Jumat, 25 April 2025

TAJEN SAAT GALUNGAN

Tajen dan Tabuh Rah

Foto hanya Ilustrasi, Sumber Internet

Tajen

Tajen atau sabungan ayam nyaris tak dapat dilepaskan dari kehidupan orang Hindu - Bali. Banyak sekali persepsi masyarakat Hindu-Bali yang memandang bahwa tajen merupakan budaya yang tidak bisa dipisahkan dengan tatanan kehidupan masyarakat Bali; dan ada juga yang memberikan pandangan bahwa tajen merupakan persyaratan dari yadnya dan merupakan budaya yang ada sejak dahulu.

Memang tidak bisa dipungkiri dari sudut pandang  berbagai kalangan masyarakat Bali, bila kita amati apabila ada upacara-upacara yadnya disuatu daerah atau banjar-banjar di Bali, tajen tak lepas dari kegiatan tersebut, meskipun terkadang orientasinya bukan hanya sekedar upacara namun dijadikan sebagai wadah hiburan oleh masyarakat Bali dan identik dengan sebuah taruhan.

Secara logika sebenarnya tabuh rah tidak sama dengan tajen. Tabuh rah adalah bagian dari upacara agama khususnya dalam upacara pacaruan (bhuta yadnya). Setelah berabad-abad dimana seiring perubahan pola pikir manusia dan budaya maka tabuh rah mengalami pergeseran makna dan tujuannya menjadi tajen. Tajen yang sekarang dilakukan masyarakat Bali  merupakan sebuah taruhan dengan menggunakan materi atau uang, sehingga merupakan perjudian murni - bukan yadnya.

Adanya larangan tajen kerena sering dikaitkan dengan judi menyebabkan tajen kemudian dilakukan secara sembunyi-sembunyi oleh warga Bali, dan tidak tertutup kemungkinan juga ada main mata dengan oknum aparat kepolisian.

Dalam Manawa Dharmasastra V.45, tentang hiburan dengan penyiksaan binatang disebutkan sbb :

Yo’himsakaani bhuutani hina. Tyaatmasukheashayaa, sa jiwamsca mritascaiva na, Kvacitsukhamedhate”.

Artinya:

“Ia yang menyiksa mahluk hidup yang tidak berbahaya dengan maksud untuk mendapatkan kepuasan nafsu untuk diri sendiri, orang itu tidak akan pernah merasakan kebahagiaan. Ia selalu berada dalam keadaan tidak hidup dan tidak pula mati.”


Tabuh Rah

Tabuh rah adalah taburan darah binatang korban yang dilaksanakan dalam rangkaian upacara agama (yadnya). Upacara yang bisa dilaksanakan tabuh rah juga tidak semua upacara, hanya upacara - upacara pecaruan. Tabuh rah menurut Hindu merupakan rangkaian yadnya diatur dalam sastra sebagai berikut :


1.  Prasasthi batur Abang A Tahun caka 933 isinya :

“Mwang yan pakarya, masanga kunang wgila ya manawunga makantang tlung parahatan ithaninya tan pamwita, tan pawwta ring nayaka saksi.”

Artinya :

Lagi pula mengadakan upacara upacara misalnya tawur kesanga, patutlah mengadakan sabungan ayam, tiga angkatan (3 saet / 3 putaran) di desanya, tidaklah minta ijin, tidaklah memberitahukan kepada Pemerintah.


2.  Prasasthi Batuan tahun caka 944 berbunyi : 

Kunang yang manawung ing pangudwan makatang tlung marahatan tan pamwinta mayaka sanksi mwang sawung tangur, tan knana minta pamli”.

Artinya :

Adapun bila mengadu ayam ditempat suci dilakukan tiga saet tidak minta ijin kepada Pemerintah dan juga kepada Pengawas sabungan, tidak dikenakan pajak.


3.  Dalam rontal Ciwa Tatwa purana isinya : 

Mwah ri tileming kesanga,hulun magawe yoga, teka wenang wang ing madhya magawe tawur kasowang an den hana pranging sata wenang nyepi sadina ika labian sang kala daca bumi, yanora samangkana rug ikang ing madya”.

