Selasa, 10 Juni 2025

Bagaimana Terciptanya Dunia?

AWAL PENCIPTAAN MENURUT HINDU. 

Foto Ilustrasi, sumber Internet


Dalam kitab suci Hindu, seperti Rgveda dan Upanishad, keadaan sebelum dunia diciptakan sebagai keadaan gelap, yang disebut sebagai "Asat" atau "Avyakta". Asat atau Avyakta adalah keadaan yang tidak termanifestasi, tidak memiliki bentuk atau sifat, dan tidak dapat dipahami oleh manusia.
Dalam Regveda ada disebutkan (Sansekerta) sbb :

"tama āsīt tamasā gūḍham agre praketaṁ salilaṁ sarvam ā idam tucchyenābhv apihitaṁ yad āsīt tapasas tan mahinā jāyataikaṁ."

Terjemahan :

“Pada mulanya ada kegelapan, yang tersembunyi di dalam kegelapan; alam semesta tidak dapat dibedakan seperti udara. Yang telah menjadi, ditutupi oleh selubung; Yang Esa itu muncul melalui kekuatan panas”.


Pada mulanya alam ini kosong, yang ada hanya Tuhan, sering disebut jaman "duk tan hana paran - paran anrawang anruwung" artinya ketika itu belum ada apa-apa dan semuanya tidak menentu. Keadaan sebelum dunia diciptakan dianggap sebagai keadaan gelap, yang disebut sebagai “Tamas”. Tamas adalah salah satu dari tiga guna (sifat) yang ada dalam alam semesta, yaitu :

1.  Sattva (Terang)
Sattva adalah sifat yang terkait dengan terang, kesadaran, dan kebijaksanaan.

2.  Rajas (Gerak)
Rajas adalah sifat yang berkaitan dengan gerak, aktivitas, dan perubahan.

3.  Tamas (Gelap)
Tamas adalah sifat yang terkait dengan kegelapan, dan ketidaktahuan.

Dalam sebelum keadaan dunia diciptakan, Tamas sebagai sifat yang dominan, sehingga keadaan tersebut dianggap sebagai keadaan gelap. Namun, dengan terciptanya dunia, Sattva dan Rajas mulai berperan, sehingga keadaan gelap mulai berubah menjadi terang.

Setelah dunia diciptakan, Tuhan menciptakan Para Dewa, tumbuhan berbagai makhluk hidup, termasuk binatang lainnya, dan manusia. Berikut adalah urutan penciptaan makhluk hidup secara garis besar menurut agama Hindu :

1. Dewa-Dewa
Dewa - dewa diciptakan pertama kali oleh Brahman untuk membantu mengatur alam semesta dan menjaga keseimbangan.

2.  Tumbuhan (Virudha)
Setelah dewa-dewa tercipta, Brahman menciptakan tumbuh-tumbuhan untuk menjadi sumber makanan dan oksigen bagi makhluk hidup lainnya.

3.  Binatang (Tiryak)
Kemudian, Brahman menciptakan binatang termasuk hewan darat, hewan laut, dan hewan udara untuk menghuni alam semesta dan menjaga keseimbangan ekosistem.

4.  Manusia
Terakhir, Brahman menciptakan manusia sebagai makhluk hidup yang paling sempurna di antara makhluk hidup lainnya. Manusia pertama ciptaan Tuhan dalam ajaran agama Hindu disebut Syayambhumanu.
Selanjutnya setelah terciptanya manusia pertama atas kekuasaan Tuhan, maka manusia itu sendiri yang berkembang. Tuhan menciptakan manusia sebagai makhluk hidup yang paling sempurna dan memiliki kemampuan untuk berpikir, merasa, dan bertindak. Manusia diciptakan untuk menghuni dunia dan menjaga keseimbangan alam.

Foto Ilustrasi, sumber internet


Proses Penciptaan Dunia

Dalam agama Hindu, proses penciptaan dunia merupakan proses yang kompleks dan melibatkan banyak tahapan. Dalam kitab Upanisad, penciptaan alam semesta diibaratkan seperti laba–laba yang memintal benangnya secara bertahap, demikian pula Brahman menciptakan alam semesta secara bertahap. Dengan kemahakuasaan-Nya, Tuhan menciptakan : 

1. Kekuatan Purusa (rohaniah) yaitu kekuatan hidup dan Pradana (Prakerti) yaitu kekuatan kebendaan.

2 . Kemudian timbullah “cita” (alam pikiran yang sudah mulai dipengaruhi oleh Tri Guna yaitu Satwam, Rajas dan Tamas).

3. Kemudian timbullah Budi (naluri pengenal).

4. Setelah itu timbul Manah (akal dan perasaan).

5. Selanjutnya timbul Ahamkara (rasa keakuan).

6. Kemudian timbul Dasa Indria yaitu sepuluh sumber indria (Panca Budi Indria dan Panca Karma Indria).

Panca Budi Indria (Lima gerak keinginan) yaitu :

  1. Caksu indria (rangsang penglihatan)
  2. Ghrana indria (rangsang penciuman)
  3. Srota indria (rangsang pendengaran)
  4. Jihwa indria (rangsang pengecap)
  5. Twak indria (rangsang rasa sentuhan atau rabaan)


Panca Karma Indria (Lima gerak perbuatan) yaitu :

  1. ‌Wak indria (penggerak mulut)
  2. Pani indria (penggerak tangan)
  3. Pada indria (penggerak kaki)
  4. Payu indria (penggerak pelepasan)
  5. Upastha indria (penggerak kelamin)


7. Setelah Dasa Indria, timbullah Panca Tanmatra (lima jenis bibit alam) yaitu :

  1. ‌Sabda Tanmatra (benih suara)
  2. Sparsa Tanmatra (benih rasa sentuhan)
  3. Rupa Tanmatra (benih penglihatan)
  4. Rasa Tanmatra (benih rasa) 
  5. Landha Tanmatra (benih bau - penciuman)


8. Setelah itu lahirnya Panca Maha Bhuta (unsur-unsur benda materi yang bersifat nyata) yaitu :

  1. ‌Apah (zat cair)
  2. Teja (sinar)
  3. Bayu (angin)
  4. Akasa (eter)
  5. Pratiwi (zat padat)


9. Dari Panca Maha Butha terbentuk Paramanu yaitu atom - atom, zat padat kelima ini mengalami proses peleburan lebih lanjut sehingga terwujud benda-benda alam yang disebut Brahma anda (Brahmanda) yaitu planet-planet dan bintang-bintang sebagai bagian isi alam semesta. Brahmanda artinya benda bulat berbentuk telur ciptaan Brahman. Semuanya terdiri dari tujuh Loka yang disebut Sapta Loka yaitu :

  1. Bhur Loka
  2. Bhuwah Loka
  3. Sawah Loka
  4. Tapa Loka
  5. Jana Loka
  6. Maha Loka
  7. Satya Loka.

Pada setiap Loka terdapat perbedaan kandungan unsur dari masing-masing Panca Maha Bhuta.

Foto Ilustrasi sumber Internet


Proses Penciptaan Manusia Dan Makhluk Lain.
 
Setelah alam semesta diciptakan Tuhan kemudian menciptakan isinya. Dalam proses penciptaan ini terbentuklah lebih banyak yang kasar, misalnya penciptaan Dewa-Dewa, Gandarwa, Paisacha, kemudian terciptalah tumbuhan, yang berbadan kasar lainnya seperti binatang dan barulah manusia.

Proses penciptaan manusia adalah sari-sari dari Panca Maha Bhuta dan Sad Rasa (enam jenis rasa : manis, pahit, asin, asam, pedas, sepat). Unsur-unsur ini terpadu dengan unsur-unsur lain yaitu Cita, Budi, Ahangkara, Dasendria (Panca Tanmatra dan Panca Maha Bhuta).
Perpaduan semua unsur-unsur ini menghasilkan dua unsur benih kehidupan yaitu Purusa atau Sukla (benih laki-laki) dan Pradana atau Swanita (benih perempuan).
Pertemuan antara dua benih kehidupan ini Purusa dengan Pradana terciptalah manusia. Maka di dalam diri manusia semua unsur alam itu ada.

