Sabtu, 04 Oktober 2025

Mencari Tirta Amritha

Proses Pengadukan Lautan Susu ("Samudramantana")

Foto hanya Ilustrasi
Sumber foto : Internet


Kṣirasāgaramanthana
 merupakan salah satu cerita yang tercatat dalam beberapa kitab-kitab Purana, serta tersisipkan di dalam naskah Adiparwa, kumpulan pertama dari 18 kitab Mahabharata, maka dapat diketahui bahwa cerita ini merupakan bagian dari pengaruh kebudayaan yang diadopsi dari India. 

Samudramanthana berarti "pengadukan samudra", sedangkan Kṣirasāgaramanthana berarti "pengadukan lautan susu (kṣirasāgara adalah lautan susu).


Dikisahkan para dewa dan asura (raksasa) bersidang di puncak Gunung Meru. Mereka berkumpul untuk merundingkan cara mendapatkan Tirta Amritha yaitu air suci yang dapat membuat hidup menjadi abadi. Sebuah kesepakatan yang tidak mudah, namun kedua pihak memiliki tekad yang kuat untuk mencapai tujuan bersama. Akhirnya, mereka sepakat untuk bekerja sama mencari lokasi air suci tersebut, yang ternyata atas petunjuk Dewa Wisnu Tirta Amrita terletak didasar Laut yg dikenal dengan Lautan Susu (Ksirarsagara/Ksirarnawa).


Para dewa dan asura (raksasa) mengaduk lautan susu "Ksirarnawa" dengan mempergunakan Gunung Mandara sebagai tongkat pengaduk, dan naga Basuki dipakai melilit gunung Mandara. Agar gunung Mandara tidak jatuh Dewa Wisnu menjelma turun ke dunia dalam wujud Kurma Awatara, awatara dalam bentuk kura-kura raksasa untuk menopang Gunung Mandara.


Para asura memegang bagian kepala Naga Basuki, sementara para dewa memegang bagian ekornya. Para dewa dan para asura bekerja sama menarik tubuh Naga Basuki dengan gerakan seperti menarik tambang, untuk menggoyang gunung Mandara, sehingga Gunung Mandara berputar dan mengaduk lautan susu "Ksirasagara" atau "Ksirarnawa".


Setelah diaduk, pertama kali muncul racun Halahal mematikan, yang bisa memusnahkan alam semesta. Untuk menyelamatkan dunia dari racun ini, Dewa Siwa meminum racun tersebut,  menyebabkan leher Dewa Siwa berwarna biru sehingga dikenal sebagai "Nilakantha". 

Setelah itu, muncul berbagai harta karun dan makhluk seperti : pertama yang muncul dari air adalah sapi Surabhi, yang lebih dikenal sebagai Kamadhanu, Setelah itu, muncul kuda Uchchaihshrava dari ombak. Kuda ini berkepala tujuh dan seputih "bulan yang bersinar". Muncul permata Kaustubha - batu rubi yang memancarkan cahaya ke langit, Setelah itu, muncul pohon Kalpavriksha atau pohon parijata, para bidadari, Lakshmi (dewi kekayaan), Baruni, dewi anggur, Bulan. 

Bulan diambil oleh Siwa, dan itulah sebabnya, dalam lukisan dan penggambaran Siwa, kita melihat bulan sabit menghiasi kepala Dewa Siwa, muncul Cangkang kerang Panchajanya dan busur Sharanga, Dan akhirnya, muncul Dhanwantari - dewa penyembuh, membawa kendi berisi Tirta Amritha. 

Foto hanya Ilustrasi 
Sumber foto : Internet


Perebutan Tirta Amritha


Begitu para Asura melihat guci Amrita, mereka berlari ke arah Dhanvantari dan merebutnya. Para asura menginginkan Tirta Amrita tsb menjadi miliknya, terjadi perseteruan antara para dewa dengan asura memperebutkan tirta Amritha. Tirta Amritha jatuh ke tangan asura.
Untuk menyelesaikan masalah ini Para dewa memohon bantuan kepada Wisnu, kemudian Dewa Wisnu berubah wujud menjadi Dewi Mohini - seorang dewi yang sangat cantik dan mempesona. Mohini menggunakan kecantikan dan daya pikatnya untuk mengelabui para asura, sehingga ia berhasil mengambil kembali kendi yang berisi Tirta Amritha, dan membawanya dengan cepat ke hadapan para dewa.


Setelah para dewa mendapatkan tirta Amritha, mereka segera meminumnya secara bergantian. Saat para dewa membagi tirta Amritha, salah satu asura bernama Swarbanu yang merupakan anak Sang Wipracitti dengan Sang Singhika menyamar sebagai salah satu dewa dan berhasil menyusup ke barisan para dewa. Ia berhasil meneguk seteguk tirta Amritha. Namun, Dewa Surya (matahari) dan Dewa Candra (bulan) mengenali penyamaran Swarbanu sehingga mereka segera melaporkannya kepada Dewa Wisnu yang berwujud Mohini.


Dengan cepat, Mohini kembali menjadi Dewa Wisnu segera menghunus Cakra dan memenggal kepala Swarbanu sebelum tirta amerta sepenuhnya bisa melewati tenggorokannya. Meski tubuhnya terpisah, kepala Swarbanu tetap hidup karena tirta Amritha yang sempat diminumnya, hanya badannya saja yang diam tak bergerak. Kepalanya disebut "Rahu" sedangkan badannya disebut "Ketu" Setelah membagikan seluruh tirta amerta kepada para dewa, Wisnu menghilang meninggalkan para asura.


Rahu dan Ketu masih berseteru dengan Surya dan Chandra hingga kini. Oleh karena itu, beberapa kali dalam setahun, Rahu dan Ketu akan menutupi matahari dan bulan. Inilah yang kita kenal sebagai gerhana matahari dan bulan. Rahu dan Ketu bahkan termasuk di antara sembilan Navagraha (sembilan dewa yang mewakili planet).***

Foto hanya Ilustrasi 
Sumber foto Internet


Kenapa Dewa Siwa Mengalungkan Ular di Lehernya?

1. Suatu ketika, ketika spesies ular berada di ambang kepunahan, mereka mendatangi Dewa Siwa untuk meminta perlindungan.
Dewa Siwa melindungi mereka dengan mengizinkan mereka tinggal di Kailasa. Namun, karena cuaca dingin di Gunung Kailasa, ular-ular mulai mendekati tubuhnya untuk menghangatkan diri.
Melihat hal ini, Dewa Siwa memutuskan untuk mengalungkan ular di lehernya agar terasa hangat.

2. Kisah populer lain yang terkait dengan ini adalah selama Samudra Manthan (pengadukan lautan susu).
Ketika para dewa dan para asura (raksasa) mengaduk lautan susu (Ksirarnawa) dengan Gunung Mandara digunakan sebagai tongkat pengaduk, dan naga Basuki dipakai melilit gunung Mandara, banyak hal yang muncul salah satunya racun Halahal. Racun itu begitu kuat sehingga dapat menghancurkan seluruh ciptaan.
Hal ini membuat para dewa dan asura ketakutan, dan mereka bingung siapa yang akan menelan racun mematikan ini.
Lalu para dewa dan asura menghampiri Dewa Siwa untuk meminta perlindungan. Demi melindungi alam semesta, Dewa Siwa meminum racun itu.

Terhadap kisah ini ada dua versi. 

Versi pertama, Naga Basuki terinspirasi oleh pengorbanan Siwa yang meminum racun itu, sehingga Naga Basuki juga meminum racun tersebut. Sebagai penghargaan atas pengabdian Naga Basuki, Siwa menghiasi dirinya dengan Naga Basuki sebagai kalung di leherNya.

Versi kedua, ketika Dewa Siwa meminum racun tersebut, Dewi Parvati - pendamping Dewa Siwa mencengkram leher Dewa Siwa agar tidak menelan racun tersebut. Karena mustahil bagi seorang dewi untuk memegangi lehernya (Siwa) selamanya, Parvati kemudian mengikatkan ular di leher Siwa untuk mencegahnya menelan racun. Akibat meminum racun tsb, leher Dewa Siwa membiru sehingga dikenal sebagai Neelkantha (yang berleher biru). 