Artinya :

Lagi pada tilem kesanga aku (Dewa Ciwa) mengadakan yoga, berkewajibanlah orang di bumi ini membuat persembahan masing -masing, lalu adakan pertarungan ayam dan nyepi sehari, ketika itu berhidangan sang kala daca bhumi, jika tidak rusaklah manusia di bumi.

Jika ditinjau dari rontal tersebut diatas, jelas bahwa upacara tabuh rah hanya dilakukan untuk bhuta yadnya, pelaksanaannya tidak perlu mendapat ijin dari pemerintah, dan dilakukan 3 saet.

Pada hakekatnya setiap bentuk bhuta yadnya mempergunakan darah binatang sebagai persembahan kepada bhuta kala; yaitu bhuta bhucari, kala bhucari dan durga bhucari, tidak dipergunakan pada upacara Pitra Yadnya dan Dewa Yadnya. 

Binatang yang dijadikan yadnya tersebut dipercaya akan mengalami proses peningkatan (penyupatan) jiwa pada reinkarnasi selanjutnya menjadi binatang lain dengan derajat lebih tinggi atau manusia.


Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat melalui beberapa kali seminar kesatuan tafsir terhadap aspek - aspek agama Hindu, dengan melibatkan berbagai pakar, menetapkan pelaksanaan “tabuh rah” dalam rangkaian Bhuta Yadnya, sebagai berikut :

1.  Tabuh Rah dilaksanakan dengan Panyambleh (anetak gulu ayam) disertai dengan upakara Yadnya (sesajen).

2.  Tabuh Rah dalam bentuk “perang sata” (adu ayam) adalah satu “dreśta” (tradisi) yang berlaku di masyarakat yang pelaksanaannya dapat diganti dengan “penyambleh”.

3.  Apabila dilakukan dengan “Perang sata” (adu ayam), harus memenuhi syarat sbb :

  • Upacara yang boleh disertai “Perang sata” adalah upacara Bhuta Yajña sebagai berikut :  Caru Panca Kelud (Panca Sanak Madurgha), Caru Rsi Ghana, Caru Balik Sumpah, Tawur Agung, Tawur Labuh Gentuh, Tawur Panca Walikrama, Tawur Ekadasa Rudra.
  • Pelaksanaannya dilakukan di tempat upacara pada saat mengakhiri upacara tersebut.
  • Diiringi dengan “adu tingkih” (kemiri), adu pangi, adu telur, adu kelapa, dilengkapi andel-andel serta upakaranya.
  • Pelaksananya adalah Sang Yajamana (yang mempersembahkan upacara) dengan berbusana pakaian upacara sembahyang.
  • Perang sata maksimal dilakukan “Telung Prahatan” (3 sahet), tidak disertai taruhan (taruhan hanya memakai “pis bolong”.

4   Selain ketentuan butir 1,2,3 di atas, merupakan suatu penyimpangan.


Dampak judi menimbulan kegelapan (Awidya), kalau sudah “panas" (jengah bhs Bali), apapun bisa dipertaruhkan: mobil, sepeda motor, bahkan istri bisa dipertarukan seperti yang terjadi dalam Mahabhara, dimana Panca Pandawa sampai mempertaruhkan Drupadi - istri sendiri melawan Korawa.


Menurut sastra Hindu, kalah atau menang dalam perjudian membawa munculnya sadripu (enam musuh) pada diri seseorang. Sadripu adalah :

1. Kama (nafsu tak terkendali),
2. Lobha (serakah),
3. Kroda (kemarahan),
4. Mada (kemabukan),
5. Moha (sombong), dan
6. Matsarya (cemburu, dengki, irihati).

Dan yang kalah menguatkan: Kroda (kemarahan) dan Matsarya (cemburu, dengki, iri hati).