Manusia pertama ciptaan Tuhan dalam ajaran agama Hindu disebut Syayambhumanu. Syayambhumanu artinya makhluk berpikir yang menjadikan dirinya sendiri, itulah manusia pertama. Manu artinya berpikir. Dari kata Manu timbullah kata manusia yang artinya keturunan Manu. Selanjutnya setelah terciptanya manusia pertama atas kekuasaan Tuhan, maka manusia itu sendiri yang berkembang.
Bhagavad Gita III sloka 10 menyatakan :

" Sahyajnah prajah srishtwa Puro wacha praja patihanena prasawishya dhwamesha wo'stu ishta kama'dhuk"

Artinya :

"Dahulu kala Prajapati mencipta manusia bersama bhakti persembahannya dan berkata dengan ini engkau akan berkembang biak dan biarlah dunia ini jadi sapi perahanmu".

Dalam agama Hindu, penciptaan makhluk hidup dianggap sebagai proses yang terus-menerus dan tidak pernah berhenti. Tuhan sebagai pencipta yang terus menerus menciptakan dan mengatur alam semesta.

Foto Ilustrasi Sumber Internet


Penciptaan dari Segi Ilmu Pengetahuan.

Dari bidang ilmu pengetahuan, terjadinya dunia dapat dijelaskan melalui beberapa teori dan konsep yang telah dikembangkan oleh para ilmuwan. Banyak teori dan konsep yang menjelaskan terjadinya dunia, berikut ini beberapa teori dan konsep yang menjelaskan terjadinya dunia (dikutip dari Meta) :

1. Teori Big Bang

Teori Big Bang adalah teori tentang yang paling luas diterima oleh para ilmuwan asal-usul alam semesta. Menurut teori ini, alam semesta terbentuk sekitar 13,8 miliar tahun yang lalu dari sebuah ledakan besar yang disebut Big Bang.

2. Pembentukan Galaksi dan Bintang.

Setelah Big Bang, alam semesta terus mengembang dan membaik. Sekitar 300.000 tahun setelah Big Bang, proton dan neutron mulai bergabung membentuk inti atom. Kemudian, inti atom ini bergabung membentuk atom-atom yang lebih berat, seperti hidrogen dan helium.

3. Pembentukan Tata Surya.

Sekitar 4,6 miliar tahun yang lalu, sebuah awan gas dan debu di ruang angkasa mulai runtuh dan membentuk Matahari dan planet – planet di Tata Surya kita.

4. Pembentukan Bumi.

Bumi terbentuk sekitar 4,5 miliar tahun yang lalu dari pecahan - pecahan batu dan debu yang mengorbit Matahari. Bumi awalnya sangat panas dan berbatu, namun secara bertahap mendingin dan membentuk atmosfer.

5. Pembentukan Kehidupan.

Sekitar 3,5 miliar tahun yang lalu, kehidupan pertama kali muncul di Bumi. Kehidupan awal ini berupa organisme sederhana seperti bakteri dan arkea.

6. Evolusi Kehidupan.

Kehidupan di Bumi terus berevolusi dan berkembang menjadi lebih kompleks. Sekitar 2,1 miliar tahun yang lalu, oksigen mulai muncul di atmosfer, yang memungkinkan kehidupan yang lebih kompleks berkembang.

7. Pembentukan Spesies.

Sekitar 500 juta tahun yang lalu, kehidupan di Bumi mulai membentuk spesies yang lebih kompleks, seperti hewan dan tumbuhan.

8. Evolusi Manusia.

Sekitar 200.000 tahun yang lalu, spesies manusia pertama kali muncul di Afrika. Manusia terus berevolusi dan berkembang menjadi lebih kompleks, dengan kemampuan berpikir, berbicara, dan menggunakan alat.

Dengan demikian, terjadinya dunia dapat dijelaskan melalui beberapa teori dan konsep yang telah dikembangkan oleh para ilmuwan.***

Foto Ilustrasi Sumber Internet.


 

Senin, 19 Mei 2025

Nyepi Memperingati Terciptanya Dunia?

Adakah Kaitannya Pengarakan Ogoh-Ogoh Dengan Nyepi?

Foto hanya ilustrasi sumber internet


Hari Raya Nyepi yang dirayakan setahun sekali pada Sasih Kesenge oleh umat Hindu dengan pengarakan ogoh-ogoh, khususnya di Bali diidentikkan dengan Perayaan Tahun Baru Saka.


Hal ini menarik untuk disimak mengingat tidak semua umat Hindu  di Indonesia mengarak ogoh-ogoh dalam rangka merayakan Tahun Baru Saka. Atau apakah Hari Raya Nyepi untuk memperingati ketika dunia diciptakan pertama kali oleh Ida Hyang Widhi Wasa mengingat sebelum dunia diciptakan keadaannya Sepi, sehingga umat Hindu melaksanakan Nyepi (Sipeng) membuat sepi-sepian?


Pada mulanya sebelum alam semesta diciptakan ini kosong, yang ada hanya Tuhan, sering disebut jaman "duk tan hana paran-paran anrawang anruwung"artinya ketika itu belum ada apa-apa dan semuanya tidak menentu. Keadaan sebelum dunia diciptakan dianggap sebagai keadaan “gelap”, yang disebut sebagai “Tamas”. Tamas adalah salah satu dari tiga guna (sifat) yang ada dalam alam semesta, yaitu :

1. Sattva (Terang)
Sattva adalah sifat yang terkait dengan terang, kesadaran, dan kebijaksanaan.

2. Rajas (Gerak)
Rajas adalah sifat yang terkait dengan gerak, aktivitas, dan perubahan.

3. Tamas (Gelap)
Tamas adalah sifat yang terkait dengan kegelapan, dan ketidaktahuan.


Dalam sebelum keadaan dunia diciptakan, Tamas sebagai sifat yang dominan, sehingga keadaan tersebut dianggap sebagai keadaan gelap . Namun, dengan terciptanya dunia, Sattva dan Rajas mulai berperan, sehingga keadaan gelap mulai berubah menjadi terang.


Dalam agama Hindu, keadaan sebelum dunia diciptakan dianggap sebagai keadaan gelap, karena beberapa alasan yang terkait dengan filosofi dan mitologi Hindu :

1. Mitologi Menurut Hindu, awal penciptaan alam semesta dimulai dengan kesunyian dan ketenangan. Tuhan Brahma, pencipta alam semesta, menciptakan alam semesta dari kenyamanan, kesunyian dari kehampaan, yang ada hanya kegelapan.

2. Dalam filosofi Hindu, ada siklus penciptaan dan siklus yang terus-menerus. Kesunyian dan kenyamanan sebagai awal dari siklus baru, di mana kesunyian dan kenyamanan menjadi simbol dari awal penciptaan yang baru.

3. Kesunyian dan ketenangan juga dianggap sebagai cara untuk membersihkan diri dari dosa-dosa dan kotoran-kotoran spiritual. Dengan berdiam diri dan tidak melakukan aktivitas apapun (tidak melakukan aktivitas seperti biasa), umat Hindu dapat memusatkan diri pada spiritualitas dan melakukan instrospeksi diri apa yang sudah dilakukan dalam setahun yang sudah lewat, dan merencanakan apa yang baik yang akan dilakukan tahun mendatang.

4. Kesunyian dan ketenangan juga dianggap sebagai cara berbakti kepada Tuhan. Dengan berdiam diri dan tidak melakukan aktivitas apa pun (Samadi), umat Hindu dapat mendengarkan hati nuraninya, "Silence Is Brahman," artinya : "Keheningan adalah Brahman".