3. Ular menggambarkan kekuatan Kundalini. Ia digambarkan sebagai ular melingkar yang tertidur di cakra Muladhara semua manusia.
Ia naik ke atas ketika seseorang memulai perjalanan spiritual dan menjadi semakin berorientasi pada keilahian.
Ular yang melingkari leher Siwa menggambarkan bahwa Kundalini dalam dirinya sudah bangkit sempurna dan turut aktif dalam kegiatan ketuhanan.***

Foto hanya Ilustrasi, 
sumber internet


Makna Ular Di Leher Siwa


Makna simbolis terkait ular yang melingkari leher Dewa Siwa adalah melambangkan siklus kelahiran, kematian; dan kelahiran kembali yang tak berujung. Ular berganti kulit ketika kulit lamanya telah tumbuh, secara berkala selama masa hidupnya. Hal ini secara simbolis melambangkan siklus kelahiran, kematian, dan kelahiran kembali.


Beberapa orang percaya bahwa ular tersebut memiliki tiga lingkaran di leher Dewa Siwa, yang masing-masing mewakili masa lalu, masa kini, dan masa depan. Ini menunjukkan bahwa ia melampaui waktu dan mengendalikannya. Itulah sebabnya Dewa Siwa juga dikenal sebagai "Mahakaal" – yang berada di atas dan melampaui Kaal (waktu). Ular tersebut juga digambarkan melihat ke sisi kanannya. Ini menandakan bahwa hukum akal budi dan keadilan Tuhan yang abadi menjaga keteraturan alam semesta.


Secara simbolis, ular melambangkan segala nafsu dan keinginan dan ego. Dengan mengalungkan ular di lehernya, Siwa menyampaikan kepada semua penyembahnya bahwa ia telah menaklukkan semua keinginannya, nafsu dan ego. Ia juga memiliki kendali penuh atas Prakriti atau Maya (ilusi).

Ular dianggap reptil berbahaya dan ditakuti oleh banyak dari kita. Dewa Siwa menunjukkan kepada kita bahwa Ia mengendalikan rasa takut dan kematian dengan mengenakan ular sebagai kalungNya.***

Senin, 08 September 2025

Kenapa Dewa Siwa Tertinggi?

Tri Murti.

Foto ilustrasi, Sumber Internet

Trimurti adalah konsep yang menggambarkan tiga aspek utama dari Tuhan dalam Agama Hindu, terdiri dari : Brahma, Wisnu, dan Siwa, yang masing-masing memiliki peran yang berbeda dalam proses penciptaan, pemeliharaan, dan peleburan/pemrelina. 

Trimurti dianggap sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Ketiga dewa ini dihormati dan dipuja oleh umat Hindu sebagai manifestasi dari Tuhan yang Maha Esa.
Agama Hindu memandang Dewa Siwa disebut Mahadewa, dewa tertinggi di antara semua dewa, atau dengan kata lain, dewa dari segala dewa. Kata Mahadewa secara harfiah berarti dewa terbesar atau dewa tertinggi yang tak tertandingi. Makna lainnya juga adalah pemimpin semua dewa. 

Dalam ajaran Sivaisme, Brahma dan Wisnu dianggap sebagai dewa-dewa yang lebih rendah dari Siwa karena beberapa alasan :

1.  Peran dalam Trimurti
Dalam konsep Trimurti, Siwa dianggap sebagai dewa pelebur dan pemusnah, sedangkan Brahma dianggap sebagai dewa pencipta dan Wisnu dianggap sebagai dewa pemelihara. Peran Siwa sebagai dewa pelebur dan pemusnah dianggap lebih penting dan lebih tinggi dari peran Brahma dan Wisnu.

2.  Kekuatan dan Kemahakuasaan
Siwa dianggap memiliki kekuatan dan kemahakuasaan yang lebih besar dari Brahma dan Wisnu. Siwa dianggap dapat menciptakan, memelihara, dan menghancurkan, sedangkan Brahma dan Wisnu hanya memiliki peran yang lebih terbatas (hanya menciptakan dan memelihara).

3.  Kesucian dan Kemurnian
Siwa dianggap sebagai dewa yang paling suci dan murni, sedangkan Brahma dan Wisnu dianggap memiliki kesucian dan kemurnian yang lebih rendah.
Siwa dianggap sebagai dewa yang tidak terikat oleh karma dan maya, sedangkan Brahma dan Wisnu dianggap masih terikat oleh karma dan maya.

4.  Penghormatan dalam Kitab Suci
Dalam kitab suci Hindu seperti Weda dan Upanisad khususnya dlm ajaran Sivaisme,  Siwa dianggap sebagai dewa yang paling dihormati dan paling suci. Brahma dan Wisnu juga dihormati, tetapi tidak sebesar Siwa.

Namun, perlu diingat bahwa dalam agama Hindu, semua dewa-dewa dianggap sebagai manifestasi dari Tuhan yang Maha Esa.

Foto Linggam, Sumber Internet


Misteri Lingga, Bagaimana Dewa Siwa Menciptakan Simbol Kekuatannya Yang Abadi?


Dalam kepercayaan Hindu, Lingga dikenal sebagai simbol utama Dewa Siwa, melambangkan kekuatan dan kehadirannya yang tak terbatas.
Lingga seperti telur dan melambangkan Brahmanda (telur kosmik). Lingga menandakan bahwa ciptaan dipengaruhi oleh penyatuan  Purusha dan Prakerti, kekuatan alam laki-laki dan perempuan. Lingga juga melambangkan Satya (kebenaran), Jnana (pengetahuan) dan Ananta (ketidakterbatasan).

Lingga Siwa terdiri dari tiga bagian. Bagian bawah disebut Brahma-Pitha; bagian tengah disebut Wisnu-Pitha; dan bagian teratas disebut Siwa-Pitha. Bagian-bagian ini dikaitkan dengan dewa-dewa Hindu : Brahma (Sang Pencipta), Wisnu (Sang Pemelihara), dan Siwa (Sang Pelebur).

Alasnya yang biasanya melingkar atau Peetham (Brahma-Pitha), menampung struktur berbentuk mangkuk memanjang (Vishnu-Pitha) yang mengingatkan pada teko datar dengan corong yang bagian atasnya telah dipotong. Di dalam mangkuk tersebut terdapat silinder tinggi dengan kepala bundar (Shiva-Pitha), inilah bagian dari Shiva Lingga yang di dalamnya banyak orang melihat falus.

Namun, bagaimana asal-usul Lingga sebagai simbol kekuatan Siwa? Mari kita telusuri kisahnya melalui berbagai sumber Purana dan teks suci lainnya.

1. Pertarungan Brahma dan Wisnu : Munculnya Lingga Tak Berujung

Menurut Siwa Purana, pernah terjadi perdebatan sengit antara Dewa Brahma dan Dewa Wisnu mengenai siapa yang lebih unggul di antara mereka. Saat mereka melakukannya, muncul sebuah linggam berapi di hadapan mereka. Untuk membuktikan kehebatan masing-masing, mereka berusaha mencari ujung dari sebuah cahaya tak berujung yang tiba-tiba muncul itu. Namun, kedua dewa itu gagal dan Siwa muncul dari dalam linggam untuk mengklaim supremasi (tertinggi) atas mereka. Brahma dan Wisnu tunduk kepada Siwa dan bersujud di hadapannya.

2. Lingga sebagai Simbol Kesuburan dan Penciptaan

Dalam Lingga Purana, Lingga tidak hanya dilihat sebagai simbol falus, (dari bahasa Yunani : phallos berarti penis), tetapi juga sebagai representasi dari kesuburan dan penciptaan. Lingga sering dipasangkan dengan Yoni - simbol dari Dewi Parwati - istri Siwa. Kombinasi Lingga Yoni melambangkan penyatuan antara prinsip maskulin dan feminin, yang diyakini sebagai sumber segala kehidupan di alam semesta.