Dalam Bhagawadgita III.37 disebutkan sbb :

"Yajnarthat Karmano Nyatra, Loko Yam Karmabandhanah, Tadartham Karma Kaunteya, Muktasangah Samacara"

Terjemahan :

“Kuatnya keinginan dan kemarahan yang lahir dari nafsu rajaguna menjadikan lobha dan berdosa yang merupakan musuh di dunia”

Pelaksanaan upacara tabuh rah yang berifat “sakral” cendrung berubah menjadi judi sabungan ayam dengan dalih tabuh rah. Kenyataan di masyarakat dengan dalih untuk penggalian dana pembangunan pura dll maka diadakan tajen, dana punia melalui pungutan karcis masuk dan sebagainya.

Bila judi berupa tajen kini banyak dimasyarakat, bukanlah berarti bahwa umat Hindu tidak taat melaksanakan agamanya, melainkan karena kurang dipahaminya tatwa (filsafat). Untuk memperkecil dan mencegah berkembangnya judi tajen tersebut, peran aparat kepolisian sangat diperlukan, untuk menegakkan hukum, khususnya undang-undang larangan judi di Bali.

Foto hanya Ilustrasi, Sumber Internet.

Tajen Saat Galungan

Makna Hari Galungan adalah peringatan kemenangan dharma melawan adharma. Perang dharma melawan Adharma terus berkecamuk dlm diri manusia.  Secara spiritual musuh2 manusia itu disimbulkan dengan Sang Bhuta Kala. 

Tiga hari sebelum hari raya Galungan, yaitu mulai Minggu pahing wuku Dungulan, umat Hindu mulai digoda oleh Bhuta Kala Tiga yaitu : Kala Dungulan (nafsu ingin merebut milik orang lain), Kala Galungan (nafsu ingin selalu menang dengan melakukan segala cara), dan Kala Amangkutat (nafsu ingin berkuasa), mulai :

  1. Penyekeban : Jatuh pada Minggu Pahing wuku Dungulan. Hari Penyekeban ini memiliki makna filosofis untuk “nyekeb indriya” yang berarti mengekang diri agar tidak melakukan hal-hal yang tidak dibenarkan oleh agama, pada hari penyekeban ini Sang Bhuta Dungulan (nafsu ingin merebut milik orang lain) mulai menyerang manusia.
  2. Penyajan  : Jatuh Senin Pon wuku Dungulan. Kata penyajan dari kata "saja" yang dalam bahasa Bali artinya "benar, serius". Hari penyajan ini memiliki filosofi memantapkan diri untuk merayakan hari raya Galungan. Pada hari ini umat digoda oleh Sang Bhuta Galungan (nafsu ingin selalu menang dengan melakukan segala cara).
  3. Hari Penampahan : jatuh Selasa Wage wuku Dungulan. "Penampahan" simbol dari membunuh (nampah) kekuatan adharma --Sang Butha Amangkurat yg mengganggu manusia. Setelah semua Bhuta lenyap sebagai simbol dari musnahnya nafsu hewani, baru kita mendirikan penjor, simbol kemenangan dengan hati suka ria bergembira.
  4. Hari Raya Galungan : jatuh pada Budha Kliwon Dungulan. Pada hari Galungan ini umat merayakan kemenangan melawan Sang Kala Tiga (Tiga nafsu tsb diatas) yang telah mengganggu sebelumnya. Karena sudah menang perang Umat Hindu merayakannya sebagai peringatan kemenangan Dharma melawan Adharma dengan melakukan persembahyangan di rumah masing-masing, hingga ke Pura sekitar lingkungan sebagai ungkapan puji syukur kepada Ida Hyang Widhi Wasa.

Namun seperti kita ketahui bersama, bahwa pada saat Hari Raya Galungan  justru Judi Tajen semakin marak dibandingkan hari-hari biasa, bahkan berpakaian seragam sebagaimana layaknya pakaian ke Pura. Apakah berarti tdk menang melawan Sang Kala Tiga (nafsu-nafsu) diatas? Apakah kalau kalah melawan Sang Kala Tiga (nafsu-nafsu), berarti tidak merayakan kemenangan dharma melawan Adharma karena masih dikuasai nafsu? 