Kesunyian / keheningan yang dipraktikkan selama Nyepi melambangkan kontemplasi dan memungkinkan Umat Hindu untuk merenungkan kehidupan mereka, menilai perbuatan mereka selama ini. Selain itu, Nyepi juga merupakan cara untuk menjaga keseimbangan hubungan antar manusia, manusia  dengan alam, dan manusia dengan Tuhan.


Sehari sebelum Nyepi, umat Hindu melaksanakan upacara Buta Yadnya, mulai dari masing-masing keluarga, banjar, desa, kecamatan, dan seterusnya, dengan mengambil salah satu dari jenis-jenis caru menurut kemampuannya. Buta Yadnya itu masing-masing bernama Pañca Sata (kecil), Pañca Sanak (sedang), dan Tawur Agung (besar). Tawur atau pecaruan merupakan penyucian pemarisuda Buta Kala, dan segala leteh (kekotoran) diharapkan sirna semuanya. Kemudian pada sandyakala melakukan ngerupuk/ mebuu-buu dimulai dari lingkungan rumah lebih dulu, dilaksanakan ramai-ramai bersama keluarga yang dilengkapi dengan sarana pokok ngerupuk berupa gni seprapak (meobor obor), semburakena (simbuh atau semburkan) bawang putih, mesui dan jangu (triketuka), sirat tirta panyomya bhuta, memukul bunyi-bunyian berupa kaleng bekas, peralatan dapur, kentongan bambu dan lain-lain. Setelah itu barulah dilanjutkan keluar ke jalan raya bergabung dengan teman-teman kelompok/banjar lainnya.


Keesokan harinya, adalah Hari Raya Nyepi. Pada hari Nyepi ini umat Hindu melaksanakan "Catur Brata Penyepian", yang terdiri dari :

  1. Amati Gni, yaitu tidak menyalakan api/lampu termasuk api nafsu yang mengandung makna pengendalian diri dari segala bentuk angkara murka.

  2. Amati Karya, yaitu tidak melakukan kegiatan fisik/kerja dan yang terpenting adalah melakukan aktivitas rohani untuk penyucian diri.

  3. Amati Lelungan, yaitu tidak berpergian, akan tetapi senantiasa introspeksi diri/mawas diri dengan memusatkan pikiran astiti bhakti kehadapan Ida Sang Hyang Widhi /Ista Dewata.

  4. Amati Lelanguan, yaitu tidak mengadakan hiburan/rekreasi yang bertujuan untuk bersenang-senang, melainkan tekun melatih bathin untuk mencapai produktivitas rohani
    yang tinggi.

Nyepi diperingati dengan kesunyian dan keheningan (Sipeng yang berarti Sepi) membuat Sepi-sepian sebagai cara untuk mengingat awal penciptaan semesta. Jadi Nyepi bukan dalam rangka memperingati Tahun Baru Saka.


Rangkaian terakhir dari perayaan Nyepi yaitu Ngembak Geni besoknya mulai pkl 06.00. Ngembak Geni pertanda sudah berakhir Catur Brata penyepian masyarakat sudah boleh melakukan aktivitas seperti biasa. 

Sejak tahun 1983 Hari Raya Nyepi dan Hari Raya Waisak ditetapkan oleh pemerintah sebagai Hari Libur Nasional, berdasarkan Keputusan Presiden Indonesia Nomor 3 tahun 1983 tanggal 19 Januari 1983.

Foto hanya ilustrasi sumber internet

Dengan perkembangan zaman, dimana Nyepi kebetulan berdekatan dengan Tahun Baru Saka, sehingga Hari Raya Nyepi dianggap memperingati Tahun Baru Saka, yang diisi dengan pengarakan Ogoh-ogoh.

Pengarakan ogoh - ogoh yang berlangsung setiap tahun pada saat pengerupukan bukan bagian dari ritual perayaan Nyepi, namun merupakan kreativitas budaya yang lebih menonjolkan ekspresi seni (Buku Panduan Ogoh-ogoh Pengerupukan, hal: 20, poin 3, Dinas Kebudayaan Kota Denpasar 2011).


Menurut I Bagus Putu Sudarmaya (dalam artikel), mulai tahun 1966 pelaksanaan pengerupukan di Badung dipusatkan atau berkumpul terlebih dulu di Lapangan Puputan Badung/I Gusti Ngurah Made Agung kemudian bergerak keliling kota Denpasar. Pada saat itu ada salah satu kelompok/ banjar yang membawa 9 buah obor yang dirangkai menjadi satu dengan ikatan bambu yang dibuat bercabang-cabang yang sudah dililitkan jerami sebagai bentuk kreativitas atau bentuk lain dari obor yang biasa dibawa orang pada umumnya. Kemudian dengan berbaris rapi semua para peserta pawai obor diberi kesempatan masuk ke depan/teras Kantor Gubernur/rumah tempat tinggal Gubernur dengan berbaris 2 secara tertib dan rapi sambil membawa obor untuk mendapat sapaan / lambaian tangan dari Bapak Gubernur Mertha pada waktu itu (kalau tidak salah). Namun, obor kreativitas yang tingginya sekitar 3 meter tidak bisa masuk karena terhalang oleh atap beton di depan teras Kantor Gubernur, sehingga obor kreativitas langsung saja bergerak ke timur di Jl. Surapati, belok ke Jl. Melati terus keliling Kota Denpasar yang diikuti oleh peserta pawai obor.

''Kreativitas obor'' inilah dianggap sebagai cikal bakal ogoh-ogoh yang ada sekarang ini, karena setelah tahun 1967, setiap acara pengerupukan makin banyak kelompok/banjar yang membawa obor kreatif dengan berbagai macam ragam bentuk dan kreasi. Kemudian berkembang sehingga setiap pengerupukan semua kelompok peserta hanya membawa (menggotong/mendorong dengan kereta) ogoh-ogoh, tanpa ada yang membawa api obor lagi sebagai sarana utama pengerupukan.


Karena tidak ada hubungannya dengan hari raya Nyepi, maka jelaslah ogoh-ogoh itu tidak mutlak ada dalam upacara Nyepi. Seperti selama Covid-19 tidak ada pengarakan ogoh-ogoh saat perayaan Nyepi. Namun, ogoh-ogoh itu tetap boleh dibuat sebagai pelengkap kemeriahan upacara.


Sekarang dengan adanya pengarakan ogoh-ogoh setiap perayaan Nyepi hampir diseluruh Bali bahkan sudah mulai berkembang di luar Bali, maka masyarakat Hindu di Bali khususnya mendapatkan hiburan sebelum besoknya melaksanakan Brata Penyepian. Hanya saja ada kekawatiran, bahwa anak-anak, cucu-cucu tidak mengetahui bahwa mebuu-buu / ngerupuklah yang sakral bagian dari Tawur ke Sange, bukan pengarakan Ogoh-ogoh nya. 

Sekian yang dapat saya sampaikan ini hanya tafsir saya apabila ada yang tidak tepat saya mohon maaf. Suksma🙏

__________

Jumat, 25 April 2025

TAJEN SAAT GALUNGAN

Tajen dan Tabuh Rah

Foto hanya Ilustrasi, Sumber Internet

Tajen

Tajen atau sabungan ayam nyaris tak dapat dilepaskan dari kehidupan orang Hindu - Bali. Banyak sekali persepsi masyarakat Hindu-Bali yang memandang bahwa tajen merupakan budaya yang tidak bisa dipisahkan dengan tatanan kehidupan masyarakat Bali; dan ada juga yang memberikan pandangan bahwa tajen merupakan persyaratan dari yadnya dan merupakan budaya yang ada sejak dahulu.

Memang tidak bisa dipungkiri dari sudut pandang  berbagai kalangan masyarakat Bali, bila kita amati apabila ada upacara-upacara yadnya disuatu daerah atau banjar-banjar di Bali, tajen tak lepas dari kegiatan tersebut, meskipun terkadang orientasinya bukan hanya sekedar upacara namun dijadikan sebagai wadah hiburan oleh masyarakat Bali dan identik dengan sebuah taruhan.

