Proses Pengadukan Lautan Susu ("Samudramantana")
Samudramanthana berarti "pengadukan samudra", sedangkan Kṣirasāgaramanthana berarti "pengadukan lautan susu (kṣirasāgara adalah lautan susu).
Dikisahkan para dewa dan asura (raksasa) bersidang di puncak Gunung Meru. Mereka berkumpul untuk merundingkan cara mendapatkan Tirta Amritha yaitu air suci yang dapat membuat hidup menjadi abadi. Sebuah kesepakatan yang tidak mudah, namun kedua pihak memiliki tekad yang kuat untuk mencapai tujuan bersama. Akhirnya, mereka sepakat untuk bekerja sama mencari lokasi air suci tersebut, yang ternyata atas petunjuk Dewa Wisnu Tirta Amrita terletak didasar Laut yg dikenal dengan Lautan Susu (Ksirarsagara/Ksirarnawa).
Para dewa dan asura (raksasa) mengaduk lautan susu "Ksirarnawa" dengan mempergunakan Gunung Mandara sebagai tongkat pengaduk, dan naga Basuki dipakai melilit gunung Mandara. Agar gunung Mandara tidak jatuh Dewa Wisnu menjelma turun ke dunia dalam wujud Kurma Awatara, awatara dalam bentuk kura-kura raksasa untuk menopang Gunung Mandara.
Para asura memegang bagian kepala Naga Basuki, sementara para dewa memegang bagian ekornya. Para dewa dan para asura bekerja sama menarik tubuh Naga Basuki dengan gerakan seperti menarik tambang, untuk menggoyang gunung Mandara, sehingga Gunung Mandara berputar dan mengaduk lautan susu "Ksirasagara" atau "Ksirarnawa".
Setelah diaduk, pertama kali muncul racun Halahal mematikan, yang bisa memusnahkan alam semesta. Untuk menyelamatkan dunia dari racun ini, Dewa Siwa meminum racun tersebut, menyebabkan leher Dewa Siwa berwarna biru sehingga dikenal sebagai "Nilakantha".
Setelah itu, muncul berbagai harta karun dan makhluk seperti : pertama yang muncul dari air adalah sapi Surabhi, yang lebih dikenal sebagai Kamadhanu, Setelah itu, muncul kuda Uchchaihshrava dari ombak. Kuda ini berkepala tujuh dan seputih "bulan yang bersinar". Muncul permata Kaustubha - batu rubi yang memancarkan cahaya ke langit, Setelah itu, muncul pohon Kalpavriksha atau pohon parijata, para bidadari, Lakshmi (dewi kekayaan), Baruni, dewi anggur, Bulan.
Bulan diambil oleh Siwa, dan itulah sebabnya, dalam lukisan dan penggambaran Siwa, kita melihat bulan sabit menghiasi kepala Dewa Siwa, muncul Cangkang kerang Panchajanya dan busur Sharanga, Dan akhirnya, muncul Dhanwantari - dewa penyembuh, membawa kendi berisi Tirta Amritha.
Perebutan Tirta Amritha
Begitu para Asura melihat guci Amrita, mereka berlari ke arah Dhanvantari dan merebutnya. Para asura menginginkan Tirta Amrita tsb menjadi miliknya, terjadi perseteruan antara para dewa dengan asura memperebutkan tirta Amritha. Tirta Amritha jatuh ke tangan asura.
Untuk menyelesaikan masalah ini Para dewa memohon bantuan kepada Wisnu, kemudian Dewa Wisnu berubah wujud menjadi Dewi Mohini - seorang dewi yang sangat cantik dan mempesona. Mohini menggunakan kecantikan dan daya pikatnya untuk mengelabui para asura, sehingga ia berhasil mengambil kembali kendi yang berisi Tirta Amritha, dan membawanya dengan cepat ke hadapan para dewa.
Setelah para dewa mendapatkan tirta Amritha, mereka segera meminumnya secara bergantian. Saat para dewa membagi tirta Amritha, salah satu asura bernama Swarbanu yang merupakan anak Sang Wipracitti dengan Sang Singhika menyamar sebagai salah satu dewa dan berhasil menyusup ke barisan para dewa. Ia berhasil meneguk seteguk tirta Amritha. Namun, Dewa Surya (matahari) dan Dewa Candra (bulan) mengenali penyamaran Swarbanu sehingga mereka segera melaporkannya kepada Dewa Wisnu yang berwujud Mohini.
Dengan cepat, Mohini kembali menjadi Dewa Wisnu segera menghunus Cakra dan memenggal kepala Swarbanu sebelum tirta amerta sepenuhnya bisa melewati tenggorokannya. Meski tubuhnya terpisah, kepala Swarbanu tetap hidup karena tirta Amritha yang sempat diminumnya, hanya badannya saja yang diam tak bergerak. Kepalanya disebut "Rahu" sedangkan badannya disebut "Ketu" Setelah membagikan seluruh tirta amerta kepada para dewa, Wisnu menghilang meninggalkan para asura.