Ya..ini pilihan dalam menjalani hidup, silakan.. yang senang judi tajen jangan mengejek yang tidak senang, begitu sebaliknya yang tidak senang jangan mengejek yang senang, kesenangan orang berbeda-beda, dan semua karma kembali kepada diri masing2.🙏


Foto hanya Ilustrasi, Sumber Internet
---------

Senin, 21 April 2025

MAKNA GALUNGAN

 BETULKAH GALUNGAN ADA KAITANNYA DENGAN TOKOH "MAYADANAWA?"

Foto hanya ilustrasi, Sumber Internet


Galungan adalah peringatan kemenangan Dharma melawan Adharma.

Suatu hari "X" diperingati sebagai hari khusus, lebih-lebih sebagai hari yang disucikan, biasanya selalu berhubungan langsung dengan satu atau lebih peristiwa besar yang dianggap bertendensi sakral transendental, misalnya hari raya Waisak. Umat Buddhis seluruh dunia merayakannya karena pada hari yang sama (Purnama Waisak) terjadi tiga keajaiban yang sangat suci dalam kesadaran agnostic Buddis: lahirnya Buddha; saat Beliau menerima Wahyu (pandangan terang); dan ketika Sang Guru Batin umat manusia ini kembali ke alam tanpa sifat atau Para Nirwana. Di Indonesia hari ini disebut Tri Suci Waisak.

Contoh lain dalam agama Kristen, umat Nasrani dimanapun mereka bermukim, memperingati Hari Lahirnya Tuhan Yesus sebagai hari suci, hari ini disebut Natal. Tentu contoh lain bisa dijajarkan disini kalau mau.

Hari Raya Galungan adalah hari memperingati kemenangan Dharma melawan Adharma. Inilah definisi yg sudah umum terjadi, yang biasanya dikaitkan dengan "tokoh Mayadanawa" yang dilukiskan  seorang raja yang jahat.

Apakah Mayadanawa merupakan tokoh sejarah atau fiksi? Terkaitkah Galungan dengan kisah Mayadanawa?

Sampai saat ini belum ditemukan prasasti (bukti sejarah berupa keluaran resmi raja) dari masa Bali Kuna yang menyebutkan Mayadanawa sebagai sosok sejarah.

Namun demikian menarik kita simak, ada beberapa versi cerita yang tidak berlandaskan prasasti muncul, namun berkembang di masyarakat Bali, yang isinya menyerupai Mayadanawa dengan tokoh-tokoh sejarah seperti Sri Jaya Pangus, Dalem Bekung dll.
Ketika sosok “asing” seperti Mayadanawa, yang tak disebutkan dalam prasasti, namanya terkait dengan tokoh sejarah, tokoh Mayadanawa pun menjadi seolah-olah “murni” tokoh sejarah.

Atau apakah Galungan memperingati kemenangan Dharma melawan Adharma - nun jauh disana - dalam perang suci mahadahsyat di khurusetra, India, lima ribu tahun yang lalu? Perang dari satu keturunan Bharata ini berlangsung selama 18 hari, dan riwayat yang menuturkan asal usul keluarga ini juga terdiri atas 18 buku (Astadasaparwa).

Lagi, apakah hari Buda Kliwon Dungulan ini adalah saat ketika dunia  ini diciptakan oleh Ida Hyang Widhi; dan  Galungan lantas diperingati Weton Gumi?

Inilah belum satu versi, masih perlu penelusuran lebih lanjut. Namun penulis sedikitpun tidak menyangsikan bahwa Budha Kliwon Dungulan yang dikenal dengan Hari Galungan adalah Hari Suci, dan penulis merayakannya.

Galungan adalah bahasa Jawa kuno terbentuk dari 3 suku kata : "Gal" (kuat/jaya = kemenangan), "Lung" (melindungi/merestui), "An" (sesudahnya/seterusnya). Gal + Lung + An = Gallungan (dengan dua "l"). Ternyata secara arfiah Galungan adalah sebuah doa: "Semoga Tuhan terus melindungi kemenangan dharma"! 

Dengan ini Galungan tampil dalam dua fungsi: sebagai doa "universal" dan sebagai media "kebaktian umum".
Sebagai media kebaktian umum umat Hindu merayakan kemenangan dharma melawan Adharma yg terus terjadi di dalam hati setiap orang.

