Sejak
beberapa bulan lalu, Mei 2016 sampai sekarang Juli 2016 dan mungkin sampai
beberapa bulan kedepan, banyak diadakan upacara Mamukur/Ngaben massal (Kolektif)
di Negara Kab. Jembrana. Saat sekarang (Juli 2016) di Banyubiru - Negara
diselenggarakan Memukur/Ngaben massal yang diikuti sekitar 60 peserta. Memakur/Ngaben
massal sudah menjadi tren dikalangan masyarakat Bali, pelaksanaannya yang
berlangsung dengan biaya yang lebih hemat, namun tidak mengurangi tujuan
esensial dari Mamukur/Ngaben itu sendiri serta dapat mempererat tali
persaudaraan dan kebersamaan antara umat hindu di Negara, itulah yang
menyebabkan Mamukur/Ngaben massal sangat diminati.
Kematian bukanlah
akhir dari sebuah perjalanan hidup, tapi sebuah awal dari kehidupan lain.
Beberapa agama seperti Islam, Buddha, dan Hindu, percaya bahwa kematian adalah
saat di mana manusia menjalani sebuah kehidupan yang lebih kekal daripada yang
mereka alami di dunia. Itulah sebabnya upacara kematian dilakukan dengan
khidmat untuk mengantarkan jiwa orang yang meninggal ke alam akhirat.
Upacara untuk
mengantarkan jiwa menuju alam akhirat berbeda-beda tergantung dari kepercayaan
dan agama yang dianut. Dalam
Lontar Gayatri disebutkan
bahwa saat orang meninggal rohnya disebut Preta.
Untuk mencapai tahapan Dewa Pitara ada beberapa upacara
yang mesti dilakukan seperti upacara ngaben dan Mamukur. Kemudian setelah
melalui prosesi upacara ngaben dan Mamukur maka rohnya disebut Pitra .
Ngaben
adalah upacara penyucian atma (roh) fase pertama, secara etimologis Ngaben berasal dari kata api yang mendapat awalan nga, dan akhiran an, sehingga menjadi ngapian, yang disandikan menjadi ngapen yang lama kelamaan mengalami
pergeseran kata menjadi ngaben. Ada
yang mengatakan ngaben dari kata beya.
Dalam kalimat aktif menjadi meyanin, ngabeyain. Kata ini kemudian diucapkan dengan pendek, menjadi ngaben. Ada juga yang mengatakan dari kata ngabu (menjadi abu), dll.
Ngaben secara umum didefinisikan sebagai upacara pembakaran mayat. Meskipun ada juga ngaben yang
tidak dibakar seperti di Trunyam (di Trunyam mayat ditaruh begitu saja). Dalam Ngaben
(pembakaran mayat) ada 2 api yang dipakai, yaitu berupa api konkret (api sebenarnya)
dan api abstrak (api yang berasal dari Puja Mantra Pendeta yang memimpin
upacara).
Ngaben menurut keadaan jenasah ada 3 (tiga), yaitu :
- Sawa Wedana : Ngaben yang layon/jenasahnya langsung dibakar/kremasi.
- Asti Wedana : Ngaben dimana layon/jenasah orang yang diaben terlebih dahulu ditanam disetra, setelah beberapa lama (umumnya setelah satu tahun) tulang belulangnya diangkat untuk diaben.
- Svasta : Ngaben dimana layon/jenasah orang yang mau diaben tidak ditemukan/ lenyap atau hilang (misalnya karena perang, kecelakaan di laut dll).
Upacara Mamukur
Mamukur berasal dari kata bukur (bukur, yang
merupakan tempat abu Puspasarira baik berupa bokor, maupun sebuah usungan
dengan atap bertingkat-tingkat, seperti meru). Kata bukur adalah
akronim dari kata bu (bhu) artinya
alam, dan kata ur (yang berasal
dari kata urdhah) artinya atas. Kata bukur artinya alam atas dan kata mamukur artinya menuju alam
atas - dari bwah loka ke swah loka.
Upacara Mamukur merupakan suatu keharusan bagi umat
Hindu untuk dilaksanakan sebagai kelanjutan upacara ngaben dalam keseluruhan cakupan pitra yadnya dalam
aspek adhyatmika, agar arwah seseorang yang telah diabenkan
mencapai kesucian sampai tingkat dewa
pitara. Arwah orang yang belum diupacarai mamukur akan tetap berada di alam pitara (bwah Loka) dan
mengambang tidak bisa reinkarnasi karena jiwatmanya masih terkungkung oleh antahkarana. Karena tidak bisa bereinkarnasi maka jiwatmanya tidak dapat kesempatan melaksanaan subhakarma untuk menebus asubhakarma yang pernah diperbuat
dimasa kehidupan yang dahulu yang masih melekat sebagai karmawasana. Arwah seseorang yang
tidak dilakukan upacara mamukur bisa menyakiti keturunannya (menimbulkan
gangguan - gangguan di lingkungan keluarga), karena keturunannya tidak tuntas
membayar hutang jasa atau pitrarnam kepada leluhurnya.