Secara logika sebenarnya tabuh rah tidak sama dengan tajen. Tabuh rah adalah bagian dari upacara agama khususnya dalam upacara pacaruan (bhuta yadnya). Setelah berabad-abad dimana seiring perubahan pola pikir manusia dan budaya maka tabuh rah mengalami pergeseran makna dan tujuannya menjadi tajen. Tajen yang sekarang dilakukan masyarakat Bali  merupakan sebuah taruhan dengan menggunakan materi atau uang, sehingga merupakan perjudian murni - bukan yadnya.

Adanya larangan tajen kerena sering dikaitkan dengan judi menyebabkan tajen kemudian dilakukan secara sembunyi-sembunyi oleh warga Bali, dan tidak tertutup kemungkinan juga ada main mata dengan oknum aparat kepolisian.

Dalam Manawa Dharmasastra V.45, tentang hiburan dengan penyiksaan binatang disebutkan sbb :

Yo’himsakaani bhuutani hina. Tyaatmasukheashayaa, sa jiwamsca mritascaiva na, Kvacitsukhamedhate”.

Artinya:

“Ia yang menyiksa mahluk hidup yang tidak berbahaya dengan maksud untuk mendapatkan kepuasan nafsu untuk diri sendiri, orang itu tidak akan pernah merasakan kebahagiaan. Ia selalu berada dalam keadaan tidak hidup dan tidak pula mati.”


Tabuh Rah

Tabuh rah adalah taburan darah binatang korban yang dilaksanakan dalam rangkaian upacara agama (yadnya). Upacara yang bisa dilaksanakan tabuh rah juga tidak semua upacara, hanya upacara - upacara pecaruan. Tabuh rah menurut Hindu merupakan rangkaian yadnya diatur dalam sastra sebagai berikut :


1.  Prasasthi batur Abang A Tahun caka 933 isinya :

“Mwang yan pakarya, masanga kunang wgila ya manawunga makantang tlung parahatan ithaninya tan pamwita, tan pawwta ring nayaka saksi.”

Artinya :

Lagi pula mengadakan upacara upacara misalnya tawur kesanga, patutlah mengadakan sabungan ayam, tiga angkatan (3 saet / 3 putaran) di desanya, tidaklah minta ijin, tidaklah memberitahukan kepada Pemerintah.


2.  Prasasthi Batuan tahun caka 944 berbunyi : 

Kunang yang manawung ing pangudwan makatang tlung marahatan tan pamwinta mayaka sanksi mwang sawung tangur, tan knana minta pamli”.

Artinya :

Adapun bila mengadu ayam ditempat suci dilakukan tiga saet tidak minta ijin kepada Pemerintah dan juga kepada Pengawas sabungan, tidak dikenakan pajak.


3.  Dalam rontal Ciwa Tatwa purana isinya : 

Mwah ri tileming kesanga,hulun magawe yoga, teka wenang wang ing madhya magawe tawur kasowang an den hana pranging sata wenang nyepi sadina ika labian sang kala daca bumi, yanora samangkana rug ikang ing madya”.

Artinya :

Lagi pada tilem kesanga aku (Dewa Ciwa) mengadakan yoga, berkewajibanlah orang di bumi ini membuat persembahan masing -masing, lalu adakan pertarungan ayam dan nyepi sehari, ketika itu berhidangan sang kala daca bhumi, jika tidak rusaklah manusia di bumi.

Jika ditinjau dari rontal tersebut diatas, jelas bahwa upacara tabuh rah hanya dilakukan untuk bhuta yadnya, pelaksanaannya tidak perlu mendapat ijin dari pemerintah, dan dilakukan 3 saet.

Pada hakekatnya setiap bentuk bhuta yadnya mempergunakan darah binatang sebagai persembahan kepada bhuta kala; yaitu bhuta bhucari, kala bhucari dan durga bhucari, tidak dipergunakan pada upacara Pitra Yadnya dan Dewa Yadnya. 

Binatang yang dijadikan yadnya tersebut dipercaya akan mengalami proses peningkatan (penyupatan) jiwa pada reinkarnasi selanjutnya menjadi binatang lain dengan derajat lebih tinggi atau manusia.


Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat melalui beberapa kali seminar kesatuan tafsir terhadap aspek - aspek agama Hindu, dengan melibatkan berbagai pakar, menetapkan pelaksanaan “tabuh rah” dalam rangkaian Bhuta Yadnya, sebagai berikut :

1.  Tabuh Rah dilaksanakan dengan Panyambleh (anetak gulu ayam) disertai dengan upakara Yadnya (sesajen).

2.  Tabuh Rah dalam bentuk “perang sata” (adu ayam) adalah satu “dreśta” (tradisi) yang berlaku di masyarakat yang pelaksanaannya dapat diganti dengan “penyambleh”.

3.  Apabila dilakukan dengan “Perang sata” (adu ayam), harus memenuhi syarat sbb :

  • Upacara yang boleh disertai “Perang sata” adalah upacara Bhuta Yajña sebagai berikut :  Caru Panca Kelud (Panca Sanak Madurgha), Caru Rsi Ghana, Caru Balik Sumpah, Tawur Agung, Tawur Labuh Gentuh, Tawur Panca Walikrama, Tawur Ekadasa Rudra.
  • Pelaksanaannya dilakukan di tempat upacara pada saat mengakhiri upacara tersebut.
  • Diiringi dengan “adu tingkih” (kemiri), adu pangi, adu telur, adu kelapa, dilengkapi andel-andel serta upakaranya.
  • Pelaksananya adalah Sang Yajamana (yang mempersembahkan upacara) dengan berbusana pakaian upacara sembahyang.
  • Perang sata maksimal dilakukan “Telung Prahatan” (3 sahet), tidak disertai taruhan (taruhan hanya memakai “pis bolong”.

4   Selain ketentuan butir 1,2,3 di atas, merupakan suatu penyimpangan.


Dampak judi menimbulan kegelapan (Awidya), kalau sudah “panas" (jengah bhs Bali), apapun bisa dipertaruhkan: mobil, sepeda motor, bahkan istri bisa dipertarukan seperti yang terjadi dalam Mahabhara, dimana Panca Pandawa sampai mempertaruhkan Drupadi - istri sendiri melawan Korawa.


Menurut sastra Hindu, kalah atau menang dalam perjudian membawa munculnya sadripu (enam musuh) pada diri seseorang. Sadripu adalah :

1. Kama (nafsu tak terkendali),
2. Lobha (serakah),
3. Kroda (kemarahan),
4. Mada (kemabukan),
5. Moha (sombong), dan
6. Matsarya (cemburu, dengki, irihati).

Dan yang kalah menguatkan: Kroda (kemarahan) dan Matsarya (cemburu, dengki, iri hati).

Dalam Bhagawadgita III.37 disebutkan sbb :

"Yajnarthat Karmano Nyatra, Loko Yam Karmabandhanah, Tadartham Karma Kaunteya, Muktasangah Samacara"

Terjemahan :

“Kuatnya keinginan dan kemarahan yang lahir dari nafsu rajaguna menjadikan lobha dan berdosa yang merupakan musuh di dunia”

Pelaksanaan upacara tabuh rah yang berifat “sakral” cendrung berubah menjadi judi sabungan ayam dengan dalih tabuh rah. Kenyataan di masyarakat dengan dalih untuk penggalian dana pembangunan pura dll maka diadakan tajen, dana punia melalui pungutan karcis masuk dan sebagainya.

Bila judi berupa tajen kini banyak dimasyarakat, bukanlah berarti bahwa umat Hindu tidak taat melaksanakan agamanya, melainkan karena kurang dipahaminya tatwa (filsafat). Untuk memperkecil dan mencegah berkembangnya judi tajen tersebut, peran aparat kepolisian sangat diperlukan, untuk menegakkan hukum, khususnya undang-undang larangan judi di Bali.

Foto hanya Ilustrasi, Sumber Internet.