Meski sejarah perayaan Galungan ini tidaklah diketahui secara pasti, namun menurut Lontar Purana Bali Dwipa, Hari Raya Galungan pertama kali dirayakan pada hari Purnama Kapat (Budha Kliwon Dungulan) Tahun 882 Masehi atau tahun Saka 804.

Tiga hari sebelum hari raya Galungan, yaitu mulai Minggu pahing wuku dungulan, manusia (apakah umat hindu saja dimaksud?) mulai digoda oleh Bhuta Kala Tiga yaitu : Kala Dungulan (nafsu ingin merebut milik orang lain), Kala Galungan (nafsu ingin selalu menang dengan melakukan segala cara), dan Kala Amangkutat (nafsu ingin berkuasa), mulai :

1. Penyekeban
Penyekeban ini dirayakan setiap Minggu Pahing wuku Dungulan. Hari Penyekeban ini memiliki makna filosofis untuk “nyekeb indriya” yang berarti mengekang diri agar tidak melakukan hal-hal yang tidak dibenarkan oleh agama, pada hari penyekeban ini Sang Bhuta Dungulan (nafsu ingin merebut milik orang lain) mulai menyerang manusia.

2. Penyajan 
Penyajan jatuh setiap Senin Pon wuku Dungulan. Kata penyajan dari kata "saja" yang dalam bahasa Bali artinya "benar, serius". Hari penyajan ini memiliki filosofi memantapkan diri untuk merayakan hari raya Galungan. Menurut kepercayaan, pada hari ini umat digoda oleh Sang Bhuta Galungan (nafsu ingin selalu menang dengan melakukan segala cara).

3. Hari Penampahan
Penampahan dilakukan sehari sebelum Galungan, tepatnya pada hari Selasa Wage wuku Dungulan. Menurut kepercayaan, pada hari ini umat akan digoda oleh Sang Bhuta Amangkurat (nafsu ingin berkuasa). 
Setelah semua Bhuta lenyap (terkalahkan) sebagai simbol dari musnahnya nafsu hewani, baru kita mendirikan penjor, simbol kemenangan dengan hati suka ria bergembira.

4. Hari Raya Galungan
Hari Raya Galungan jatuh pada Budha Kliwon Dungulan. Pada hari Galungan ini umat merayakan kemenangan melawan Sang Kala Tiga (Tiga nafsu tsb diatas) yang telah mengganggu sebelumnya. Karena sudah menang perang, Umat Hindu merayakannya sebagai peringatan kemenangan Dharma melawan Adharma dengan melakukan persembahyangan di rumah masing-masing, hingga ke Pura sekitar lingkungan.

Foto hanya ilustrasi, sumber Internet.



Minggu, 06 April 2025

GAYATRI MANTRAM DIWAHYUKAN MELALUI VISVAMITRA

Gambar Dewi Gayatri, Sumber : Internet.


Viswamitra adalah seorang maharaja, suatu hari Beliau bersama tentaranya berburu di hutan Himalaya. Setelah lama berburu, Beliau dan tentaranya merasa lapar. Di dalam hutan Beliau menemukan sebuah pertapaan Brahmarsi Vasistha. (Brahmarsi adalah orang suci yang sudah memiliki kesadaran kosmis).


Maharaja Viswamitra menyampaikan kepada Brahmarsi Vasistha bahwa, beliau dan tentaranya lapar memerlukan makanan dan istirahat. Rsi Vasistha segera memanggil Kamandhanu (sapi nan berlimpah), dan meminta kepada sapi tersebut untuk menyediakan makanan untuk seluruh prajurit dan Raja. Kamandhanu segera menghasilkan seluruh makanan. Semuanya terkagum-kagum atas kemampuan Kamandhanu ini. Maharaja Viswamitra berkata kepada Rsi Vasista,