Biasanya bila seseorang atau
sebuah keluarga besar melaksanakan upacara Mamukur, maka diiringi pula oleh
upacara lainnya seperti upacara Mapandes, Otonan dan kadang -
kadang pula upacara Pawintenan. Ketiga upacara terakhir ini sering
disebut upacara Manusa Yajna.
Pengertian
Upacara Mamukur
Guna memantapkan pengertian kita
terhadap upacara Mamukur, kiranya terlebih dahulu disampaikan tentang struktur
pribadi manusia, yakni sebagai umat manusia yang hidup dan mampu melaksanakan
aktivitas karena dihidupkan oleh Atma yang di dalam tubuh mahluk sering disebut
Jivatma. Atma individual ini dibelenggu oleh 5
selaput yang disebut Panca Kosa, yang terdiri dari:
- Annamayakasa, selubung yang paling luar berupa badan wadag yang terdiri dari berbagai unsur makanan, yang tersusun dari unsur-unsur Panca Tan Matra dan Panca Maha Bhuta.
- Pranamayakasa, selubung yang lebih dalam berupa tenaga vital (energi) dalam tubuh setiap mahluk.
- Manomayakasa, merupakan selubung badan pikiran.
- Vijnanamayakasa, selubung kecerdasan budi (intelektualitas).
- Anandamayakasa, selubung Atma, sumber hidup setiap mahluk.
Kelima pembungkus tersebut, dapat
disederhanakan menjadi tiga badan atau Tri Sarira, yakni :
1. Sthula Sarira (badan wadag/badan kasar),
terdiri dari Annamayakasa dan Pranamayakasa.
2. Suksma Sarira (badan halus) terdiri dari
Manomayakasa dan Vijnanamayakasa,
3. Antahkarana Sarira (yang
menyebabkan hidup), yakni Anandamayakasa - Atma atau Sang Diri.
Bila seseorang meninggal dunia, maka
badan wadag (Sthula Sarira terdiri dari Annamayakasa dan Pranamayakasa) akan
hancur, sedang badan lainnya masih tetap utuh. Di dalam upacara
ngaben terjadi suatu pemisahan jiwatma
dengan Sthula Sarira, sedangkan di dalam upacara mamukur terjadi pemisahan
jiwatma dengan Suksma Sarira, sehingga
jiwatma menjadi suci yang disebut dewa
pitara. Namun demikian bukanlah berarti pitara itu dewa. Karena
dewa pitara yang sudah penuh kesuciannya itu berada di alam dewa dan juga
berfungsi membimbing serta melindungi kehidupan keturunannya, maka dewa pitara
itupun disebut
Bhatara Kawitan sebagaimana
yang dipuja pada palinggih Kamulan atau Kawitan oleh keturunnya.
Upacara penyucian ini di Bali ada beberapa istilah, yang
mempunyai arti sama dengan Mamukur antara
lain :
-
Nyekah. Dalam sekah atau puspalingga inilah mendiang pitra bertahta. Bentuk sekah dibuat dari daun beringin berjumlah 108 atau 54 lembar yang ditusuk berangkai
masing-masing susun tiga lembar. Tata cara tusukan daun beringin itu tengkurep
bagi pitra laki-laki, sebaliknya bila mendiang seorang wanita daun beringin
dipasang menengadah.
-
Ngeroras (karena umummya upacara ini dilakukan
setelah 12 hari upacara Ngaben),
-
Disamping itu dikenal juga dengan upacara
Maligya dan sebagainya.
Makna dan Rangkaian Upacara Mamukur :
- Masing-masing peserta Mendak Arwah yang akan diupacarai di masing-masing Pura Dalem / Segara, selanjutnya dibawa ke Jro Bangsal.
- Nunas Don Bingin. Pohon bingin atau beringin di dalam kitab suci veda dan susastra Hindu lainnya disebut Kalpataru atau Kalpavriksa. Sejenis dengan pohon ini disebut pula Asvatta. Pohon beringin pada mulanya tumbuh di sorga dan untuk kemakmuran umat manusia, pohon ini diturunkan ke bumi sebagai simbolis untuk memperoleh kemakmuran. Pohon kalpataru ini banyak dipahatkan pada dinding luar mandir atau candi, seperti halnya dapat kita lihat di candi Prambananan - Jawa Tengah. Upacara Nunas Don Bingin ini berupa prosesi (mapeed) menuju pohon beringin diawali dengan tedung agung, mamas, bandrang dan lain-lain. Sebagai alas daun bingin yang dipetik adalah tikar kalasa yang di atasnya ditempatkan kain putih sebagai pembungkus daun beringin tersebut.
- Ngajum Puspasarira atau Puspalingga. Karena dalam prosesi mamukur tidak ada jenazah, maka dibuatkan simbol-simbul badan halus dari atma/roh yang akan diprosesi. Upacara memetik daun beringin (kalpataru/kalpavriksa 108 lembar) dipergunakan sebagai bahan Puspasarira (simbol badan/pengawak) bagi arwah yang akan disucikan. Arwah atau roh yang disucikan itu diharapkan berkenan hadir dan menjadikan Puspasarira sebagai perwujudan badannya. Atma yang akan disucikan sebagai purusa, sedang Puspasarira sebagai prakrti-nya.