Tajen Saat Galungan

Makna Hari Galungan adalah peringatan kemenangan dharma melawan adharma. Perang dharma melawan Adharma terus berkecamuk dlm diri manusia.  Secara spiritual musuh2 manusia itu disimbulkan dengan Sang Bhuta Kala. 

Tiga hari sebelum hari raya Galungan, yaitu mulai Minggu pahing wuku Dungulan, umat Hindu mulai digoda oleh Bhuta Kala Tiga yaitu : Kala Dungulan (nafsu ingin merebut milik orang lain), Kala Galungan (nafsu ingin selalu menang dengan melakukan segala cara), dan Kala Amangkutat (nafsu ingin berkuasa), mulai :

  1. Penyekeban : Jatuh pada Minggu Pahing wuku Dungulan. Hari Penyekeban ini memiliki makna filosofis untuk “nyekeb indriya” yang berarti mengekang diri agar tidak melakukan hal-hal yang tidak dibenarkan oleh agama, pada hari penyekeban ini Sang Bhuta Dungulan (nafsu ingin merebut milik orang lain) mulai menyerang manusia.
  2. Penyajan  : Jatuh Senin Pon wuku Dungulan. Kata penyajan dari kata "saja" yang dalam bahasa Bali artinya "benar, serius". Hari penyajan ini memiliki filosofi memantapkan diri untuk merayakan hari raya Galungan. Pada hari ini umat digoda oleh Sang Bhuta Galungan (nafsu ingin selalu menang dengan melakukan segala cara).
  3. Hari Penampahan : jatuh Selasa Wage wuku Dungulan. "Penampahan" simbol dari membunuh (nampah) kekuatan adharma --Sang Butha Amangkurat yg mengganggu manusia. Setelah semua Bhuta lenyap sebagai simbol dari musnahnya nafsu hewani, baru kita mendirikan penjor, simbol kemenangan dengan hati suka ria bergembira.
  4. Hari Raya Galungan : jatuh pada Budha Kliwon Dungulan. Pada hari Galungan ini umat merayakan kemenangan melawan Sang Kala Tiga (Tiga nafsu tsb diatas) yang telah mengganggu sebelumnya. Karena sudah menang perang Umat Hindu merayakannya sebagai peringatan kemenangan Dharma melawan Adharma dengan melakukan persembahyangan di rumah masing-masing, hingga ke Pura sekitar lingkungan sebagai ungkapan puji syukur kepada Ida Hyang Widhi Wasa.

Namun seperti kita ketahui bersama, bahwa pada saat Hari Raya Galungan  justru Judi Tajen semakin marak dibandingkan hari-hari biasa, bahkan berpakaian seragam sebagaimana layaknya pakaian ke Pura. Apakah berarti tdk menang melawan Sang Kala Tiga (nafsu-nafsu) diatas? Apakah kalau kalah melawan Sang Kala Tiga (nafsu-nafsu), berarti tidak merayakan kemenangan dharma melawan Adharma karena masih dikuasai nafsu? 

Ya..ini pilihan dalam menjalani hidup, silakan.. yang senang judi tajen jangan mengejek yang tidak senang, begitu sebaliknya yang tidak senang jangan mengejek yang senang, kesenangan orang berbeda-beda, dan semua karma kembali kepada diri masing2.🙏


Foto hanya Ilustrasi, Sumber Internet
---------

Senin, 21 April 2025

MAKNA GALUNGAN

 BETULKAH GALUNGAN ADA KAITANNYA DENGAN TOKOH "MAYADANAWA?"

Foto hanya ilustrasi, Sumber Internet


Galungan adalah peringatan kemenangan Dharma melawan Adharma.

Suatu hari "X" diperingati sebagai hari khusus, lebih-lebih sebagai hari yang disucikan, biasanya selalu berhubungan langsung dengan satu atau lebih peristiwa besar yang dianggap bertendensi sakral transendental, misalnya hari raya Waisak. Umat Buddhis seluruh dunia merayakannya karena pada hari yang sama (Purnama Waisak) terjadi tiga keajaiban yang sangat suci dalam kesadaran agnostic Buddis: lahirnya Buddha; saat Beliau menerima Wahyu (pandangan terang); dan ketika Sang Guru Batin umat manusia ini kembali ke alam tanpa sifat atau Para Nirwana. Di Indonesia hari ini disebut Tri Suci Waisak.

Contoh lain dalam agama Kristen, umat Nasrani dimanapun mereka bermukim, memperingati Hari Lahirnya Tuhan Yesus sebagai hari suci, hari ini disebut Natal. Tentu contoh lain bisa dijajarkan disini kalau mau.

Hari Raya Galungan adalah hari memperingati kemenangan Dharma melawan Adharma. Inilah definisi yg sudah umum terjadi, yang biasanya dikaitkan dengan "tokoh Mayadanawa" yang dilukiskan  seorang raja yang jahat.

Apakah Mayadanawa merupakan tokoh sejarah atau fiksi? Terkaitkah Galungan dengan kisah Mayadanawa?

Sampai saat ini belum ditemukan prasasti (bukti sejarah berupa keluaran resmi raja) dari masa Bali Kuna yang menyebutkan Mayadanawa sebagai sosok sejarah.

Namun demikian menarik kita simak, ada beberapa versi cerita yang tidak berlandaskan prasasti muncul, namun berkembang di masyarakat Bali, yang isinya menyerupai Mayadanawa dengan tokoh-tokoh sejarah seperti Sri Jaya Pangus, Dalem Bekung dll.
Ketika sosok “asing” seperti Mayadanawa, yang tak disebutkan dalam prasasti, namanya terkait dengan tokoh sejarah, tokoh Mayadanawa pun menjadi seolah-olah “murni” tokoh sejarah.

Atau apakah Galungan memperingati kemenangan Dharma melawan Adharma - nun jauh disana - dalam perang suci mahadahsyat di khurusetra, India, lima ribu tahun yang lalu? Perang dari satu keturunan Bharata ini berlangsung selama 18 hari, dan riwayat yang menuturkan asal usul keluarga ini juga terdiri atas 18 buku (Astadasaparwa).

Lagi, apakah hari Buda Kliwon Dungulan ini adalah saat ketika dunia  ini diciptakan oleh Ida Hyang Widhi; dan  Galungan lantas diperingati Weton Gumi?

Inilah belum satu versi, masih perlu penelusuran lebih lanjut. Namun penulis sedikitpun tidak menyangsikan bahwa Budha Kliwon Dungulan yang dikenal dengan Hari Galungan adalah Hari Suci, dan penulis merayakannya.

Galungan adalah bahasa Jawa kuno terbentuk dari 3 suku kata : "Gal" (kuat/jaya = kemenangan), "Lung" (melindungi/merestui), "An" (sesudahnya/seterusnya). Gal + Lung + An = Gallungan (dengan dua "l"). Ternyata secara arfiah Galungan adalah sebuah doa: "Semoga Tuhan terus melindungi kemenangan dharma"! 

Dengan ini Galungan tampil dalam dua fungsi: sebagai doa "universal" dan sebagai media "kebaktian umum".
Sebagai media kebaktian umum umat Hindu merayakan kemenangan dharma melawan Adharma yg terus terjadi di dalam hati setiap orang.

Meski sejarah perayaan Galungan ini tidaklah diketahui secara pasti, namun menurut Lontar Purana Bali Dwipa, Hari Raya Galungan pertama kali dirayakan pada hari Purnama Kapat (Budha Kliwon Dungulan) Tahun 882 Masehi atau tahun Saka 804.

Tiga hari sebelum hari raya Galungan, yaitu mulai Minggu pahing wuku dungulan, manusia (apakah umat hindu saja dimaksud?) mulai digoda oleh Bhuta Kala Tiga yaitu : Kala Dungulan (nafsu ingin merebut milik orang lain), Kala Galungan (nafsu ingin selalu menang dengan melakukan segala cara), dan Kala Amangkutat (nafsu ingin berkuasa), mulai :

1. Penyekeban
Penyekeban ini dirayakan setiap Minggu Pahing wuku Dungulan. Hari Penyekeban ini memiliki makna filosofis untuk “nyekeb indriya” yang berarti mengekang diri agar tidak melakukan hal-hal yang tidak dibenarkan oleh agama, pada hari penyekeban ini Sang Bhuta Dungulan (nafsu ingin merebut milik orang lain) mulai menyerang manusia.