"Oh maharsi yang saya hormati, saya mengucapkan bayak terima kasih kepada sapi Anda. Mengapa harus Anda yang memiliki sapi seperti itu, yang mampu memberikan makan untuk jutaan orang hanya dengan kekuatan kemauannya saja. Hanya ada beberapa saja yang hidup di pertapaan ini, sedangkan saya sebagai raja harus memberikan makan kepada banyak orang di istana saya. Sapi ini akan sangat bermanfaat buat saya. Saya akan memberikan Anda seribu sapi yang lain sebagai pengganti sapi"

Vasistha bersabda,

"O raja, sapi ini adalah sapi yang khusus yang dikirim oleh Tuhan dari tempatnya Kebenaran. Hanya yang sudah dapat merealisasikan Brahman atau Kebenaran sajalah yang diberikan sapi seperti ini. Kalaupun Anda menukar dengan seluruh kerajaan Anda, saya tidak akan berpisah dengan dia”


Setelah permintaannya ditolak, Maharaja Visvamitra menjadi marah, dan memerintahkan kepada orang-orangnya untuk mengambil sapi secara paksa. Kamandhanu menciptakan ribuan makhluk angkasa yang membawa senjata dan bertempur dengan pasukan Maharaja Visvamitra. Dalam pertempuran itu dimenangkan oleh Rsi Vasistha. Akhirnya Maharaja Viswamitra mengakui kekalahannya, dan memohon ampun kepada Rsi Vasista dan Rsi Vasistha memaafkannya.


Maharaja Visvamitra masih tetap merasa dihina. Kemudian Maharaja Visvamitra meninggalkan istananya dan pergi ke Gunung Himalaya untuk bertapa, karena Ia ingin membalas dendam kepada Maharsi Vasistha.


Untuk mengganggu tapas Visvamitra, Indra mengutus seorang bidadari cantik bernama Menaka untuk menyanyi dan menari di hadapan Visvamitra. Menaka berhasil mengganggu tapasnya dan menarik hatinya. Visvamitra menjadi korban dari rajas (nafsu) dan hidup berbahagia dengan Menaka selama setahun di hutan, dan melahirkan seorang bayi perempuan yang mereka beri nama Sakuntala.


Akhirnya Visvamitra paham akan kekuatan maya dan pergi ke hutan lainnya dengan meninggalkan Menaka dan bayinya. Bidadari Menaka kemudian kembali ke swargaloka dengan meninggalkan bayinya di hutan. Rsi Kanva yang sedang berkelana mendengar tangis bayi Sakuntala kemudian bayi itu di bawan kepertapannya.


Kali ini Visvamitra kembali melakukan tapasnya selama beberapa tahun. Dia berdiri diatas satu kaki dengan kedua tangan yang menjulang tinggi dan semedhi atas Brahman. Dunia ketiga dicapainya melalui api yoga dari tapasnya. Indra mengirim lagi bidadari cantik bernama Rambha untuk mengganggu Visvamitra. Semedhi Visvamitra terganggu dan dia membuka matanya.


Karena ingat dengan kesalahan terdahulu, Visvamitra memutuskan untuk tidak tunduk kepada nafsu. Dia menjadi sangat marah kepada Rambha, karena dia tahu bidadari ini datang hanya untuk mengganggu tapasnya, akhirnya Rambha dikutuk supaya menjadi batu.


Kemudian Viswamitra melakukan tapas lagi di tempat yang lain yaitu di puncak Himalaya yang paling tinggi. Tapa yang dia lakukan kali ini sangat hebat, sehingga api yoga yang keluar dari mahkota kepalanya mencapai satya lokha, tempat bersemayamnya Brahma - Sang Pencipta. Brahma muncul  dihadapannya dan bersabda,

”Anakku, Aku senang atas tapamu. Kamu telah mencapai yang paling tinggi. Sekarang kau sudah seorang Maharsi. Kamu akan menjadi seorang Brahmarsi ketika kamu diberkati oleh Rsi Vasistha".


Setelah berkata demikian Brahma lenyap. Rsi Visvamitra menjadi sangat menyesal. Dia tidak mau mendapat berkat dari Vasistha. Bahkan Dia berpikir kalau Vasistha masih hidup, dia tidak akan menjadi Brahmarsi. Untuk itu Visvamitra memutuskan akan membunuh Vasistha. 