3. Evolusi Pemujaan Lingga dalam Sejarah

Pemujaan Lingga sebagai simbol Dewa Siwa telah ada sejak peradaban Lembah Indus. Di Indonesia, khususnya di Jawa dan Bali, ditemukan banyak peninggalan arkeologis berupa Lingga Yoni, menunjukkan bahwa pemujaan ini telah lama menjadi bagian integral dari praktik spiritual masyarakat. Misalnya, Prasasti Canggal dari abad ke-8 Masehi mencatat pendirian sebuah Lingga oleh Raja Sanjaya (Raja Mataram abad ke 8) sebagai tanda pemujaan kepada Siwa.

4. Makna Filosofis dan Teologis Lingga

Dalam teologi Hindu, makna filosofis yang mendalam Lingga sebagai simbol dari Purusha (prinsip maskulin) dan Prakriti (prinsip feminin), yang bersama-sama menciptakan dan memelihara alam semesta. Dalam konteks ini, Lingga melambangkan kehadiran ilahi yang meresapi segala sesuatu, menekankan sifat transenden dan imanen dari Dewa Siwa.

Melalui berbagai sumber Purana, kita memahami bahwa Lingga sebagai simbol Dewa Siwa memiliki asal-usul yang kaya dan kompleks. Ia tidak hanya melambangkan aspek maskulin, tetapi juga kesatuan dengan aspek feminin, mencerminkan proses penciptaan dan keberlangsungan alam semesta. Penggunaan Lingga dalam pemujaan menunjukkan penghormatan terhadap kekuatan kreatif dan destruktif (penghancur / pelebur) Siwa, serta pengakuan akan ketidakterbatasan dan kemahakuasaan-Nya.

Foto Ilustrasi, Sumber : Internat.


Sumber dan Referensi :

  • ‌Siwa Purana : Teks Purana yang berfokus pada Dewa Siwa dan berbagai aspeknya.

  • ‌Lingga Purana : Teks yang menjelaskan asal-usul, makna, dan jenis-jenis Lingga dalam tradisi Hindu.

  • ‌Prasasti Canggal : Prasasti dari abad ke-8 yang mencatat pendirian Lingga oleh Raja Sanjaya.
  • ‌Eksistensi Lingga sebagai Media Pemujaan Hindu di Desa Linggoasri : Artikel yang membahas tentang pemujaan Lingga di Indonesia.
  • Siwa Lingga dalam Susastra Hindu : Artikel yang mengulas tentang makna dan jenis-jenis Lingga dalam tradisi Hindu.
-------------

Selasa, 26 Agustus 2025

Ganesha Chaturthi

Festival Ganesha Caturthi.

Foto hanya ilustrasi. Sumber Internet.


Ganesha Chaturthi juga dikenal sebagai Vinayaka Chaturthi, sebuah perayaan dalam agama Hindu yang merayakan kelahiran dewa berkepala Gajah - Ganesha, Dewa Kemakmuran, Kebijaksanaan, dan penyingkiran rintangan. 

Perayaan ini dimulai pada hari keempat (chaturthi) bulan Bhadrapada - bulan keenam dalam kalender Hindu  (Agustus –September), perayaan ini berlangsung hingga 10 hari. 

Ganesha Caturthi dirayakan untuk memohon berkat dan perlindungan dari Dewa Ganesha, serta untuk memohon penghapusan rintangan dan kesulitan dalam hidup dan mendapatkan berkah berupa kebijaksanaan, kecerdasan, dan kesabaran. 

Makna batiniah pemujaan Ganapathi selama sepuluh hari, adalah bahwa setiap hari dipersembahkan untuk melatih pengendalian salah satu indriya. Manusia memiliki Dasendhriya, yaitu "Panca Jnanedhriya dan Panca Karmendhriya (lima organ persepsi dan lima organ tindakan).

Nama Ganapati berasal dari gabungan dua kata Sansekerta : Gana dan Pati. Dalam kata Gana, "Ga" berarti Buddhi (intelek), "Na" berarti Vijnana (pengetahuan atau kebijaksanaan yang lebih tinggi). Pati  berarti "tuan, pemimpin atau penguasa".
Jadi Ganapathi adalah Penguasa Budi (intelek) dan Vijnana (kebijaksanaan atau pengetahuan yang lebih tinggi). Ganapathi bersemayam dalam diri setiap manusia, manusia tidak perlu mencari-Nya di dunia luar.

Ganesha Caturthi dirayakan untuk memohon berkat dan perlindungan dari Dewa Ganesha, serta untuk memohon penghapusan rintangan dan kesulitan dalam hidup dan mendptkan berkah berupa kebijaksanaan, kecerdasan, dan kesabaran.

Makna historis perayaan Ganesha Chaturthi berasal dari zaman kuno dan berakar pada mitologi Hindu. Dewa Ganesha dianggap sebagai dewa kebijaksanaan, kecerdasan, dan awal yang baru. Suatu hari Dewa Ganesha ditugaskan oleh Ibunya - Dewi Parwati, untuk menjaga kamarnya saat ia mandi. Ketika Dewa Siwa - suami Parwati pulang, Dewa Siwa berkeinginan masuk ke kamar Parwati, Ganesha menolaknya. Dalam kemarahannya, Siwa memenggal kepala Ganesha. Parwati sangat terpukul atas kehilangan putranya dan meminta Siwa untuk menghidupkannya kembali. Siwa kemudian mengganti kepala Ganesha dengan kepala gajah, sehingga lahirlah dewa berkepala gajah.

Iswara memberkati Ganapathi dengan bersabda, "Aku memiliki banyak sifat namun tidak memiliki kecerdasan-Mu. Oleh karena itu, sebelum manusia memuja-Ku maka mereka harus memuja-Mu terlebih dahulu. Inilah berkah yang Aku berikan kepada-Mu."

Oleh karena itu Ganapathi melambangkan prinsip yang luar biasa. Beliau adalah perwujudan dari semua potensi. Beliau adalah tempat bagi semua jenis kecerdasan. Tidak ada yang tidak baik yang dapat terjadi dimanapun Ganesha hadir.
Maka dari itu, dipujalah Ganesha pertama kali sebelum melakukan kegiatan apapun juga maka tidak akan ada hambatan untuk penyelesaiannya. Berkat-Nya cukup untuk menghapus semua hambatan dan memberikan kesuksesan.

Pada perayaan Vinayaka Cathurthi ini, para Bharateeya (keturunan Bharata) mempersembahkan kepada Ganesha berupa persembahan makanan dibuat sepenuhnya dengan dikukus.

Ada beberapa rahasia batin yang harus diperhatikan dalam pemujaan Ganesha. Dalam Ayurveda, makanan yang dimasak dengan dikukus dianggap sangat baik karena khasiatnya yang menyembuhkan.

Makna batin dari semua ini adalah bahwa persembahan makanan kepada Ganesha memiliki khasiat untuk kesehatan. Perlu dicatat bahwa makanan yang dimasak dengan dikukus mudah dicerna.

Apa yang seharusnya dipersembahkan kepada Tuhan adalah hal-hal yang akan menyenangkan-Nya. Inilah yang diperintahkan Parvathi kepada Nandheeshvara. Parwathi berkata kepadanya : "Persembahkan kepada anak-Ku apa yang akan menyenangkan-Nya dan apa yang paling menyenangkan bagimu."


Lambang Tikus

Tikus (Muushika) adalah wahana Vinayaka. Tikus melambangkan kegelapan, yang merupakan simbol ketidaktahuan, simbol keterikatan pada kecenderungan duniawi (vasana). Tikus bergerak dalam kegelapan. Ganapathi merupakan pengendali kegelapan (ketidaktahuan).

Tikus dikenal karena indra  penciumannya yang kuat. Sudah menjadi rahasia umum bahwa jika ingin menangkap tikus, masukkan makanan yang berbau menyengat ke dalam perangkap tikus. Berdasarkan bau yang terpancar dari suatu objek, tikus menemukan jalannya ke objek tersebut.

Tikus dapat melihat dengan jelas dalam kegelapan. Sebagai wahana Vinayaka, tikus melambangkan objek yang menuntun manusia dari kegelapan menuju cahaya. Dengan demikian, prinsip Vinayaka berarti sesuatu yang menghilangkan semua sifat buruk, praktik buruk, dan pikiran buruk dalam diri manusia serta menanamkan sifat baik, perilaku baik, dan pikiran baik.

