Kebo Iwa Ke Majapahit
Sebelum Kebo Iwa berangkat ke Majapahit, terlebih dahulu Kebo Iwa sempat sembahyang di pura, diyakini mendapat firasat atau sipta (wangsit) tentang kemungkinan bahaya kepergiannya ke Jawa. Tempat mendapatkan wangsit itu kemudian diabadikan menjadi Pura Kuru Baya, yang bermakna 'peringatan akan adanya bahaya atau celaka'. Lokasi pura itu disisi barat Pura Gaduh, Gianyar.
Namun karena terikat perintah Raja, meskipun mendapat wangsit atau firasat buruk, Kebo Iwa berangkat juga ke Majapahit. Hal ini juga sebagai wujud kesetiaan dan loyalitas Kebo Iwa kepada Raja.
Keesokan harinya setelah pamitan kepada para menteri semua, Kebo Iwa lalu ke Pura Luhur Uluwatu, melakukan yoga semadi sendiri tanpa ada yang mengiringi. Setelah beberapa lama di parahyangan lalu berjalan menuju pantai Pula Ayam (Bali Tengil) di Benoa, kemudian menaiki parahu layar ke tengah samudra. Saat itu, Kebo Iwa berangkat dengan perahu pemberian Gajah Mada yang ternyata sudah dirancang khusus, yaitu mudah bocor, harapannya di tengah samudra perahu tersebut tenggelam. Benar saja, lalu ada tanda-tanda tidak baik, di tengah samudra hujan ribut dan kilat bersaut-sautan, perahu layar diterjang ombak, perahu bocor sehingga perahu mulai tenggelam. Kebo Iwa yang sakti, saat itu meloncat dan berenang seperti ikan hiu hingga sampai ke pulau Jawa dalam keadaan selamat. Saat melihat kejadian ini, Gajah Mada semakin takut ihwal kehebatan Kebo Iwa.
Sesampainya di pulau Jawa, Gajah Mada mengajak Kebo Iwa beristirahat sejenak sebelum melanjutkan perjalanan ke Majapahit. Gajah Mada terus memutar otak, bagaimana cara menyingkirkan Kebo Iwa tanpa angkat senjata dan pertumpahan darah. Sebab, jika harus bertarung melawan Kebo Iwa, Gajah Mada dan rombongannya merasa tak kuat.
Gajah Mada gunakan siasat lagi. Gajah Mada menyampaikan kepada Kebo Iwa, bahwa sesuai dengan tradisi Tanah Jawa, sebelum upacara pernikahan dilaksanakan, mempelai laki-laki harus memberikan emas kawin kepada mempelai wanita, sesuai apa yang diminta oleh mempelai wanita. Mempelai wanita, kata Patih Gajah Mada, ingin juga diberikan emas kawin, sebuah sumur yang kelak dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat Majapahit.
Ketika Patih Kebo Iwa tiba di Majapahit, para tentara Majapahit menjadi terperangah, takjub, bercampur rasa ngeri dan waspada. Tentara Majapahit, menunjukkan ekspresi terkejut dan cemas. Arah pandang mereka berharap ke satu tujuan yang sama. Beberapa di antara mereka tampak sedang berbisik pelan dengan teman yang berada di sebelahnya; "Lihatlah ukuran tubuhnya! Luar biasa! Mengerikan!".
Memang, ketika tiba di Majapahit, Kebo Iwa dipertemukan dengan sang putri cantik. Sang putri pun memberikan syarat agar Kebo Iwa membuatkan dirinya sebuah sumur. Tanpa curiga, Kebo Iwa yang jujur menyanggupi persyaratan tersebut. Maka dimulailah dengan cekatan Kebo Iwa menggali sumur. Namun, ketika sumur dirasa cukup dalam, tiba-tiba Gajah Mada memerintahkan pasukannya untuk menimbun Kebo Iwa yang ketika itu masih berada di dasar sumur dengan batu dan tanah hingga kedalaman Kebo Iwa.