2. Penyajan 
Penyajan jatuh setiap Senin Pon wuku Dungulan. Kata penyajan dari kata "saja" yang dalam bahasa Bali artinya "benar, serius". Hari penyajan ini memiliki filosofi memantapkan diri untuk merayakan hari raya Galungan. Menurut kepercayaan, pada hari ini umat digoda oleh Sang Bhuta Galungan (nafsu ingin selalu menang dengan melakukan segala cara).

3. Hari Penampahan
Penampahan dilakukan sehari sebelum Galungan, tepatnya pada hari Selasa Wage wuku Dungulan. Menurut kepercayaan, pada hari ini umat akan digoda oleh Sang Bhuta Amangkurat (nafsu ingin berkuasa). 
Setelah semua Bhuta lenyap (terkalahkan) sebagai simbol dari musnahnya nafsu hewani, baru kita mendirikan penjor, simbol kemenangan dengan hati suka ria bergembira.

4. Hari Raya Galungan
Hari Raya Galungan jatuh pada Budha Kliwon Dungulan. Pada hari Galungan ini umat merayakan kemenangan melawan Sang Kala Tiga (Tiga nafsu tsb diatas) yang telah mengganggu sebelumnya. Karena sudah menang perang, Umat Hindu merayakannya sebagai peringatan kemenangan Dharma melawan Adharma dengan melakukan persembahyangan di rumah masing-masing, hingga ke Pura sekitar lingkungan.

Foto hanya ilustrasi, sumber Internet.



Minggu, 06 April 2025

GAYATRI MANTRAM DIWAHYUKAN MELALUI VISVAMITRA

Gambar Dewi Gayatri, Sumber : Internet.


Viswamitra adalah seorang maharaja, suatu hari Beliau bersama tentaranya berburu di hutan Himalaya. Setelah lama berburu, Beliau dan tentaranya merasa lapar. Di dalam hutan Beliau menemukan sebuah pertapaan Brahmarsi Vasistha. (Brahmarsi adalah orang suci yang sudah memiliki kesadaran kosmis).


Maharaja Viswamitra menyampaikan kepada Brahmarsi Vasistha bahwa, beliau dan tentaranya lapar memerlukan makanan dan istirahat. Rsi Vasistha segera memanggil Kamandhanu (sapi nan berlimpah), dan meminta kepada sapi tersebut untuk menyediakan makanan untuk seluruh prajurit dan Raja. Kamandhanu segera menghasilkan seluruh makanan. Semuanya terkagum-kagum atas kemampuan Kamandhanu ini. Maharaja Viswamitra berkata kepada Rsi Vasista,

"Oh maharsi yang saya hormati, saya mengucapkan bayak terima kasih kepada sapi Anda. Mengapa harus Anda yang memiliki sapi seperti itu, yang mampu memberikan makan untuk jutaan orang hanya dengan kekuatan kemauannya saja. Hanya ada beberapa saja yang hidup di pertapaan ini, sedangkan saya sebagai raja harus memberikan makan kepada banyak orang di istana saya. Sapi ini akan sangat bermanfaat buat saya. Saya akan memberikan Anda seribu sapi yang lain sebagai pengganti sapi"

Vasistha bersabda,

"O raja, sapi ini adalah sapi yang khusus yang dikirim oleh Tuhan dari tempatnya Kebenaran. Hanya yang sudah dapat merealisasikan Brahman atau Kebenaran sajalah yang diberikan sapi seperti ini. Kalaupun Anda menukar dengan seluruh kerajaan Anda, saya tidak akan berpisah dengan dia”


Setelah permintaannya ditolak, Maharaja Visvamitra menjadi marah, dan memerintahkan kepada orang-orangnya untuk mengambil sapi secara paksa. Kamandhanu menciptakan ribuan makhluk angkasa yang membawa senjata dan bertempur dengan pasukan Maharaja Visvamitra. Dalam pertempuran itu dimenangkan oleh Rsi Vasistha. Akhirnya Maharaja Viswamitra mengakui kekalahannya, dan memohon ampun kepada Rsi Vasista dan Rsi Vasistha memaafkannya.


Maharaja Visvamitra masih tetap merasa dihina. Kemudian Maharaja Visvamitra meninggalkan istananya dan pergi ke Gunung Himalaya untuk bertapa, karena Ia ingin membalas dendam kepada Maharsi Vasistha.


Untuk mengganggu tapas Visvamitra, Indra mengutus seorang bidadari cantik bernama Menaka untuk menyanyi dan menari di hadapan Visvamitra. Menaka berhasil mengganggu tapasnya dan menarik hatinya. Visvamitra menjadi korban dari rajas (nafsu) dan hidup berbahagia dengan Menaka selama setahun di hutan, dan melahirkan seorang bayi perempuan yang mereka beri nama Sakuntala.


Akhirnya Visvamitra paham akan kekuatan maya dan pergi ke hutan lainnya dengan meninggalkan Menaka dan bayinya. Bidadari Menaka kemudian kembali ke swargaloka dengan meninggalkan bayinya di hutan. Rsi Kanva yang sedang berkelana mendengar tangis bayi Sakuntala kemudian bayi itu di bawan kepertapannya.


Kali ini Visvamitra kembali melakukan tapasnya selama beberapa tahun. Dia berdiri diatas satu kaki dengan kedua tangan yang menjulang tinggi dan semedhi atas Brahman. Dunia ketiga dicapainya melalui api yoga dari tapasnya. Indra mengirim lagi bidadari cantik bernama Rambha untuk mengganggu Visvamitra. Semedhi Visvamitra terganggu dan dia membuka matanya.


Karena ingat dengan kesalahan terdahulu, Visvamitra memutuskan untuk tidak tunduk kepada nafsu. Dia menjadi sangat marah kepada Rambha, karena dia tahu bidadari ini datang hanya untuk mengganggu tapasnya, akhirnya Rambha dikutuk supaya menjadi batu.


Kemudian Viswamitra melakukan tapas lagi di tempat yang lain yaitu di puncak Himalaya yang paling tinggi. Tapa yang dia lakukan kali ini sangat hebat, sehingga api yoga yang keluar dari mahkota kepalanya mencapai satya lokha, tempat bersemayamnya Brahma - Sang Pencipta. Brahma muncul  dihadapannya dan bersabda,

”Anakku, Aku senang atas tapamu. Kamu telah mencapai yang paling tinggi. Sekarang kau sudah seorang Maharsi. Kamu akan menjadi seorang Brahmarsi ketika kamu diberkati oleh Rsi Vasistha".


Setelah berkata demikian Brahma lenyap. Rsi Visvamitra menjadi sangat menyesal. Dia tidak mau mendapat berkat dari Vasistha. Bahkan Dia berpikir kalau Vasistha masih hidup, dia tidak akan menjadi Brahmarsi. Untuk itu Visvamitra memutuskan akan membunuh Vasistha. 

Pada tengah malam Visvamitra pergi ke pertapaan Vasistha sambil membawa batu besar. Dia menunggu Vasistha di pintu pertapaan yang biasa dilalui oleh Vasistha.

Gambar hanya Ilustrasi Sumber : Internet

Vasistha bercakap-cakap dengan istrinya Arundati. Vasistha berkata kepada istrinya,

”Arundati, Visvamitra adalah orang yang demikian agung sehingga dia sudah sangat dekat untuk memperoleh status sebagai Brahmarsi, tetapi...”

Arundati berkata,

”Tetapi mengapa? Apakah Anda tidak mau memberkatinya apabila dia memang pantas untuk menjadi Brahmarsi?”
”Tentu saja aku mau, kalau dia   datang kemari” jawab Vasistha.