Dalam sloka (syair Sansekerta) yang dimulai dengan kata-kata,

Suklaambaradharam Vishnum“, hanya digambarkan wujud dari Vinayaka. Ada makna tersirat lain untuk nama Vinayaka.

Suklaambaradharam” berarti Yang berpakaian putih.

Vishnum” berarti Yang meliputi segalanya.

Sasivarnam” berarti kulit-Nya berwarna abu-abu seperti abu.

Chathurbhujam” berarti yang memiliki empat lengan.

Prasannavadanam” berarti yang selalu memiliki watak yang menyenangkan.

Sarvavighnopasaanthaye” berarti menyingkirkan semua rintangan.

Dhyaayeth“ berarti bermeditasi (pada-Nya).

"Vighna Koti Hara Vimala Gajanana" yang berarti Ganesha melenyapkan berjuta-juta rintangan.


Vinayaka menandakan kemenangan kebijaksanaan atas ketidaktahuan dan kemenangan tanpa ego atas keinginan. Suatu ketika ada kontes antara Vinayaka dan adik laki-lakinya, Subrahmanya, tentang siapa di antara mereka yang akan mengelilingi dunia terlebih dahulu. Vinayaka sangat cerdas dan memiliki daya pembeda yang luar biasa. Dia hanya mengelilingi Parvathi (Ibunya), sedangkan Subrahmanya mengelilingi dunia (fisik dunia).


Ketika Ganapathi digambarkan sebagai "Parvathi Thanaya," siapakah Parvathi ini? Parvathi menandakan Prithvi (Ibu Pertiwi). Setiap orang adalah anak Ibu Pertiwi. Arti dari Parvathi Thanaya (Putra Parvathi) adalah bahwa Ganapathi yang merupakan Penguasa Para Gana, adalah putra Parvathi, yang melambangkan Shakthi (Energi Ilahi).


Menurut Bhagawan Sri Sathya Narayana (2002), Vinayaka melambangkan kualitas seorang pemimpin sejati dalam segala aspek. “Viyate Nayake Iti Vinayaka” yang berarti, Dia adalah guru bagi Diri-Nya Sendiri. Di dunia ini, Vinayaka dipuja oleh banyak orang, akan tetapi, Vinayaka tidak menyembah siapapun karena Dia tidak memiliki guru di atas-Nya. Bahkan Iishvara - sang ayah, memuja putra-Nya - Vinayaka, tetapi tidak sebaliknya.


Vinayaka juga disebut "Vighneswara" (penghilang rintangan). Tidak ada rintangan yang dapat menghalangi orang yang berdoa kepada Vinayaka. Pemujaan terhadap Vinayaka memberikan keberhasilan dalam usaha spiritual maupun duniawi. Tuhan memberikan kebahagiaan pada dua tingkatan, pravritti (lahiriah) dan Nivritti (batiniah). Pravritti berhubungan dengan tubuh fisik dan Nivritti dengan buddhi (kemampuan membedakan yang nyata dan tidak nyata: keterangan pentermah).


Pemujaan pada arca seharusnya mengantarkan pada perenungan tentang hakikat spiritual halus yang diwakili oleh arca itu. Inilah jalan menuju realisasi Atma (Diri Sejati). Sadarilah dan hiduplah berdasarkan pemahaman bahwa Keilahian hidup berada di dalam dirimu. Ganapathi melambangkan pribadi ideal yang dipandu oleh kecerdasan dan kebijaksanaan.


Keyakinan kepada Tuhan tidak boleh goyah. Dalam keadaan apa pun seseorang tidak boleh menentang perintah Tuhan. Sadhana apa pun yang dilakukan seseorang, betapa pun ketekunan seseorang bermeditasi, jika seseorang melanggar perintah Tuhan, praktik pengabdiannya hanyalah sia sia belaka. Orang-orang bertindak melawan perintah suci Tuhan karena motif egois yang picik. Bahkan tindakan pelanggaran kecil pun pada waktunya dapat dianggap berbahaya.


Seperti awan di langit yang disatukan atau disebarkan oleh angin, perjalanan waktu membawa manusia kepada pertemuan atau perpisahan dengan orang lain, demikian juga halnya dengan kebahagiaan atau kesedihan. Waktu adalah perwujudan Tuhan. Waktu tidak boleh disia-siakan. Untuk memahami kebenaran suci seperti itulah festival seperti Ganesha Chaturthi dirayakan. (Bhagawan Sri Sathya Narayana).

Foto Pemanis, sumber Internet.

Selasa, 10 Juni 2025

Bagaimana Terciptanya Dunia?

AWAL PENCIPTAAN MENURUT HINDU. 

Foto Ilustrasi, sumber Internet


Dalam kitab suci Hindu, seperti Rgveda dan Upanishad, keadaan sebelum dunia diciptakan sebagai keadaan gelap, yang disebut sebagai "Asat" atau "Avyakta". Asat atau Avyakta adalah keadaan yang tidak termanifestasi, tidak memiliki bentuk atau sifat, dan tidak dapat dipahami oleh manusia. Dalam Regveda ada disebutkan (Sansekerta) sbb :

"tama āsīt tamasā gūḍham agre praketaṁ salilaṁ sarvam ā idam tucchyenābhv apihitaṁ yad āsīt tapasas tan mahinā jāyataikaṁ."

Terjemahan :

“Pada mulanya ada kegelapan, yang tersembunyi di dalam kegelapan; alam semesta tidak dapat dibedakan seperti udara. Yang telah menjadi, ditutupi oleh selubung; Yang Esa itu muncul melalui kekuatan panas”.


Pada mulanya alam ini kosong, yang ada hanya Tuhan, sering disebut jaman "duk tan hana paran - paran anrawang anruwung" artinya ketika itu belum ada apa-apa dan semuanya tidak menentu. Keadaan sebelum dunia diciptakan dianggap sebagai keadaan gelap, yang disebut sebagai “Tamas”. Tamas adalah salah satu dari tiga guna (sifat) yang ada dalam alam semesta, yaitu :

1.  Sattva (Terang)
Sattva adalah sifat yang terkait dengan terang, kesadaran, dan kebijaksanaan.

2.  Rajas (Gerak)
Rajas adalah sifat yang berkaitan dengan gerak, aktivitas, dan perubahan.

3.  Tamas (Gelap)
Tamas adalah sifat yang terkait dengan kegelapan, dan ketidaktahuan.

Dalam sebelum keadaan dunia diciptakan, Tamas sebagai sifat yang dominan, sehingga keadaan tersebut dianggap sebagai keadaan gelap. Namun, dengan terciptanya dunia, Sattva dan Rajas mulai berperan, sehingga keadaan gelap mulai berubah menjadi terang.

Setelah dunia diciptakan, Tuhan menciptakan Para Dewa, tumbuhan berbagai makhluk hidup, termasuk binatang lainnya, dan manusia. Berikut adalah urutan penciptaan makhluk hidup secara garis besar menurut agama Hindu :

1. Dewa-Dewa
Dewa - dewa diciptakan pertama kali oleh Brahman untuk membantu mengatur alam semesta dan menjaga keseimbangan.

2.  Tumbuhan (Virudha)
Setelah dewa-dewa tercipta, Brahman menciptakan tumbuh-tumbuhan untuk menjadi sumber makanan dan oksigen bagi makhluk hidup lainnya.

3.  Binatang (Tiryak)
Kemudian, Brahman menciptakan binatang termasuk hewan darat, hewan laut, dan hewan udara untuk menghuni alam semesta dan menjaga keseimbangan ekosistem.

4.  Manusia
Terakhir, Brahman menciptakan manusia sebagai makhluk hidup yang paling sempurna di antara makhluk hidup lainnya. Manusia pertama ciptaan Tuhan dalam ajaran agama Hindu disebut Syayambhumanu.
Selanjutnya setelah terciptanya manusia pertama atas kekuasaan Tuhan, maka manusia itu sendiri yang berkembang. Tuhan menciptakan manusia sebagai makhluk hidup yang paling sempurna dan memiliki kemampuan untuk berpikir, merasa, dan bertindak. Manusia diciptakan untuk menghuni dunia dan menjaga keseimbangan alam.