Rahu dan Ketu masih berseteru dengan Surya dan Chandra hingga kini. Oleh karena itu, beberapa kali dalam setahun, Rahu dan Ketu akan menutupi matahari dan bulan. Inilah yang kita kenal sebagai gerhana matahari dan bulan. Rahu dan Ketu bahkan termasuk di antara sembilan Navagraha (sembilan dewa yang mewakili planet).***
Kenapa Dewa Siwa Mengalungkan Ular di Lehernya?
1. Suatu ketika, ketika spesies ular berada di ambang kepunahan, mereka mendatangi Dewa Siwa untuk meminta perlindungan.
Dewa Siwa melindungi mereka dengan mengizinkan mereka tinggal di Kailasa. Namun, karena cuaca dingin di Gunung Kailasa, ular-ular mulai mendekati tubuhnya untuk menghangatkan diri.
Melihat hal ini, Dewa Siwa memutuskan untuk mengalungkan ular di lehernya agar terasa hangat.
2. Kisah populer lain yang terkait dengan ini adalah selama Samudra Manthan (pengadukan lautan susu).
Ketika para dewa dan para asura (raksasa) mengaduk lautan susu (Ksirarnawa) dengan Gunung Mandara digunakan sebagai tongkat pengaduk, dan naga Basuki dipakai melilit gunung Mandara, banyak hal yang muncul salah satunya racun Halahal. Racun itu begitu kuat sehingga dapat menghancurkan seluruh ciptaan.
Hal ini membuat para dewa dan asura ketakutan, dan mereka bingung siapa yang akan menelan racun mematikan ini.
Lalu para dewa dan asura menghampiri Dewa Siwa untuk meminta perlindungan. Demi melindungi alam semesta, Dewa Siwa meminum racun itu.
Terhadap kisah ini ada dua versi.
Versi pertama, Naga Basuki terinspirasi oleh pengorbanan Siwa yang meminum racun itu, sehingga Naga Basuki juga meminum racun tersebut. Sebagai penghargaan atas pengabdian Naga Basuki, Siwa menghiasi dirinya dengan Naga Basuki sebagai kalung di leherNya.
Versi kedua, ketika Dewa Siwa meminum racun tersebut, Dewi Parvati - pendamping Dewa Siwa mencengkram leher Dewa Siwa agar tidak menelan racun tersebut. Karena mustahil bagi seorang dewi untuk memegangi lehernya (Siwa) selamanya, Parvati kemudian mengikatkan ular di leher Siwa untuk mencegahnya menelan racun. Akibat meminum racun tsb, leher Dewa Siwa membiru sehingga dikenal sebagai Neelkantha (yang berleher biru).
3. Ular menggambarkan kekuatan Kundalini. Ia digambarkan sebagai ular melingkar yang tertidur di cakra Muladhara semua manusia.
Ia naik ke atas ketika seseorang memulai perjalanan spiritual dan menjadi semakin berorientasi pada keilahian.
Ular yang melingkari leher Siwa menggambarkan bahwa Kundalini dalam dirinya sudah bangkit sempurna dan turut aktif dalam kegiatan ketuhanan.***
Makna Ular Di Leher Siwa
Makna simbolis terkait ular yang melingkari leher Dewa Siwa adalah melambangkan siklus kelahiran, kematian; dan kelahiran kembali yang tak berujung. Ular berganti kulit ketika kulit lamanya telah tumbuh, secara berkala selama masa hidupnya. Hal ini secara simbolis melambangkan siklus kelahiran, kematian, dan kelahiran kembali.
Beberapa orang percaya bahwa ular tersebut memiliki tiga lingkaran di leher Dewa Siwa, yang masing-masing mewakili masa lalu, masa kini, dan masa depan. Ini menunjukkan bahwa ia melampaui waktu dan mengendalikannya. Itulah sebabnya Dewa Siwa juga dikenal sebagai "Mahakaal" – yang berada di atas dan melampaui Kaal (waktu). Ular tersebut juga digambarkan melihat ke sisi kanannya. Ini menandakan bahwa hukum akal budi dan keadilan Tuhan yang abadi menjaga keteraturan alam semesta.
Secara simbolis, ular melambangkan segala nafsu dan keinginan dan ego. Dengan mengalungkan ular di lehernya, Siwa menyampaikan kepada semua penyembahnya bahwa ia telah menaklukkan semua keinginannya, nafsu dan ego. Ia juga memiliki kendali penuh atas Prakriti atau Maya (ilusi).
Ular dianggap reptil berbahaya dan ditakuti oleh banyak dari kita. Dewa Siwa menunjukkan kepada kita bahwa Ia mengendalikan rasa takut dan kematian dengan mengenakan ular sebagai kalungNya.***