- Lunga Ke Beji. Puspa Sarira/Puspa Lingga disunggi dan dipayungi Tedung putih/kuning oleh masing-masing keluarga dibawa ke Beji / Taman. Karena jumlah yang cukup banyak, iring-iringan menuju Bejian lumayan panjang.
- Mapradaksina / mapurwadaksina. Upacara ini mengandung makna untuk memohon agar roh leluhur yang akan diupacarakan berkenan turun hadir dalam upacara. Selanjutnya mengikuti jejak lembu putih (sapi gading) sebagai simbol mengikuti jalan ketuhanan (karena lembu putih adalah kendaraan dewa Siwa). Melalui upacara ini dimohon kehadapan Sang Hyang Siwa supaya leluhur yang diupacarakan dapat mencapai sorga.
- Ngaliwet. Upacara ini mengandung makna sebagai persembahan atau bekal roh, selanjutnya dipersembahkan oleh roh kepada Sang Hyang Siwa berupa nasi yang dibuat berbentuk seperti bola pingpong disebut Pitrapinda di India disebut “Pioia”, dan bubur bundar (bubur-pitara) dipersembahkan oleh roh kepada Sang Hyang Yama - putra Sang Hyang Surya (Siwa) sebagai penguasa alam kematian (Pitraloka).
- Ngeseng, yakni membakar Puspasarira (wujud badan roh) di atas dulang dari tanah liat atau dulang perak, dengan sarana sepit, panguyegan, balai gading dan lain-lain, dengan api pembakaran yang diberikan oleh pandita pemimpin upacara. Upacara ini sangat baik dilakukan pada dini hari, saat dunia dan segala isinya dalam suasana hening guna mengkondisikan pelepasan Atma dari keduniawian.
- Nganyut Sekah ke Segara. Upacara ini mengandung makna bahwa abu bekas Puspasarira ini dikembalikan ke usur alam yang disebut Panca Mahabhuta yang disimboliskan dengan air. Air laut berfungsi sebagai rangkaian akhir hanyutnya kekotoran dunia, sekaligus pula sebagai tempat penyucian dari tirtha Amrita (air kehidupan dan keabadian).
- Dewapitra Pratistha. Upacara ini mengandung makna permohonan kepada Atma yang disucikan itu berkenan untuk bersthana pada pura keluarga, Sanggah Kamulan, atau Kawitan, untuk disembah memohon wara nugraha dan perlindungannya. Upacara ini dirangkai pula dengan upacara Nyagara-gunung yaitu ucapan terima kasih kepada Sang Hyang Siwa/Sang Hyang Girinatha (penguasa Gunung), serta Sang Hyang Baruna (penguasa lautan), atas karunianya dengan berbagai isi alam yang kita pergunakan berjadnya, sehingga upacara telah berjalan dengan sukses. Dalam acara ini disamping penyelenggara yadnya ikut juga bhetara-bhetari yang diprosesi selama acara nyekah juga ikut menyertai pemedek tangkil ke pura-pura. Maka untuk beliau dibuatkan Daksina Tapakan. Daksina tapakan tidak memakai nama, berapapun dalam satu merajan ada yang diaben, cukup buat 2 Daksina Tapakan yaitu untuk bhatara dan bhatari. Maajar-ajar mengandung makna ucapan terima kasih pihak yang meyadnya kepada pihak yang menuntun (para ajar) yang telah memberikan jasa-jasanya sehingga yadnya berjalan sukses sebagai mana mestinya. Sekembalinya dari maajar-ajar dan nyegara gunung Daksina Tapakan dibakar dihalaman merajan dan abunya ditanam dibelakang Sanggah Kemulan, sedang pipil tapakan disimpan di Rong Tiga, yang di utara untuk bhatara sedangkan yang kiri untuk bhatari. Prosesi diahiri dengan menghaturkan soda putih kuning dan dilakukan persembahyangan bersama.
- Terakhir dari upacara ini adalah Ngalinggihang Dewa Pitara (Dewa Hyang) - menstanakan kembali atma (roh suci) yang diyakini telah mencapai “Atmasiddha dewata” di palinggih Kamulan atau Kawitan. Jika prosesi ini telah dilakukan, maka hutang anak terhadap Bapak/Ibu/leluhur sudah terbayarkan dan dengan kesucian roh/atma leluhur ini dipercayai akan memberikan kesejahteraan dan kebahagiaan kepada keturunannya.
Demikian sepintas makna upacara
Mamukur dan Dewapitra Pratistha yang dilakukan oleh umat Hindu untuk
menunjukkan bakti pratisantana (anak cucu) kepada leluhurnya, sehingga hubungan
yang harmonis dengan Hyang Widhi, para dewata dan leluhur dapat diwujudnyatakan
demi kesejahtraan dan kebahagian hidup umat manusia.