Foto Ilustrasi, sumber internet


Proses Penciptaan Dunia

Dalam agama Hindu, proses penciptaan dunia merupakan proses yang kompleks dan melibatkan banyak tahapan. Dalam kitab Upanisad, penciptaan alam semesta diibaratkan seperti laba–laba yang memintal benangnya secara bertahap, demikian pula Brahman menciptakan alam semesta secara bertahap. Dengan kemahakuasaan-Nya, Tuhan menciptakan : 

1. Kekuatan Purusa (rohaniah) yaitu kekuatan hidup dan Pradana (Prakerti) yaitu kekuatan kebendaan.

2 . Kemudian timbullah “cita” (alam pikiran yang sudah mulai dipengaruhi oleh Tri Guna yaitu Satwam, Rajas dan Tamas).

3. Kemudian timbullah Budi (naluri pengenal).

4. Setelah itu timbul Manah (akal dan perasaan).

5. Selanjutnya timbul Ahamkara (rasa keakuan).

6. Kemudian timbul Dasa Indria yaitu sepuluh sumber indria (Panca Budi Indria dan Panca Karma Indria).

Panca Budi Indria (Lima gerak keinginan) yaitu :

  1. Caksu indria (rangsang penglihatan)
  2. Ghrana indria (rangsang penciuman)
  3. Srota indria (rangsang pendengaran)
  4. Jihwa indria (rangsang pengecap)
  5. Twak indria (rangsang rasa sentuhan atau rabaan)


Panca Karma Indria (Lima gerak perbuatan) yaitu :

  1. ‌Wak indria (penggerak mulut)
  2. Pani indria (penggerak tangan)
  3. Pada indria (penggerak kaki)
  4. Payu indria (penggerak pelepasan)
  5. Upastha indria (penggerak kelamin)


7. Setelah Dasa Indria, timbullah Panca Tanmatra (lima jenis bibit alam) yaitu :

  1. ‌Sabda Tanmatra (benih suara)
  2. Sparsa Tanmatra (benih rasa sentuhan)
  3. Rupa Tanmatra (benih penglihatan)
  4. Rasa Tanmatra (benih rasa) 
  5. Landha Tanmatra (benih bau - penciuman)


8. Setelah itu lahirnya Panca Maha Bhuta (unsur-unsur benda materi yang bersifat nyata) yaitu :

  1. ‌Apah (zat cair)
  2. Teja (sinar)
  3. Bayu (angin)
  4. Akasa (eter)
  5. Pratiwi (zat padat)


9. Dari Panca Maha Butha terbentuk Paramanu yaitu atom - atom, zat padat kelima ini mengalami proses peleburan lebih lanjut sehingga terwujud benda-benda alam yang disebut Brahma anda (Brahmanda) yaitu planet-planet dan bintang-bintang sebagai bagian isi alam semesta. Brahmanda artinya benda bulat berbentuk telur ciptaan Brahman. Semuanya terdiri dari tujuh Loka yang disebut Sapta Loka yaitu :

  1. Bhur Loka
  2. Bhuwah Loka
  3. Sawah Loka
  4. Tapa Loka
  5. Jana Loka
  6. Maha Loka
  7. Satya Loka.

Pada setiap Loka terdapat perbedaan kandungan unsur dari masing-masing Panca Maha Bhuta.

Foto Ilustrasi sumber Internet


Proses Penciptaan Manusia Dan Makhluk Lain.
 
Setelah alam semesta diciptakan Tuhan kemudian menciptakan isinya. Dalam proses penciptaan ini terbentuklah lebih banyak yang kasar, misalnya penciptaan Dewa-Dewa, Gandarwa, Paisacha, kemudian terciptalah tumbuhan, yang berbadan kasar lainnya seperti binatang dan barulah manusia.

Proses penciptaan manusia adalah sari-sari dari Panca Maha Bhuta dan Sad Rasa (enam jenis rasa : manis, pahit, asin, asam, pedas, sepat). Unsur-unsur ini terpadu dengan unsur-unsur lain yaitu Cita, Budi, Ahangkara, Dasendria (Panca Budi Indria dan Panca Karna Indria) dan Panca Tanmatra.

Perpaduan semua unsur-unsur ini menghasilkan dua unsur benih kehidupan yaitu Purusa atau Sukla (benih laki-laki) dan Pradana atau Swanita (benih perempuan).
Pertemuan antara dua benih kehidupan ini Purusa dengan Pradana terciptalah manusia. Maka di dalam diri manusia semua unsur alam itu ada.

Manusia pertama ciptaan Tuhan dalam ajaran agama Hindu disebut Syayambhumanu. Syayambhumanu artinya makhluk berpikir yang menjadikan dirinya sendiri, itulah manusia pertama. Manu artinya berpikir. Dari kata Manu timbullah kata manusia yang artinya keturunan Manu. Selanjutnya setelah terciptanya manusia pertama atas kekuasaan Tuhan, maka manusia itu sendiri yang berkembang.
Bhagavad Gita III sloka 10 menyatakan :

" Sahyajnah prajah srishtwa Puro wacha praja patihanena prasawishya dhwamesha wo'stu ishta kama'dhuk"

Artinya :

"Dahulu kala Prajapati mencipta manusia bersama bhakti persembahannya dan berkata dengan ini engkau akan berkembang biak dan biarlah dunia ini jadi sapi perahanmu".

Dalam agama Hindu, penciptaan makhluk hidup dianggap sebagai proses yang terus-menerus dan tidak pernah berhenti. Tuhan sebagai pencipta yang terus menerus menciptakan dan mengatur alam semesta.

Foto Ilustrasi Sumber Internet


Penciptaan dari Segi Ilmu Pengetahuan.

Dari bidang ilmu pengetahuan, terjadinya dunia dapat dijelaskan melalui beberapa teori dan konsep yang telah dikembangkan oleh para ilmuwan. Banyak teori dan konsep yang menjelaskan terjadinya dunia, berikut ini beberapa teori dan konsep yang menjelaskan terjadinya dunia (dikutip dari Meta) :

1. Teori Big Bang

Teori Big Bang adalah teori tentang yang paling luas diterima oleh para ilmuwan asal-usul alam semesta. Menurut teori ini, alam semesta terbentuk sekitar 13,8 miliar tahun yang lalu dari sebuah ledakan besar yang disebut Big Bang.

2. Pembentukan Galaksi dan Bintang.

Setelah Big Bang, alam semesta terus mengembang dan membaik. Sekitar 300.000 tahun setelah Big Bang, proton dan neutron mulai bergabung membentuk inti atom. Kemudian, inti atom ini bergabung membentuk atom-atom yang lebih berat, seperti hidrogen dan helium.

3. Pembentukan Tata Surya.

Sekitar 4,6 miliar tahun yang lalu, sebuah awan gas dan debu di ruang angkasa mulai runtuh dan membentuk Matahari dan planet – planet di Tata Surya kita.

4. Pembentukan Bumi.

Bumi terbentuk sekitar 4,5 miliar tahun yang lalu dari pecahan - pecahan batu dan debu yang mengorbit Matahari. Bumi awalnya sangat panas dan berbatu, namun secara bertahap mendingin dan membentuk atmosfer.

5. Pembentukan Kehidupan.

Sekitar 3,5 miliar tahun yang lalu, kehidupan pertama kali muncul di Bumi. Kehidupan awal ini berupa organisme sederhana seperti bakteri dan arkea.

6. Evolusi Kehidupan.

Kehidupan di Bumi terus berevolusi dan berkembang menjadi lebih kompleks. Sekitar 2,1 miliar tahun yang lalu, oksigen mulai muncul di atmosfer, yang memungkinkan kehidupan yang lebih kompleks berkembang.

7. Pembentukan Spesies.

Sekitar 500 juta tahun yang lalu, kehidupan di Bumi mulai membentuk spesies yang lebih kompleks, seperti hewan dan tumbuhan.

8. Evolusi Manusia.

Sekitar 200.000 tahun yang lalu, spesies manusia pertama kali muncul di Afrika. Manusia terus berevolusi dan berkembang menjadi lebih kompleks, dengan kemampuan berpikir, berbicara, dan menggunakan alat.

