Tajen dan Tabuh Rah
Tajen
Tajen atau sabungan ayam nyaris tak dapat dilepaskan dari kehidupan orang Hindu - Bali. Banyak sekali persepsi masyarakat Hindu-Bali yang memandang bahwa tajen merupakan budaya yang tidak bisa dipisahkan dengan tatanan kehidupan masyarakat Bali; dan ada juga yang memberikan pandangan bahwa tajen merupakan persyaratan dari yadnya dan merupakan budaya yang ada sejak dahulu.
Memang tidak bisa dipungkiri dari sudut pandang berbagai kalangan masyarakat Bali, bila kita amati apabila ada upacara-upacara yadnya disuatu daerah atau banjar-banjar di Bali, tajen tak lepas dari kegiatan tersebut, meskipun terkadang orientasinya bukan hanya sekedar upacara namun dijadikan sebagai wadah hiburan oleh masyarakat Bali dan identik dengan sebuah taruhan.
Secara logika sebenarnya tabuh rah tidak sama dengan tajen. Tabuh rah adalah bagian dari upacara agama khususnya dalam upacara pacaruan (bhuta yadnya). Setelah berabad-abad dimana seiring perubahan pola pikir manusia dan budaya maka tabuh rah mengalami pergeseran makna dan tujuannya menjadi tajen. Tajen yang sekarang dilakukan masyarakat Bali merupakan sebuah taruhan dengan menggunakan materi atau uang, sehingga merupakan perjudian murni - bukan yadnya.
Adanya larangan tajen kerena sering dikaitkan dengan judi menyebabkan tajen kemudian dilakukan secara sembunyi-sembunyi oleh warga Bali, dan tidak tertutup kemungkinan juga ada main mata dengan oknum aparat kepolisian.
Dalam Manawa Dharmasastra V.45, tentang hiburan dengan penyiksaan binatang disebutkan sbb :
“Yo’himsakaani bhuutani hina. Tyaatmasukheashayaa, sa jiwamsca mritascaiva na, Kvacitsukhamedhate”.
Artinya:
“Ia yang menyiksa mahluk hidup yang tidak berbahaya dengan maksud untuk mendapatkan kepuasan nafsu untuk diri sendiri, orang itu tidak akan pernah merasakan kebahagiaan. Ia selalu berada dalam keadaan tidak hidup dan tidak pula mati.”
Tabuh Rah
Tabuh rah adalah taburan darah binatang korban yang dilaksanakan dalam rangkaian upacara agama (yadnya). Upacara yang bisa dilaksanakan tabuh rah juga tidak semua upacara, hanya upacara - upacara pecaruan. Tabuh rah menurut Hindu merupakan rangkaian yadnya diatur dalam sastra sebagai berikut :
1. Prasasthi batur Abang A Tahun caka 933 isinya :
“Mwang yan pakarya, masanga kunang wgila ya manawunga makantang tlung parahatan ithaninya tan pamwita, tan pawwta ring nayaka saksi.”
Artinya :
Lagi pula mengadakan upacara upacara misalnya tawur kesanga, patutlah mengadakan sabungan ayam, tiga angkatan (3 saet / 3 putaran) di desanya, tidaklah minta ijin, tidaklah memberitahukan kepada Pemerintah.
2. Prasasthi Batuan tahun caka 944 berbunyi :
“Kunang yang manawung ing pangudwan makatang tlung marahatan tan pamwinta mayaka sanksi mwang sawung tangur, tan knana minta pamli”.
Artinya :
Adapun bila mengadu ayam ditempat suci dilakukan tiga saet tidak minta ijin kepada Pemerintah dan juga kepada Pengawas sabungan, tidak dikenakan pajak.
3. Dalam rontal Ciwa Tatwa purana isinya :
”Mwah ri tileming kesanga,hulun magawe yoga, teka wenang wang ing madhya magawe tawur kasowang an den hana pranging sata wenang nyepi sadina ika labian sang kala daca bumi, yanora samangkana rug ikang ing madya”.