Percakapan itu di dengar oleh Visvamitra, Setelah mendengar percakapan itu Visvamitra menjadi malu, dan membuang batunya, kemudian dia berlutut dihadapan Vasistha. Visistha bersabda kepada Visvamitra :

”Sekarang Anda sudah menjadi seorang Brahmarsi, Anda telah menunjukkan kepada dunia bahwa Anda mengalahkan nafsu, kemarahan, keterikatan, kesombongan, dan kecemburuan  melalui tapasya dan meditasi. Selamat brahmarsi Visvamitra!!”


Kemudian Vasistha menyentuh pusat di antara kedua alis mata Visvamitra. Ketika disentuh oleh Vasistha mata ketiganya terbuka dan Visvamitra melihat Gayatri Mantra yang suci dengan ke tujuh "vpahrti-nya" telah diwahyukan melalui Brahmarsi Viswamitra pada waktu itu, sbb :


"Om bhuh, Om bhvah Om svah
Om mahah.
Om Janah Om tapah
Om Satyam
Om tat savitur varenyam
Bhargo devasya dhimahi
Dhiyo yo nah pracodayat
Om apo jyotih
Raso-mritam brahma
Bhur bhuvah savr-om".


Mantram Gayatri disebut pula Annapurna ’Sang Ibu Sakti’ yang melindungi dan menggerakkan kehidupan jiwa (gaya), sehingga disebut pula Chandasaam Maathat ’Ibu seluruh Weda’; karena sifatnya yang melindungi itu disebut Gayatham Thrayathe Iti Gayatri ’melindungi orang yang mengucapkannya’ (Jendra, 1991 : 27).


Bhagawan Sri Sathya Sai Baba menganggap Mantram Gayatri mempunyai peran dan kedudukan yang sangat penting sehingga Beliau bersabda sbb :

”Kalian boleh melupakan/lupa mantram-mantram lainnya, asalkan tidak mengabaikan Gayatri Mantram, karena Gayatri adalah Sarva Devatha Svarupini ’perwujudan semua Dewa’ (dalam Jendra, 1991 : 28).


Gayatri Mantram pertama kali tercatat dalam Ṛg Veda III.62.10, serta dijelaskan dalam pustaka-pustaka suci Hindu lainnya, baik di dalam Catur Veda, Upaniṣad, maupun kitab-kitab Smṛti.


Gayatri Mantram ini digabung di tambahkan dengan beberapa bait mantra dari Narayana Upanisad, Siva Stawa, Mahadewa Suksma maka menjadi mantram Puja Trisandya yang diwarisi sampai sekarang (Jendra, 2006 : 6-7).

Sumber : Internet

Daftar Pustaka :

  • Jendra, I Wayan. 1991.  Kidung Suci  (Bhajan), Ungkapan Bahasa Bakti yang paling efektif dan Komunikatif pada Zaman Kali. Denpasar : Sai Study Group Bali.
  • Jendra, I Wayan. 1996. Variasi Bahasa, Kedudukan dan Peran Bhagawan Shri Sathya Sai Baba,  dalam Agama Hindu. Surabaya : Paramita.
  • Keshavadas, Sadguru Sant. 2007. Gayatri, Semedhi Mahatinggi. Cetakan keempat, Alih bahasa Agus S. Mantik. Denpasar: PT Pustaka Manik Geni.

Jumat, 21 Maret 2025

CATUR YUGA DALAM HINDU

Situasi Dunia ditinjau dari teori Catur Yuga menurut Agama Hindu

Foto hanya Ilustrasi, Sumber Internet.


Agama Hindu mengenal adanya empat zaman yang disebut dengan 'Catur Yuga'. Catur Yuga adalah konsep dalam agama Hindu yang menggambarkan siklus empat zaman atau periode dalam kehidupan manusia. Kata "Catur" berarti "empat" dalam bahasa Sanskerta, sedangkan "Yuga" berarti "zaman" atau "periode", yakni Satyayuga atau Kertayuga, Tretayuga, Dwaparayuga, dan Kaliyuga.

Siklus perkembangan zaman yang terjadi di muka bumi Kerta Yuga, Treta Yuga, Dwapara Yuga dan Kali Yuga, keempatnya ini berlangsung selama 12.000 th dewa atau sama dengan  4.320.000 th manusia, ini disebut dengan Maha Yuga; 1.000 Mahayuga sama dengan 1 hari Brahman. (Pancaran Bhagawata jilid II, hal 66).

Foto hanya Ilustrasi, Sumber Internet


Kerta Yuga
Zaman Kerta yuga ibarat lembu yang berdiri dengan empat kaki (moralitas sepenuhnya), kaki-kaki Dharma yaitu : Sathya (Kebenaran), Prema (Belas Kasih), Tapa (Pengendalian Diri, dan Dana (Amal, sedekah).
Pada zaman Kerta adalah masa yang penuh kedamaian. Tidak ada manusia yang berbuat adharma walaupun hanya dalam pikiran. Manusia pada masa ini selalu mematuhi ajaran-ajaran kebenaran dan tiada pernah menyakiti makhluk lain, baik dalam pikiran, perkataan dan perbuatan (Advestha Sarva Bhutaman). Masa Kertayuga berlangsung selama 4000 th dewa, hal ini ditambahkan lagi masa transisi 800 th dewa, sehingga total masa Kerta Yuga 4.800 th dewa atau 1.728.000 th manusia, (1 th dewa sama dg 360 th manusia). Usia manusia pada zaman Kerta yuga rata-rata 400 th. Pada masa Kerta Yuga, hal - hal yang paling utama yaitu Dhyana (bermeditasi atau mengheningkan pikiran). Hal ini berarti, bermeditasi dan memusatkan pikiran kepada Tuhan sebagai hal yang utama. Orang - orang yang melakukan meditasi dan memusatkan pikiran akan mendapatkan penghormatan dari orang lain.


Treta Yuga
Zaman Treta Yuga seperti lembu yang berdiri dengan tiga kaki. Pada masa ini sdh mulai terjadi kemerosotan moral manusia. Pikiran manusia mulai tercemar. Pada masa Treta Yuga, Sadana spiritual yang paling utama yaitu Yajna (ritual keagamaan). Siapapun yang mengadakan ritual, baik itu orang kaya maupun miskin akan mendapatkan penghormatan dan mendapatkan keistimewaan.

Masa Treta Yuga berlangsung selama
3.000 th dewa hal ini ditambahkan lagi masa transisi 600 th dewa, sehingga total masa Treta Yuga 3.600 th dewa atau 1.296.000 th manusia. Usia manusia pada zaman Treta yuga rata-rata 300 th.


Dwapara Yuga
Dwaparayuga seperti lembu dengan dua kaki. Pada masa Dwaparayuga, dharma hanya berdiri dg 2 kaki. Moral manusia sdh merosot setengahnya. Antara kebajikan dan kejahatan secara kwantitatif seimbang 50%. Kelicikan dan kebohongan mulai terlihat. Zaman Dwaparayuga berlangsung 2.000 th dewa, hal ini ditambahkan lagi masa transisi 400 th dewa, sehingga total masa Dwapara Yuga 2.400 th dewa atau sm dg 864.000 th manusia. Sadana spiritual pada zaman Dwapara Yuga adalah Sujud pada Kaki Padma.
Usia manusia pada zaman ini rata-rata 200 th. Pada saat perang Kuru Ksetra usia kakek Bisma sekitar 125 th, Krisna 76 th, Arjuna 74 th. Kalau zaman skrang org yg berumur 125 th sdh tergeletak di tempat tidur, tdk berdaya, namun Kakek Bisa diusia 125 th masih mampu berperang dg gagah berani sehat walafiat.