Dengan demikian, terjadinya dunia dapat dijelaskan melalui beberapa teori dan konsep yang telah dikembangkan oleh para ilmuwan.***

Foto Ilustrasi Sumber Internet.


 

Senin, 19 Mei 2025

Nyepi Memperingati Terciptanya Dunia?

Adakah Kaitannya Pengarakan Ogoh-Ogoh Dengan Nyepi?

Foto hanya ilustrasi sumber internet


Hari Raya Nyepi yang dirayakan setahun sekali pada Sasih Kesenge oleh umat Hindu dengan pengarakan ogoh-ogoh, khususnya di Bali diidentikkan dengan Perayaan Tahun Baru Saka.


Hal ini menarik untuk disimak mengingat tidak semua umat Hindu  di Indonesia mengarak ogoh-ogoh dalam rangka merayakan Tahun Baru Saka. Atau apakah Hari Raya Nyepi untuk memperingati ketika dunia diciptakan pertama kali oleh Ida Hyang Widhi Wasa mengingat sebelum dunia diciptakan keadaannya Sepi, sehingga umat Hindu melaksanakan Nyepi (Sipeng) membuat sepi-sepian?


Pada mulanya sebelum alam semesta diciptakan ini kosong, yang ada hanya Tuhan, sering disebut jaman "duk tan hana paran-paran anrawang anruwung"artinya ketika itu belum ada apa-apa dan semuanya tidak menentu. Keadaan sebelum dunia diciptakan dianggap sebagai keadaan “gelap”, yang disebut sebagai “Tamas”. Tamas adalah salah satu dari tiga guna (sifat) yang ada dalam alam semesta, yaitu :

1. Sattva (Terang)
Sattva adalah sifat yang terkait dengan terang, kesadaran, dan kebijaksanaan.

2. Rajas (Gerak)
Rajas adalah sifat yang terkait dengan gerak, aktivitas, dan perubahan.

3. Tamas (Gelap)
Tamas adalah sifat yang terkait dengan kegelapan, dan ketidaktahuan.


Keadaan sebelum dunia diciptakan, Tamas sebagai sifat yang dominan, sehingga keadaan tersebut dianggap sebagai keadaan gelap . Namun, dengan terciptanya dunia, Sattva dan Rajas mulai berperan, sehingga keadaan gelap mulai berubah menjadi terang.

Dalam agama Hindu, keadaan sebelum dunia diciptakan dianggap sebagai keadaan gelap, karena beberapa alasan yang terkait dengan filosofi dan mitologi Hindu :

1. Awal penciptaan alam semesta dimulai dengan kesunyian dan ketenangan. Tuhan Brahma, pencipta alam semesta, menciptakan alam semesta dari kenyamanan, kesunyian dari kehampaan, yang ada hanya kegelapan.

2. Ada siklus penciptaan dan siklus penghancuran yang terus-menerus. Kesunyian dan kenyamanan sebagai awal dari siklus baru, di mana kesunyian dan kenyamanan menjadi simbol dari awal penciptaan yang baru.

3. Kesunyian dan ketenangan juga dianggap sebagai cara untuk membersihkan diri dari dosa-dosa dan kotoran-kotoran spiritual serta sebagai cara berbakti kepada Tuhan.


Nyepi diperingati dengan kesunyian dan keheningan (Sipeng yang berarti Sepi) membuat Sepi-sepian sebagai cara untuk mengingat atau memperingati awal penciptaan semesta.

Hening, kosong, sunyi, adalah sumber segala-galanya. Keheningan, kekosongan, sunyi adalah awal dari pada penciptaan, awal dari pada kehidupan, awal dari pada kekuatan, dan awal dari pada suatu kebangkitan. 


Kesunyian / keheningan yang dipraktikkan selama Nyepi melambangkan kontemplasi dan memungkinkan Umat Hindu untuk merenungkan kehidupan mereka, menilai perbuatan mereka selama ini. Selain itu, Nyepi juga merupakan cara untuk menjaga keseimbangan hubungan antar manusia, manusia  dengan alam, dan manusia dengan Tuhan.


Dengan berdiam diri dan tidak melakukan aktivitas apa pun (Samadi), umat Hindu dapat mendengarkan hati nuraninya, "Silence Is Brahman," artinya : "Keheningan adalah Brahman".


Empu Kanwa lewat gubahannya yang maha indah mengatakan :

“Sasi wima haneng gata mesi banyu/ndan asing nirmala mesi wulan/iwa mangkana rakwa kiteng kadadin/ring angambeki yoga kiteng sakala”

Artinya:

Seperti bayangan bulan yang ada ditempayan berisi air, bahkan setiap tempat sucipun bayangan bulan akan tampak, demikian kodrat-Mu (Tuhan Yang Maha Esa), selalu ada pada setiap ciptaan-Mu, pada siapa yang tekun melaksanakan yoga semadi, Engkau akan tampak mewujud.


Berdasarkan ayat itu makna yang dapat kita petik adalah untuk mampu menangkap bayangan bulan, maka air dalam tempayan mesti harus jernih, artinya untuk menemukan hakekat dari Brahman yang sunya, sepi, kosong, "Duk Tan Hana Paran-paran", seseorang harus mengalami keheningan jiwa, kejernihan jiwa, kekosongan jiwa terlebih dahulu, dan ini dapat dilakukan dengan tekun melaksanakan yoga semadi.


Sehari sebelum Nyepi, umat Hindu melaksanakan upacara Buta Yadnya, mulai dari masing-masing keluarga, banjar, desa, kecamatan, dan seterusnya, dengan mengambil salah satu dari jenis-jenis caru menurut kemampuannya. Buta Yadnya itu masing-masing bernama Pañca Sata (kecil), Pañca Sanak (sedang), dan Tawur Agung (besar). Tawur atau pecaruan merupakan penyucian pemarisuda Buta Kala, dan segala leteh (kekotoran) diharapkan sirna semuanya. Kemudian pada sandyakala melakukan ngerupuk/ mebuu-buu dimulai dari lingkungan rumah lebih dulu, dilaksanakan ramai-ramai bersama keluarga yang dilengkapi dengan sarana pokok ngerupuk berupa gni seprapak (meobor obor), semburakena (simbuh atau semburkan) bawang putih, mesui dan jangu (triketuka), sirat tirta panyomya bhuta, memukul bunyi-bunyian berupa kaleng bekas, peralatan dapur, kentongan bambu dan lain-lain. Setelah itu barulah dilanjutkan keluar ke jalan raya bergabung dengan teman-teman kelompok/banjar lainnya.


Pada hari Nyepi ini umat Hindu melaksanakan "Catur Brata Penyepian", yang terdiri dari :

  1. Amati Gni, yaitu tidak menyalakan api/lampu termasuk api nafsu yang mengandung makna pengendalian diri dari segala bentuk angkara murka.

  2. Amati Karya, yaitu tidak melakukan kegiatan fisik/kerja dan yang terpenting adalah melakukan aktivitas rohani untuk penyucian diri.

  3. Amati Lelungan, yaitu tidak berpergian, akan tetapi senantiasa introspeksi diri/mawas diri dengan memusatkan pikiran astiti bhakti kehadapan Ida Sang Hyang Widhi /Ista Dewata.

  4. Amati Lelanguan, yaitu tidak mengadakan hiburan/rekreasi yang bertujuan untuk bersenang-senang, melainkan tekun melatih bathin untuk mencapai produktivitas rohani
    yang tinggi.

Dengan berdiam diri dan tidak melakukan aktivitas apapun (tidak melakukan aktivitas seperti biasa), umat Hindu dapat memusatkan diri pada spiritualitas dan melakukan instrospeksi diri apa yang sudah dilakukan dalam setahun yang sudah lewat, dan merencanakan apa yang baik yang akan dilakukan tahun mendatang.


Rangkaian terakhir dari perayaan Nyepi yaitu Ngembak Geni besoknya mulai pkl 06.00. Ngembak Geni pertanda sudah berakhir Catur Brata penyepian masyarakat sudah boleh melakukan aktivitas seperti biasa. 

