Kamis, 01 Desember 2016

Bergaul Dengan Orang Yang Baik



Manusia sebagai makhluk sosial tidak bisa terlepas dari manusia lainnya, dan akan selalu berinteraksi, setelah mengalami proses interaksi barulah individu tadi dapat berkembang menjadi makhluk sosial. Individu dapat menjadi makhluk sosial dipengaruhi oleh faktor keturunan yang dibawa sejak kelahirannya dan faktor lingkungan termasuk teman teman bergaul.
Dalam keyakinan Hindu (Cudamani, 1991 : 9), seseorang yang baru dilahirkan membawa wasana karmanya masing-masing atau sisa-sisa hasil perbuatannya pada kehidupannya yang lampau, yang tidak seluruhnya habis dinikmati. Karma wasana itu meliputi sisa-sisa perbuatan baik (subha karma) dan sisa-sisa perbuatan yang tidak baik (asubha karma). Perimbangan perbuatan baik dan buruk itu oleh umat Hindu diyakini mempengaruhi karakter seseorang atau tiga sifat dasar yang dimiliki seseorang yaitu : sattwam, rajas dan tamas yang dikenal dengan Tri Guna. Karakter satttwam atau satwik adalah sifat-sifat yang bijaksana, penuh kehati-hatian, sopan santun dan beberapa sifat-sifat baik lainnya. Sifat rajas adalah sifat penuh napsu, enerjik, sedangkan sifat tamas adalah sifat malas, lamban, suka tidur, kurang inisyatif. Tri Guna ini berada dalam pikiran. pikiran mempunyai dua medan yaitu : pertama adalah medan “atas sadar”, dimana seseorang bisa ingat akan sesuatu yang disampaikan oleh panca indra. Kedua adalah medan “bawah sadar”, di mana orang tidak lagi ingat kepada kejadian yang pernah dialami. Bilamana informasi masuk melalui panca indra, informasi itu dilanjutkan oleh syaraf ke otak dan diterima oleh pikiran. Pikiran “atas sadar”  tanpa emosi mengirimkan informasi itu apa adanya ke gudang ingatan “bawah sadar”. Pikiran bawah sadar mempunyai kemampuan menimbang-nimbang (wiweka),  segala masukan dari atas sadar dicocokkan dengan arsip di bawah sadar yang ada hubungannya dengan kejadian yang sama. Jika tanggapan dari pikiran bawah sadar ini negatif terhadap informasi yang baru itu, maka bawah sadar akan mengirimkan reaksi negatif kepada pikiran “atas sadar”. Sebaliknya apabila bawah sadar mengirimkan reaksi positif maka pikiran “atas sadar” akan bereaksi berwujud kenikmatan, kebahagiaan, kesenangan, kegembiraan. Oleh karena itu ajaran agama mengajarkan agar kita belajar mengendalikan emosi, dimana pikiran ”atas sadar”  jangan diberikan mengadakan reaksi spontan. Reaksi apapun yang muncul dari “bawah sadar” biarlah, karena otomatis tanpa terkendali, tetapi setelah sampai pada pikiran atas sadar haruslah ditahan dan dikendalikan.          
Faktor lingkungan termasuk teman teman bergaul sangat berpengaruh dalam pembentukan sikap mental seseorang. Titik permulaan jalan spiritual adalah satsang – berteman dengan orang-orang yang baik, saleh. Karena pikiran itu mudah menjalar, ada pepatah sbb : “katakan kepadaKu siapa temanmu, maka akan kukatakan kepadamu siapakah kamu sesungguhnya”. Shangkara memuji nilai teman dan pergaulan yang saleh dengan kata-kata yang penuh semangat sebagai berikut : “Berkawan dengan orang yang bijaksana menyebabkan timbulnya ketidakterikatan, ketidakterikatan menyebabkan hancurnya khayal maya, hal ini diikuti dengan tercapainya kebijaksanaan yang mantap, dan akhirnya mencapai puncaknya dalam jivanmukti yaitu tercapainya kebebasan pada waktu masih hidup di dunia. Karena itu, pokok penting yang harus di ingat adalah : hanya teman-teman yang baik akan menimbulkan pikiran yang baik dalam hati”.
            Orang yang tidak patut dijadikan teman adalah orang yang tidak menolong sahabat karibnya di dalam keadaan darurat (Rgveda X.117.4), orang yang mengusahakan penyakit dan kesedihan terhadap orang lain, orang yang sangat alpa, orang yang kata-katanya bohong atau dusta, orang yang tidak teguh kesetiasaannya, orang yang sangat bernafsu birahi, orang yang terikat hatinya kepada minuman keras, keenam orang yang sangat keji itulah, yang tidak patut diindahkan ((Sarascamuccaya, 325).
            Bergaul dengan orang yang jahat perbuatannya, tak dapat tidak akan ketularan oleh noda perbuatan jahatnya (Sarascamuccaya, 326). Orang jahat itu tiada bedanya dengan duri, ada dua obatnya ikhtiarkan agar tidak menimbulkan bencana; caranya : jika terhadap duri, pakailah terompah, atau hindari duri itu; akan terhadap orang jahat, usahakanlah agar ia tunduk meski dengan susah payah, atau jauhilah akan dia (Sarascamuccaya, 328). Dan tabiat orang yang berakhlak jahat (durjana), miskipun sebesar biji sawi dosa sang sadhu terlihat olehnya; akan tetapi mengenai noda dirinya sendiri kendati sebesar buah maja sekalipun, yang seharusnya terlihat olehnya, tidak tampak olehnya (Sarascamuccaya, 341).
            Hendaknya setiap orang menghindarkan dirinya bergaul dengan orang-orang tercela, dan bergaul dengan orang-orang yang baik, bijaksana, demikian pula kebangsawanan sesungguhnya hanya dapat diperoleh melalui amal kebajikan.