Tapi lagi-lagi berkat kesaktiannya, Kebo Iwa tidak mati. Dia melempar batu-batu itu keatas bagaikan hujan batu menimpa prajurit-prajurit Majapahit sampai banyak yang meninggal kena melempar batu, dan lainnya lari tunggang langgang menyelamatkan diri masing-masing. Saat itulah, Kebo Iwa menyadari niat busuk Gajah Mada. Kebo Iwa mampu keluar dari dasar sumur dengan keadaan segar bugar. Sumur yang diperkirakan digali oleh Kebo Iwa itu terletak di desa Trowulon, Mojokerto, Jawa Timur. Masa kini di tempat gali sumur itu sudah dibangun tempat suci bernama Candi Kedaton.
Kebo Iwa sangat marah dengan kelicikan Gajah Mada dan langsung mencari Patih Gajah Mada hingga ke Gunung Wilis. Disini terjadi pertempuran yang sangat dahsyat, seru dan berimbang antara Kebo Iwa dengan Gajah Mada berlangsung lama sekali tanpa ada yang menang dan kalah. Dalam pertarungan itu, Kebo Iwa sempat menanyakan alasan seorang patih dari kerajaan besar yang berlaku licik ( pengindra jala ) dan tidak pantas dilakukan oleh seorang yang mengaku sebagai seorang ksatria.
Patih Gajah Mada menjawab, “Kewajiban seorang ksatria untuk memperluas wilayah kerajaannya, serta mempersatukan nusantara di bawah panji-panji Majapahit. Karena Patih Kebo Iwa merupakan batu sandungan, jadi wajib untuk disingkirkan,” kata Gajah Mada.
Berhubung rasa malu untuk kembali ke Bali, maka Kebo Iwa menjawab, "Kewajibanmu mempersatukan nusantara di bawah Majapahit tidak akan saya halangi dan saya akan memberikan rahasia kematian saya,” kata Kebo Iwa.
Diam-diam Kebo Iwa mendukung rencana Gajah Mada yang akan mempersatukan nusantara. Oleh karena itu, Kebo Iwa menceritakan kelemahannya kepada Gajah Mada. Namun Kebo Iwa juga sempat bersumpah.
“Kematian saya terjadi jika saya dikubur dengan bubuk kapur.Tetapi karena Anda secara licik telah menipu saya (pengindra jala), maka kelak Negeri Nusantara bentukkan Anda akan diperintah dan dijajah oleh orang-orang yang berkulit putih, berhidung mancung, berambut pirang. Roh saya akan menyatu dengan orang-orang kulit putih tersebut hingga saya merasa puas,” kata Kebo Iwa.
Gajah Mada yang sudah mengetahui kelemahan Kebo Iwa, langsung memerintahkan pasukan Majapahit menyiapkan bubuk kapur guna mengubur Kebo Iwa agar bisa mati.
Kebo Iwa yang sudah mulai sesak nafas setelah ditaburi bubuk kapur berkata,
"Kiranya kematianku tidak sia-sia adanya biarlah Nusantara yang kuat bersatu, hasil yang pantas atas harga nyawa hidupku".
Gajah Mada menjawab,
“Kepergianmu sebagai tokoh besar akan terkenang dalam sejarah. Sejarah suatu nusantara yang satu dan kuat”.
Tak lama setelah mendengar pernyataan tersebut, napas terakhirpun pergilah sudah, meninggalkan raga seorang patih tertangguh dalam sejarah Bali dan pertiwi pun meredup melepas kepergian salah satu putra Bali terbaiknya.
Di tempat ini sekarang ditandai dengan batu hitam setinggi 5 meter, situs batu itu disebut "Mahiso Truno Bali" (Kebo Taruna Bali), tepatnya di Gunung Wilis, Dusun Besuki, Desa Jugo, Kecamatan Mojokerto, Kediri, Jawa Timur.
Versi Babad Bara Batu, prasasti Pura Dalem Maya, Blahbatuh Gianyar, menyebutkan bahwa, Kebo Iwa meninggal di tempat beliau menggali sumur. Cuplikannya, sbb :
Bahwa Kebo Iwa menggali sumur sampai dalam, kemudian sumur tersebut ditimbuni batu, namun batu di hempaskan kembali dari dalam sumur keatas bagaikan hujan batu. Kebo Iwa berhasil naik keatas sumur dan berkata,
"Hai kamu prajurit semua, kalau kamu mengharapkan aku mati, aku tidak mati oleh batu, juga segala senjata buatan manusia, malu aku kembali ke Bali. Dengarkanlah ucapanku, kalau kalian ingin membunuhku, timbun aku dengan bubuk kapur di dalam sumur beserta canang wangi seperti : bunga, daun, air, buah, dupa. Jika aku mati atas mengizinkan kamu semua, semoga di kemudian hari bumi ini akan dimasuki kebo putih, saat itu semua akan kesusahan,"
Akhirnya Kebo Iwa meninggal di dalam sumur.