Artinya :
Lagi pada tilem kesanga aku (Dewa Ciwa) mengadakan yoga, berkewajibanlah orang di bumi ini membuat persembahan masing -masing, lalu adakan pertarungan ayam dan nyepi sehari, ketika itu berhidangan sang kala daca bhumi, jika tidak rusaklah manusia di bumi.
Jika ditinjau dari rontal tersebut diatas, jelas bahwa upacara tabuh rah hanya dilakukan untuk bhuta yadnya, pelaksanaannya tidak perlu mendapat ijin dari pemerintah, dan dilakukan 3 saet.
Pada hakekatnya setiap bentuk bhuta yadnya mempergunakan darah binatang sebagai persembahan kepada bhuta kala; yaitu bhuta bhucari, kala bhucari dan durga bhucari, tidak dipergunakan pada upacara Pitra Yadnya dan Dewa Yadnya.
Binatang yang dijadikan yadnya tersebut dipercaya akan mengalami proses peningkatan (penyupatan) jiwa pada reinkarnasi selanjutnya menjadi binatang lain dengan derajat lebih tinggi atau manusia.
Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat melalui beberapa kali seminar kesatuan tafsir terhadap aspek - aspek agama Hindu, dengan melibatkan berbagai pakar, menetapkan pelaksanaan “tabuh rah” dalam rangkaian Bhuta Yadnya, sebagai berikut :
1. Tabuh Rah dilaksanakan dengan Panyambleh (anetak gulu ayam) disertai dengan upakara Yadnya (sesajen).
2. Tabuh Rah dalam bentuk “perang sata” (adu ayam) adalah satu “dreśta” (tradisi) yang berlaku di masyarakat yang pelaksanaannya dapat diganti dengan “penyambleh”.
3. Apabila dilakukan dengan “Perang sata” (adu ayam), harus memenuhi syarat sbb :
- Upacara yang boleh disertai “Perang sata” adalah upacara Bhuta Yajña sebagai berikut : Caru Panca Kelud (Panca Sanak Madurgha), Caru Rsi Ghana, Caru Balik Sumpah, Tawur Agung, Tawur Labuh Gentuh, Tawur Panca Walikrama, Tawur Ekadasa Rudra.
- Pelaksanaannya dilakukan di tempat upacara pada saat mengakhiri upacara tersebut.
- Diiringi dengan “adu tingkih” (kemiri), adu pangi, adu telur, adu kelapa, dilengkapi andel-andel serta upakaranya.
- Pelaksananya adalah Sang Yajamana (yang mempersembahkan upacara) dengan berbusana pakaian upacara sembahyang.
- Perang sata maksimal dilakukan “Telung Prahatan” (3 sahet), tidak disertai taruhan (taruhan hanya memakai “pis bolong”.
4 Selain ketentuan butir 1,2,3 di atas, merupakan suatu penyimpangan.
Dampak judi menimbulan kegelapan (Awidya), kalau sudah “panas" (jengah bhs Bali), apapun bisa dipertaruhkan: mobil, sepeda motor, bahkan istri bisa dipertarukan seperti yang terjadi dalam Mahabhara, dimana Panca Pandawa sampai mempertaruhkan Drupadi - istri sendiri melawan Korawa.
Menurut sastra Hindu, kalah atau menang dalam perjudian membawa munculnya sadripu (enam musuh) pada diri seseorang. Sadripu adalah :
1. Kama (nafsu tak terkendali),
2. Lobha (serakah),
3. Kroda (kemarahan),
4. Mada (kemabukan),
5. Moha (sombong), dan
6. Matsarya (cemburu, dengki, irihati).
Dan yang kalah menguatkan: Kroda (kemarahan) dan Matsarya (cemburu, dengki, iri hati).
Dalam Bhagawadgita III.37 disebutkan sbb :
"Yajnarthat Karmano Nyatra, Loko Yam Karmabandhanah, Tadartham Karma Kaunteya, Muktasangah Samacara"
Terjemahan :
“Kuatnya keinginan dan kemarahan yang lahir dari nafsu rajaguna menjadikan lobha dan berdosa yang merupakan musuh di dunia”
Pelaksanaan upacara tabuh rah yang berifat “sakral” cendrung berubah menjadi judi sabungan ayam dengan dalih tabuh rah. Kenyataan di masyarakat dengan dalih untuk penggalian dana pembangunan pura dll maka diadakan tajen, dana punia melalui pungutan karcis masuk dan sebagainya.