Kali Yuga
Kali Yuga Dharma hanya dengan dengan satu kaki, disebut juga zaman kehancuran. Kaliyuga berlangsung 1.000 th dewa, hal ini ditambahkan lagi masa transisi 200 th dewa, sehingga total masa Kali Yuga 1.200 th dewa atau sama dengan 432.000 th manusia. Sadana spiritual pada zaman Kali Yuga adalah dengan menyanyikan Nama-Nama Suci Tuhan (Namasmaranam) atau Bhajan.
Usia manusia pada zaman kali rata-rata 100 th, bahkan skrang sdh  banyak dibawah 100 th.
Pada zaman kali ini, moralitas tidak bisa berdiri lagi dengan seimbang, murid - murid berani melawan gurunya, banyak anak mulai membantah perkataan orang tua. Banyak manusia yang mencari nafkah dengan tidak jujur, korupsi merajalela, org2 tidak malu-malu lagi berbuat dosa, antara yg diucapkan dengan yg dikerjakan tdk sesuai alias  bohong, serta banyak lagi kepalsuan, dan tindak kekerasan. Di kota - kota besar panti pijat dan sarang pelacuran menjadi hiburan tersendiri bagi lelaki hudang belang. Wanita - wanita dengan pakaian mini dipajang dalam ruangan kaca (bagaikan aquarium) siap dibocking oleh lelaki hidung belang. Begitu jatuhnya moral manusia. Pada masa Kali Yuga hal - hal yang paling utama yaitu uang. Asalkan orang-orang memiliki uang maka akan mendapatkan penghormatan dan berkuasa. Uang mampu membeli hukum dan jabatan. Orang-orang dengan kekuasaan mulai bersikap semena-mena. Budi pekerti tidak lagi dihiraukan, malah orang yang jujur kadang2 akan menjadi bahan ejekan.

Seorang pujangga besar Ranggawarsita mengatakan zaman kali ini dengan istilah zaman edan dalam Serat Kalatida, yang terdiri atas 12 bait tembang Sinom. Salah satu bait ke 7 yang paling terkenal adalah sbb :

"amenangi jaman édan, éwuhaya ing pambudi, mélu ngédan nora tahan, yén tan mélu anglakoni, boya keduman mélik, kaliren wekasanipun, ndilalah kersa Allah, begja-begjaning kang lali, luwih begja kang éling klawan waspada."

Terjemahannya :

(menyaksikan zaman gila, serba susah dalam bertindak, ikut gila tidak akan tahan, tapi kalau tidak mengikuti (gila), tidak akan mendapat bagian, kelaparan pada akhirnya, namun telah menjadi kehendak Allah, sebahagia - bahagianya orang yang lalai, akan lebih bahagia orang yang tetap ingat dan waspada).

Itulah sebabnya perlu “DISUMPAH” setiap pengangkatan pejabat, sidang pengadilan, pengangkatan ASN dll utk meyakinkan bahwa akan bersikap jujur, memberi kesaksian yg jujur. Tapi apakah dengan disumpah akan betul2 memberikan etos kerja yang baik, integritas tinggi, serta menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan tercela? Tergantung orangnya. Sangsi bagi yg melanggar sumpah disebutkan sbb :

"Ih kita sang mahupesaksi anyaksi raga yan tuhu cor ketiba, matemahan mertha, adirgayusa aweta urip, yan" angawe-awe atur tan tuhu, angadu-ada, nyalah bikas, ala pelaksanannia, marep sekeluiring sumpah jabatan, cor katiba matemahan wisia, sinapa den nira Sanghyang Hari Cendani asti ye bhiru pati, kadi lara katemu denta, tan kasupat den nira Pandita, teke siddhimandi, kedep rumusup sabdania Sanghyang Trimurti, Sang Panca Pandita, mrtyu petaka neraka, duka, dursila, papa"

Artinya :

(Wahai kamu yang bersaksi kepada dirimu sendiri, bila benar-benar bersumpah palsu, berbohong, bersikap salah, melanggar sumpah jabatan, kutukan sumpah palsu dikenakan oleh tiga wujud Hyang Widhi dan para Rsi, maut akan mengantarkan kamu ke neraka, didahului oleh kesengsaran, duka nestapa karena kelakuan jahatmu).

Kesempatan menjelma sebagai manusia sangat sulit diperoleh, ini memerlukan berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus kali reinkarnasi, sehingga kesempatan ini hendaknya dimanfaatkan dengan baik dengan merealisasikan ajaran Dharma (Dharmasadhana) seperti yang disebutkan dalam Sarascamuccaya sloka 4 dan 14, sebagai berikut :

"Apang iking dadi wwang, uttama juga ya, nimittaning mangkana, wenang ya tumulung awaknya sangkeng sangsara, makasadhanang cubhakarma, hinganing kottamaning dadi wwang ika”. (Sarasamuccaya, 4).

Terjemahan :

Menjelma menjadi manusia itu adalah sungguh utama; karena dapat menolong dirinya dari keadaan  samsara (menjelma berulang kali), dengan jalan berbuat baik, demikian keuntungan menjelma sebagai manusia (Kajeng, 2001 : 6).

“Ikang dharma ngaranya, hanuning mara ring swargan ika, kadi gatening perahu, an henuning banyage nentasing tasik”. (Sarasamuccaya, 14).

Terjemahan :

Yang disebut dharma, adalah merupakan jalan untuk pergi ke sorga; sebagai halnya perahu, sesungguhnya adalah merupakan alat bagi orang dagang mengarungi lautan (Kajeng, 2001 : 11).

Tidak seorangpun bisa menghindarkan diri dari pengaruh zaman kali atau zaman edan secara total, minimal tahu dan sadar bahwa kita ibarat orang tenggelam jangan sampai kepalanya juga tenggelam sehingga buta sama sekali.
Seperti yg disebutkan diatas kalau tdk ikut gila akan tdk dpt bagian, ibarat mencelup ke air yg kotor jangan sampai kepala jg kotor, cukup telapak kaki saja yang kotor.


Periode dari Satya Yuga hingga Kali Yuga dikenal sebagai satu Mahayuga yg lamanya 4.320.000 tahun manusia. Setelah Mahayuga maka terjadi suatu periode yang disebut Manwantara. Setelah Manwantara, maka tercapailah suatu periode yang disebut Kalpa. Kalpa adalah hari Brahma. Satu Kalpa = 1 hari Brahma yang berlangsung selama 1.000 Mahayuga (Catur Yuga).
Menurut ajaran Hindu, pada saat mencapai periode tersebut, alam semesta dihancurkan dan dimulai kembali dari awal zaman.

Foto hanya Ilustrasi Sumber Internet


Daftar pustaka :


  1. ‌Baba, Bhagawan Sri Sathya Sai. 1993. Pancaran Dharma (Dharma Vahini), wejangan Bhagawan Sri Sathya Sai Baba, disunting oleh Dra. Retno S. Buntoro. Jakarta : Yayasan Shri Sathya Sai Indonesia.
  2. Baba, Bhagawan Sri Sathya Sai. 1993. Pancaran Bhagawata, jilid II wejangan Bhagawan Sri Sathya Sai Baba, alih Bahasa Dra. Retno S. Buntoro. Jakarta : Yayasan Shri Sathya Sai Indonesia.
  3. Drucker, A. 1991. Intisari Bhagawadgita, wejangan Bhagawan Sri Sathya Sai Baba, alih Bahasa Drs. I Wayan Sadia. Jakarta : Yayasan Shri Sathya Sai Indonesia.
  4. Jendra, I Wayan. 1991.  Kidung Suci  (Bhajan), Ungkapan Bahasa Bakti yang paling efektif dan Komunikatif pada Zaman Kali. Denpasar : Sai Study Group Bali.
  5. Jendra, I Wayan. 1996. Variasi Bahasa, Kedudukan dan Peran Bhagawan Shri Sathya Sai Baba,  dalam Agama Hindu. Surabaya : Paramita.
  6. Kajeng, I Nyoman dkk. 2001. Sarasamuccaya. Pemerintah Propinsi Bali.
  7. Pendit,  Nyoman S. 2002. Bhagawadgita. Jakarta : PT. Gramedia.

----------