(Belakangan, berdasarkan petunjuk 'niskala' didapat petunjuk bahwa Kebo Iwa wafat di Gunung Wilis, Dusun Besuki, Desa Judo).
Kebo Iwa tokoh ksatria Bali sejati, Beliau sangat jujur, berintegritas, sangat sakti, sebenarnya bisa saja Kebo Iwa melawan sendirian semua pasukan Majapahit yang licik menipu (pengindra jala) Kebo Iwa. Namun Beliau rela mati demi memenuhi kepentingan yang lebih besar menyatukan (menguasai) Nusantara dibawah panji-panji Majapahit, meskipun banyak korban di Bali paska gugurnya Kebo Iwa di Majapahit.
Kepergian Kebo Iwa untuk selamanya seakan-akan Pertiwi di Majapahit ikut berduka, keadaan hening, penuh keterharuan, banyak juga yang bersedih karena Kebo Iwa rela mengorbankan dirinya demi Sumpah Palapa Majapahit menyatukan Nusantara, (Amor Ing Acintya).
Sekarang, di setiap pertandingan ada bahasa simbul, bahasa isyarat, yaitu 'melempar handuk putih atau mengangkat bendera putih pertanda menyerah'. Sudut pandang ini mungkin mengambil kisah dari kematian Kebo Iwa yang menyerah ditabur dengan kapur putih, (melempar handuk putih) pertanda menyerah.
Majapahit Menyerang Bali
Pada th 1343 M, setelah kematian Kebo Iwa, maka dimulailah penaklukan Kerajaan Bali Aga oleh Majapahit dipimping Patih Gajah Mada, dibantu para Arya dan prajurit. Gajah Mada, Mpu Witadarma, Krian Pemacekan, Ki Gajah Para, Krian Getas mendarat di Tianyar, Bali Timur. Arya Damar, Arya Sentong, Arya Kutawaringin mendarat di Bali Utara. Arya Kenceng, Arya Belog (Tan Wikan), Arya Pengalasan, Arya Kanuruhan mendarat di Bali Selatan, dan lainnya untuk memerangi Kerajaan Bali.
Dalam invasi tersebut, Raja Bali tewas dalam pertempuran melawan pasukan Gajah Mada. Begitu pula Putra Mahkota Sri Madatama yang masih kecil dibunuh di tangan pasukan Gajah Mada sehingga tidak ada pewaris takhta kerajaan Bali.
Akan tetapi, perlawanan rakyat Bali susah dihentikan karena Raja Ratna Bumi Banten sangat dicintai oleh rakyatnya, semua rakyat Bali yang laki-laki remaja bangkit mendaftar menjadi tentara untuk melawan Majapahit. Jiwa korsa pemuda-pemuda Bali luar biasa, bagaikan ksatria-ksatria sejati demi membela Bali.
Untuk mengakhiri perlawanan rakyat Bali, Gajah Mada kembali bersiasat. Majapahit juga meminta berunding dengan Ki Pasung Grigis sebagai pemimpin. Dalam perundingan tersebutlah Ki Pasung Grigis ditangkap dan dijadikan sandera kemudian dibawa ke Majapahit. Dengan itu, pupus sudah melakukan perlawanan terhadap Kerajaan Bali.
Gajah Mada menunjuk beberapa orang Arya, kepala pasukan Majapahit, untuk menetap dan berkuasa di beberapa wilayah di Bali, yaitu :
- Arya Kutawaringin di Gelgel,
- Arya Kenceng di Tabanan,
- Arya Belog di Kaba-Kaba,
- Arya Dalancang di Kapal,
- Arya Sentong di Carangsari,
- Arya Kanuruhan Singa Sardula di Tangkas, dan lainnya.
Dalam masa transisi pemerintahan dari kerajaan Bhadahulu ke kerajaan Majapahit, mulai tahun 1343 masih terjadi pemberontakan. Selama masa transisi, pemberontakan terjadi 30 kali di tanah Bali. Untuk mengisi kekosongan pemerintahan, maka diangkatlah Kyai Agung Pasek Gelgel orang dari Majapahit.