Sejak tahun 1983 Hari Raya Nyepi dan Hari Raya Waisak ditetapkan oleh pemerintah sebagai Hari Libur Nasional, berdasarkan Keputusan Presiden Indonesia Nomor 3 tahun 1983 tanggal 19 Januari 1983.

Foto hanya ilustrasi sumber internet

Dengan perkembangan zaman, dimana Nyepi bertepatan dengan Tahun Baru Saka, sehingga Hari Raya Nyepi dianggap memperingati Tahun Baru Saka, yang diisi dengan pengarakan Ogoh-ogoh. Jadi Nyepi bukan dalam rangka memperingati Tahun Baru Saka. 


Pengarakan ogoh - ogoh yang berlangsung setiap tahun pada saat pengerupukan bukan bagian dari ritual perayaan Nyepi, namun merupakan kreativitas budaya yang lebih menonjolkan ekspresi seni (Buku Panduan Ogoh-ogoh Pengerupukan, hal: 20, poin 3, Dinas Kebudayaan Kota Denpasar 2011).


Menurut I Bagus Putu Sudarmaya (dalam artikel), mulai tahun 1966 pelaksanaan pengerupukan di Badung dipusatkan atau berkumpul terlebih dulu di Lapangan Puputan Badung/I Gusti Ngurah Made Agung kemudian bergerak keliling kota Denpasar. Pada saat itu ada salah satu kelompok/ banjar yang membawa 9 buah obor yang dirangkai menjadi satu dengan ikatan bambu yang dibuat bercabang-cabang yang sudah dililitkan jerami sebagai bentuk kreativitas atau bentuk lain dari obor yang biasa dibawa orang pada umumnya. Kemudian dengan berbaris rapi semua para peserta pawai obor diberi kesempatan masuk ke depan/teras Kantor Gubernur/rumah tempat tinggal Gubernur dengan berbaris 2 secara tertib dan rapi sambil membawa obor untuk mendapat sapaan / lambaian tangan dari Bapak Gubernur Mertha pada waktu itu (kalau tidak salah). Namun, obor kreativitas yang tingginya sekitar 3 meter tidak bisa masuk karena terhalang oleh atap beton di depan teras Kantor Gubernur, sehingga obor kreativitas langsung saja bergerak ke timur di Jl. Surapati, belok ke Jl. Melati terus keliling Kota Denpasar yang diikuti oleh peserta pawai obor.

''Kreativitas obor'' inilah dianggap sebagai cikal bakal ogoh-ogoh yang ada sekarang ini, karena setelah tahun 1967, setiap acara pengerupukan makin banyak kelompok/banjar yang membawa obor kreatif dengan berbagai macam ragam bentuk dan kreasi. Kemudian berkembang sehingga setiap pengerupukan semua kelompok peserta hanya membawa (menggotong/mendorong dengan kereta) ogoh-ogoh, tanpa ada yang membawa api obor lagi sebagai sarana utama pengerupukan.


Karena tidak ada hubungannya dengan hari raya Nyepi, maka jelaslah ogoh-ogoh itu tidak mutlak ada dalam upacara Nyepi. Seperti selama Covid-19 tidak ada pengarakan ogoh-ogoh saat perayaan Nyepi. Namun, ogoh-ogoh itu tetap boleh dibuat sebagai pelengkap kemeriahan upacara.


Sekarang dengan adanya pengarakan ogoh-ogoh setiap perayaan Nyepi hampir diseluruh Bali bahkan sudah mulai berkembang di luar Bali, maka masyarakat Hindu di Bali khususnya mendapatkan hiburan sebelum besoknya melaksanakan Brata Penyepian. Hanya saja ada kekawatiran, bahwa anak-anak, cucu-cucu tidak mengetahui bahwa mebuu-buu / ngerupuklah yang sakral bagian dari Tawur ke Sange, bukan pengarakan Ogoh-ogoh nya. 

Sekian yang dapat saya sampaikan ini hanya tafsir saya apabila ada yang tidak tepat saya mohon maaf. Suksma🙏

__________

Jumat, 25 April 2025

TAJEN SAAT GALUNGAN

Tajen, Tabuh Rah dan Galungan

Foto hanya Ilustrasi, Sumber Internet

Tajen

Tajen atau sabungan ayam nyaris tak dapat dilepaskan dari kehidupan orang Hindu - Bali. Banyak sekali persepsi masyarakat Hindu-Bali yang memandang bahwa tajen merupakan budaya yang tidak bisa dipisahkan dengan tatanan kehidupan masyarakat Bali; dan ada juga yang memberikan pandangan bahwa tajen merupakan persyaratan dari yadnya dan merupakan budaya yang ada sejak dahulu.

Memang tidak bisa dipungkiri dari sudut pandang  berbagai kalangan masyarakat Bali, bila kita amati apabila ada upacara-upacara yadnya disuatu daerah atau banjar-banjar di Bali, tajen tak lepas dari kegiatan tersebut, meskipun terkadang orientasinya bukan hanya sekedar upacara namun dijadikan sebagai wadah hiburan oleh masyarakat Bali dan identik dengan sebuah taruhan.

Secara logika sebenarnya tabuh rah tidak sama dengan tajen. Tabuh rah adalah bagian dari upacara agama khususnya dalam upacara pacaruan (bhuta yadnya). Setelah berabad-abad dimana seiring perubahan pola pikir manusia dan budaya maka tabuh rah mengalami pergeseran makna dan tujuannya menjadi tajen. Tajen yang sekarang dilakukan masyarakat Bali  merupakan sebuah taruhan dengan menggunakan materi atau uang, sehingga merupakan perjudian murni - bukan yadnya.

Adanya larangan tajen kerena sering dikaitkan dengan judi menyebabkan tajen kemudian dilakukan secara sembunyi-sembunyi oleh warga Bali, dan tidak tertutup kemungkinan juga ada main mata dengan oknum aparat kepolisian.

Dalam Manawa Dharmasastra V.45, tentang hiburan dengan penyiksaan binatang disebutkan sbb :

Yo’himsakaani bhuutani hina. Tyaatmasukheashayaa, sa jiwamsca mritascaiva na, Kvacitsukhamedhate”.

Artinya:

“Ia yang menyiksa mahluk hidup yang tidak berbahaya dengan maksud untuk mendapatkan kepuasan nafsu untuk diri sendiri, orang itu tidak akan pernah merasakan kebahagiaan. Ia selalu berada dalam keadaan tidak hidup dan tidak pula mati.”


Tabuh Rah

Tabuh rah adalah taburan darah binatang korban yang dilaksanakan dalam rangkaian upacara agama (yadnya). Upacara yang bisa dilaksanakan tabuh rah juga tidak semua upacara, hanya upacara - upacara pecaruan. Tabuh rah menurut Hindu merupakan rangkaian yadnya diatur dalam sastra sebagai berikut :


1.  Prasasthi batur Abang A Tahun caka 933 isinya :

“Mwang yan pakarya, masanga kunang wgila ya manawunga makantang tlung parahatan ithaninya tan pamwita, tan pawwta ring nayaka saksi.”

Artinya :

Lagi pula mengadakan upacara upacara misalnya tawur kesanga, patutlah mengadakan sabungan ayam, tiga angkatan (3 saet / 3 putaran) di desanya, tidaklah minta ijin, tidaklah memberitahukan kepada Pemerintah.


2.  Prasasthi Batuan tahun caka 944 berbunyi : 

Kunang yang manawung ing pangudwan makatang tlung marahatan tan pamwinta mayaka sanksi mwang sawung tangur, tan knana minta pamli”.

Artinya :

Adapun bila mengadu ayam ditempat suci dilakukan tiga saet tidak minta ijin kepada Pemerintah dan juga kepada Pengawas sabungan, tidak dikenakan pajak.


3.  Dalam rontal Ciwa Tatwa purana isinya : 

Mwah ri tileming kesanga,hulun magawe yoga, teka wenang wang ing madhya magawe tawur kasowang an den hana pranging sata wenang nyepi sadina ika labian sang kala daca bumi, yanora samangkana rug ikang ing madya”.