Pada tengah malam Visvamitra pergi ke pertapaan Vasistha sambil membawa batu besar. Dia menunggu Vasistha di pintu pertapaan yang biasa dilalui oleh Vasistha.

Gambar hanya Ilustrasi Sumber : Internet

Vasistha bercakap-cakap dengan istrinya Arundati. Vasistha berkata kepada istrinya,

”Arundati, Visvamitra adalah orang yang demikian agung sehingga dia sudah sangat dekat untuk memperoleh status sebagai Brahmarsi, tetapi...”

Arundati berkata,

”Tetapi mengapa? Apakah Anda tidak mau memberkatinya apabila dia memang pantas untuk menjadi Brahmarsi?”
”Tentu saja aku mau, kalau dia   datang kemari” jawab Vasistha.


Percakapan itu di dengar oleh Visvamitra, Setelah mendengar percakapan itu Visvamitra menjadi malu, dan membuang batunya, kemudian dia berlutut dihadapan Vasistha. Visistha bersabda kepada Visvamitra :

”Sekarang Anda sudah menjadi seorang Brahmarsi, Anda telah menunjukkan kepada dunia bahwa Anda mengalahkan nafsu, kemarahan, keterikatan, kesombongan, dan kecemburuan  melalui tapasya dan meditasi. Selamat brahmarsi Visvamitra!!”


Kemudian Vasistha menyentuh pusat di antara kedua alis mata Visvamitra. Ketika disentuh oleh Vasistha mata ketiganya terbuka dan Visvamitra melihat Gayatri Mantra yang suci dengan ke tujuh "vpahrti-nya" telah diwahyukan melalui Brahmarsi Viswamitra pada waktu itu, sbb :


"Om bhuh, Om bhvah Om svah
Om mahah.
Om Janah Om tapah
Om Satyam
Om tat savitur varenyam
Bhargo devasya dhimahi
Dhiyo yo nah pracodayat
Om apo jyotih
Raso-mritam brahma
Bhur bhuvah savr-om".


Mantram Gayatri disebut pula Annapurna ’Sang Ibu Sakti’ yang melindungi dan menggerakkan kehidupan jiwa (gaya), sehingga disebut pula Chandasaam Maathat ’Ibu seluruh Weda’; karena sifatnya yang melindungi itu disebut Gayatham Thrayathe Iti Gayatri ’melindungi orang yang mengucapkannya’ (Jendra, 1991 : 27).


Bhagawan Sri Sathya Sai Baba menganggap Mantram Gayatri mempunyai peran dan kedudukan yang sangat penting sehingga Beliau bersabda sbb :

”Kalian boleh melupakan/lupa mantram-mantram lainnya, asalkan tidak mengabaikan Gayatri Mantram, karena Gayatri adalah Sarva Devatha Svarupini ’perwujudan semua Dewa’ (dalam Jendra, 1991 : 28).


Gayatri Mantram pertama kali tercatat dalam Ṛg Veda III.62.10, serta dijelaskan dalam pustaka-pustaka suci Hindu lainnya, baik di dalam Catur Veda, Upaniṣad, maupun kitab-kitab Smṛti.


Gayatri Mantram ini digabung di tambahkan dengan beberapa bait mantra dari Narayana Upanisad, Siva Stawa, Mahadewa Suksma maka menjadi mantram Puja Trisandya yang diwarisi sampai sekarang (Jendra, 2006 : 6-7).

Sumber : Internet

Daftar Pustaka :

  • Jendra, I Wayan. 1991.  Kidung Suci  (Bhajan), Ungkapan Bahasa Bakti yang paling efektif dan Komunikatif pada Zaman Kali. Denpasar : Sai Study Group Bali.
  • Jendra, I Wayan. 1996. Variasi Bahasa, Kedudukan dan Peran Bhagawan Shri Sathya Sai Baba,  dalam Agama Hindu. Surabaya : Paramita.
  • Keshavadas, Sadguru Sant. 2007. Gayatri, Semedhi Mahatinggi. Cetakan keempat, Alih bahasa Agus S. Mantik. Denpasar: PT Pustaka Manik Geni.