Dalam Babad Bali, setelah Majapahit berhasil menghentikan pemberontakan suku Bali Aga yang dipimpin oleh Ki Tokawa, Ki Pasung Giri dan Ki Tunjung Tutur (1345 M), serta pemberontakan Ida Dalem Makambika (1347 M) semua masih keturunan bangsawan Badhahulu, maka pada tahun 1352 Masehi baru ditetapkan Sri Aji Kresna Kepakisan, seorang keturunan Brahmana dari Jawa, menjadi Raja di Bali (1352-1380 M), serta pusat pemerintahan dipindahkan ke Gelgel. Keturunan dinasti Kepakisan inilah di kemudian hari yang menjadi raja-raja kecil di beberapa kerajaan di Pulau Bali.
Pada tahun 1686 M, pasca raja terakhir Dinasti Gelgel - Dalem Di Made wafat, pusat kerajaan dipindahkan ke Klungkung. Pada periode pusat kerajaan di Klungkung inilah, kekuasaan di Bali terpecah menjadi sembilan swapraja atau kerajaan kecil.
Dengan berhasil mengalahkan kerajaan Bali, maka Majapahit berhasil menyatukan (menguasai) Nusantara. Namun sumpah serapah Kebo Iwa terwujud ketika Nusantara kemudian dijajah Belanda selama 3,5 abad. Sumpah serapah Kebo Iwa yang hatinya lurus dan jujur sudah terbukti (... kelak Nusantara akan dijajah oleh orang yang berkulit putih, berhidung mancung, berambut pirang. ..).
Perlawanan kerajaan Badhahulu terhadap Majapahit oleh legenda masyarakat Bali dianggap melambangkan perlawanan penduduk Bali asli (Bali Aga) terhadap serangan orang Jawa (Majapahit).
Setelah raja Bali ditaklukkan oleh Majapahit, maka secara bertahap terjadi perubahan dalam tatanan sosial dan budaya di Bali. Apa yang diberlakukan di Majapahit, diberlakukan juga di Bali. Terjadi 2 terapan religi yang dianut oleh masyarakat Bali mulai saat itu, yaitu ada yang mengikuti religi Bali kuno dan ada yang mengikuti religi sejarah Majapahit, bahkan adar masyarakat yang melakukan kedua-duanya. Jika setiap Kamis Wage Sungsang (Sugian Jawa), rakyat Majapahit lah yang menyelenggarakan Yadnya. Jika setiap Jumat Kliwon Sungsang (Sugian Bali), rakyat Bali asli yg menyelenggarakan Yadnya.
Juga ada tonggak piodalan yg satu mengikuti sasih (bulan), dan satu yang mengikuti wuku.
Acara pemelastian yg satu mengikuti sasih ke Sanga (bulan ke-9), dan satu lagi mengikuti sasih kedasa (bulan ke-10).
Juga dalam acara Rsi Yadnya Pediksan dlm pengesahan seorang pendeta, yg satu mengikuti Napak Wakil Bhatara Kawitan, dan yang satu lagi mengikuti Napak Kaki Guru Nabe, dllnya .
Warga Bali Mula yang diperlukan wibawanya utk menjaga stabilitas yang baru disebut Arya. Misalnya : Sri Giri Ularan putra Si Rigis yg menjadi Patih raja Batur Enggong menjadi Arya Ularan (Gusti Ularan), Sri Pasung Giri menjadi Arya Pasung Giri, Keturunan Sri Karang Buncing menjadi Arya Karang Buncing, Gusti Karang Buncing; Sri Rigis menjadi Arya Rigis, Si Tunjung Tutur menjadi Arya Tunjung Tutur, Si Tunjung Biru menjadi Arya Tunjung Biru.
Terjadinya perubahan adat dan budaya antara masyarakat Bali Aga dan Bali yang dipengaruhi budaya Majapahit, yang menjadi latar belakang perubahan besar dalam tatanan sosial dan budaya di Bali. Terjadilah akulturasi antara budaya Majapahit dengan budaya Bali, rupanya hal ini ikut memberikan corak Agama Hindu seperti yg kita warisi sekarang.***
Diolah dari berbagai sumber.