Artinya :

Lagi pada tilem kesanga aku (Dewa Ciwa) mengadakan yoga, berkewajibanlah orang di bumi ini membuat persembahan masing -masing, lalu adakan pertarungan ayam dan nyepi sehari, ketika itu berhidangan sang kala daca bhumi, jika tidak rusaklah manusia di bumi.

Jika ditinjau dari rontal tersebut diatas, jelas bahwa upacara tabuh rah hanya dilakukan untuk bhuta yadnya, pelaksanaannya tidak perlu mendapat ijin dari pemerintah, dan dilakukan 3 saet.

Pada hakekatnya setiap bentuk bhuta yadnya mempergunakan darah binatang sebagai persembahan kepada bhuta kala; yaitu bhuta bhucari, kala bhucari dan durga bhucari, tidak dipergunakan pada upacara Pitra Yadnya dan Dewa Yadnya. 

Binatang yang dijadikan yadnya tersebut dipercaya akan mengalami proses peningkatan (penyupatan) jiwa pada reinkarnasi selanjutnya menjadi binatang lain dengan derajat lebih tinggi atau manusia.


Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat melalui beberapa kali seminar kesatuan tafsir terhadap aspek - aspek agama Hindu, dengan melibatkan berbagai pakar, menetapkan pelaksanaan “tabuh rah” dalam rangkaian Bhuta Yadnya, sebagai berikut :

1.  Tabuh Rah dilaksanakan dengan Panyambleh (anetak gulu ayam) disertai dengan upakara Yadnya (sesajen).

2.  Tabuh Rah dalam bentuk “perang sata” (adu ayam) adalah satu “dreśta” (tradisi) yang berlaku di masyarakat yang pelaksanaannya dapat diganti dengan “penyambleh”.

3.  Apabila dilakukan dengan “Perang sata” (adu ayam), harus memenuhi syarat sbb :

  • Upacara yang boleh disertai “Perang sata” adalah upacara Bhuta Yajña sebagai berikut :  Caru Panca Kelud (Panca Sanak Madurgha), Caru Rsi Ghana, Caru Balik Sumpah, Tawur Agung, Tawur Labuh Gentuh, Tawur Panca Walikrama, Tawur Ekadasa Rudra.
  • Pelaksanaannya dilakukan di tempat upacara pada saat mengakhiri upacara tersebut.
  • Diiringi dengan “adu tingkih” (kemiri), adu pangi, adu telur, adu kelapa, dilengkapi andel-andel serta upakaranya.
  • Pelaksananya adalah Sang Yajamana (yang mempersembahkan upacara) dengan berbusana pakaian upacara sembahyang.
  • Perang sata maksimal dilakukan “Telung Prahatan” (3 sahet), tidak disertai taruhan (taruhan hanya memakai “pis bolong”.

4   Selain ketentuan butir 1,2,3 di atas, merupakan suatu penyimpangan.


Dampak judi menimbulan kegelapan (Awidya), kalau sudah “panas" (jengah bhs Bali), apapun bisa dipertaruhkan: mobil, sepeda motor, bahkan istri bisa dipertarukan seperti yang terjadi dalam Mahabhara, dimana Panca Pandawa sampai mempertaruhkan Drupadi - istri sendiri melawan Korawa.


Menurut sastra Hindu, kalah atau menang dalam perjudian membawa munculnya sadripu (enam musuh) pada diri seseorang. Sadripu adalah :

1. Kama (nafsu tak terkendali),
2. Lobha (serakah),
3. Kroda (kemarahan),
4. Mada (kemabukan),
5. Moha (sombong), dan
6. Matsarya (cemburu, dengki, irihati).

Dan yang kalah menguatkan: Kroda (kemarahan) dan Matsarya (cemburu, dengki, iri hati).

Dalam Bhagawadgita III.37 disebutkan sbb :

"Yajnarthat Karmano Nyatra, Loko Yam Karmabandhanah, Tadartham Karma Kaunteya, Muktasangah Samacara"

Terjemahan :

“Kuatnya keinginan dan kemarahan yang lahir dari nafsu rajaguna menjadikan lobha dan berdosa yang merupakan musuh di dunia”

Pelaksanaan upacara tabuh rah yang berifat “sakral” cendrung berubah menjadi judi sabungan ayam dengan dalih tabuh rah. Kenyataan di masyarakat dengan dalih untuk penggalian dana pembangunan pura dll maka diadakan tajen, dana punia melalui pungutan karcis masuk dan sebagainya.

Bila judi berupa tajen kini banyak dimasyarakat, bukanlah berarti bahwa umat Hindu tidak taat melaksanakan agamanya, melainkan karena kurang dipahaminya tatwa (filsafat). Untuk memperkecil dan mencegah berkembangnya judi tajen tersebut, peran aparat kepolisian sangat diperlukan, untuk menegakkan hukum, khususnya undang-undang larangan judi di Bali.

Foto hanya Ilustrasi, Sumber Internet.

Galungan

Makna Hari Galungan adalah peringatan kemenangan dharma melawan adharma. Perang dharma melawan Adharma terus berkecamuk dlm diri manusia.  Secara spiritual musuh2 manusia itu disimbulkan dengan Sang Bhuta Kala. 

Tiga hari sebelum hari raya Galungan, yaitu mulai Minggu pahing wuku Dungulan, umat Hindu mulai digoda oleh Bhuta Kala Tiga yaitu : Kala Dungulan (nafsu ingin merebut milik orang lain), Kala Galungan (nafsu ingin selalu menang dengan melakukan segala cara), dan Kala Amangkutat (nafsu ingin berkuasa), mulai :

  1. Penyekeban : Jatuh pada Minggu Pahing wuku Dungulan. Hari Penyekeban ini memiliki makna filosofis untuk “nyekeb indriya” yang berarti mengekang diri agar tidak melakukan hal-hal yang tidak dibenarkan oleh agama, pada hari penyekeban ini Sang Bhuta Dungulan (nafsu ingin merebut milik orang lain) mulai menyerang manusia.
  2. Penyajan  : Jatuh Senin Pon wuku Dungulan. Kata penyajan dari kata "saja" yang dalam bahasa Bali artinya "benar, serius". Hari penyajan ini memiliki filosofi memantapkan diri untuk merayakan hari raya Galungan. Pada hari ini umat digoda oleh Sang Bhuta Galungan (nafsu ingin selalu menang dengan melakukan segala cara).
  3. Hari Penampahan : jatuh Selasa Wage wuku Dungulan. "Penampahan" simbol dari membunuh (nampah) kekuatan adharma --Sang Butha Amangkurat yg mengganggu manusia. Setelah semua Bhuta lenyap sebagai simbol dari musnahnya nafsu hewani, baru kita mendirikan penjor, simbol kemenangan dengan hati suka ria bergembira.
  4. Hari Raya Galungan : jatuh pada Budha Kliwon Dungulan. Pada hari Galungan ini umat merayakan kemenangan melawan Sang Kala Tiga (Tiga nafsu tsb diatas) yang telah mengganggu sebelumnya. Karena sudah menang perang Umat Hindu merayakannya sebagai peringatan kemenangan Dharma melawan Adharma dengan melakukan persembahyangan di rumah masing-masing, hingga ke Pura sekitar lingkungan sebagai ungkapan puji syukur kepada Ida Hyang Widhi Wasa.


Tajen Saat Galungan

Namun seperti kita ketahui bersama, bahwa pada saat Hari Raya Galungan  justru Judi Tajen semakin marak dibandingkan hari-hari biasa, bahkan berpakaian seragam sebagaimana layaknya pakaian ke Pura. Apakah berarti tidak menang melawan Sang Kala Tiga (nafsu-nafsu) diatas? Apakah kalau kalah melawan Sang Kala Tiga (nafsu-nafsu), berarti tidak merayakan kemenangan Dharma melawan Adharma karena masih dikuasai nafsu? 

Ya.. ini pilihan dalam menjalani kehidupan, silakan.. yang senang metajen jangan mengejek yang tidak senang, begitu juga sebaliknya, karena kesenangan orang berbeda-beda dan semua karma kembali kepada diri masing-masing. 🙏

Foto hanya Ilustrasi, Sumber Internet
---------