu mengikuti sasih (bulan), dan yg satu mengikuti wuku.
Acara pemelastian yg satu mengikuti sasih ke Sanga (bulan ke-9), dan yg satu lagi mengikuti sasih kedasa (bulan ke-10).
Juga dalam acara Rsi yadnya pediksan dlm pengesahan seorang pendeta, yg satu mengikuti Napak Wakil Bhatara Kawitan, dan yang satu lagi mengikuti Napak Kaki Guru Nabe, dllnya.
Meskipun Raja Bhadahulu telah wafat, pemberontakan rakyat Bali terus berlanjut. Warga Bali Mula yg diperlukan wibawanya utk menjaga stabilitas yang baru disebut Arya. Misalnya : Sri Giri Ularan, putra Si Rigis yg menjadi Patih raja Batur Enggong menjadi Arya Ularan (Gusti Ularan), Sri Pasung Giri menjadi Arya Pasung Giri, Keturunan Sri Karang Buncing menjadi Arya Karang Buncing, Gusti Karang Buncing; Sri Rigis menjadi Arya Rigis, Si Tunjung Tutur menjadi Arya Tunjung Tutur, Si Tunjung Biru menjadi Arya Tunjung Biru.
Terjadi akulturasi adat dan budaya antara masyarakat Bali Aga dan Bali yang dipengaruhi Majapahit, yang menjadi latar belakang perubahan besar dalam tatanan sosial dan budaya di Bali. Hal ini juga memberikan corak Agama Hindu seperti yg kita warisi sekarang.***
Diolah dari berbagai sumber.




Tidak ada komentar:
Posting Komentar