Bila judi berupa tajen kini banyak dimasyarakat, bukanlah berarti bahwa umat Hindu tidak taat melaksanakan agamanya, melainkan karena kurang dipahaminya tatwa (filsafat). Untuk memperkecil dan mencegah berkembangnya judi tajen tersebut, peran aparat kepolisian sangat diperlukan, untuk menegakkan hukum, khususnya undang-undang larangan judi di Bali.
Tajen Saat Galungan
Makna Hari Galungan adalah peringatan kemenangan dharma melawan adharma. Perang dharma melawan Adharma terus berkecamuk dlm diri manusia. Secara spiritual musuh2 manusia itu disimbulkan dengan Sang Bhuta Kala.
Tiga hari sebelum hari raya Galungan, yaitu mulai Minggu pahing wuku Dungulan, umat Hindu mulai digoda oleh Bhuta Kala Tiga yaitu : Kala Dungulan (nafsu ingin merebut milik orang lain), Kala Galungan (nafsu ingin selalu menang dengan melakukan segala cara), dan Kala Amangkutat (nafsu ingin berkuasa), mulai :
- Penyekeban : Jatuh pada Minggu Pahing wuku Dungulan. Hari Penyekeban ini memiliki makna filosofis untuk “nyekeb indriya” yang berarti mengekang diri agar tidak melakukan hal-hal yang tidak dibenarkan oleh agama, pada hari penyekeban ini Sang Bhuta Dungulan (nafsu ingin merebut milik orang lain) mulai menyerang manusia.
- Penyajan : Jatuh Senin Pon wuku Dungulan. Kata penyajan dari kata "saja" yang dalam bahasa Bali artinya "benar, serius". Hari penyajan ini memiliki filosofi memantapkan diri untuk merayakan hari raya Galungan. Pada hari ini umat digoda oleh Sang Bhuta Galungan (nafsu ingin selalu menang dengan melakukan segala cara).
- Hari Penampahan : jatuh Selasa Wage wuku Dungulan. "Penampahan" simbol dari membunuh (nampah) kekuatan adharma --Sang Butha Amangkurat yg mengganggu manusia. Setelah semua Bhuta lenyap sebagai simbol dari musnahnya nafsu hewani, baru kita mendirikan penjor, simbol kemenangan dengan hati suka ria bergembira.
- Hari Raya Galungan : jatuh pada Budha Kliwon Dungulan. Pada hari Galungan ini umat merayakan kemenangan melawan Sang Kala Tiga (Tiga nafsu tsb diatas) yang telah mengganggu sebelumnya. Karena sudah menang perang Umat Hindu merayakannya sebagai peringatan kemenangan Dharma melawan Adharma dengan melakukan persembahyangan di rumah masing-masing, hingga ke Pura sekitar lingkungan sebagai ungkapan puji syukur kepada Ida Hyang Widhi Wasa.
Namun seperti kita ketahui bersama, bahwa pada saat Hari Raya Galungan justru Judi Tajen semakin marak dibandingkan hari-hari biasa, bahkan berpakaian seragam sebagaimana layaknya pakaian ke Pura. Apakah berarti tdk menang melawan Sang Kala Tiga (nafsu-nafsu) diatas? Apakah kalau kalah melawan Sang Kala Tiga (nafsu-nafsu), berarti tidak merayakan kemenangan dharma melawan Adharma karena masih dikuasai nafsu?
Ya..ini pilihan dalam menjalani hidup, silakan.. yang senang judi tajen jangan mengejek yang tidak senang, begitu sebaliknya yang tidak senang jangan mengejek yang senang, kesenangan orang berbeda-beda, dan semua karma kembali kepada diri masing2.🙏
Tidak ada komentar:
Posting Komentar