Dalam Rg Weda ada disebutkan sbb. :
            ”Asmanvati riyate sam rabhadhvam,
            uttisthata pra tarata sakhayah,
            atra jahama ye asan asevah
            sivan vayam uttaremabhi vajan”. Rg veda X.53.8

Terjemahan :

Wahai teman-teman, dunia yang penuh dengan dosa dan penuh duka ini berlalu bagaikan sebuah sungai yang alirannya dirintangi oleh batu besar (yang dimakan oleh arus air) yang berat. Tekunlah, bangkitlah, dan seberangilah ia. Tinggalkan persahabatan dengan orang-orang tercela. Seberangilah sungai kehidupan untuk pencapaian kesejahteraan dan kemakmuran (Titib 1996 : 359).

Keberadaan seorang teman sangatlah mempengaruhi kepribadian. Ketika seseorang bergaul dengan teman yang baik maka niscaya ia akan menjadi sosok yang baik. Namun sebaliknya, ketika ia bergaul dengan teman yang buruk maka ia pun akan menjadi sosok yang buruk pula. Maka dari itu kita agar selektif dalam memilih tema. Apabila kita banyak bergaul dengan orang-orang baik tentunya banyak manfaat yang akan kita peroleh. Diantaranya adalah kita akan mendapatkan ketentraman hati, karena teman yang baik akan senantiasa memberikan nasihat dan motivasi tatkala ada masalah, musibah, kegundahan dan kesedihan menimpa diri kita. Mereka juga tidak segan-segan untuk mengingatkan kita ketika kita terjatuh dalam kesalahan. “Bergaullah dengan orang-orang yang baik, niscaya engkau akan menjadi seorang yang baik, selamat”, (namun) cobalah sehari saja engkau bergaul dengan orang-orang yang jelek (jahat), maka niscaya engkau akan menyesal (selamanya).”

--------------------------------

Kamis, 24 November 2016

Pergeseran Budaya, Krematorium Jadi Alternatif



Latar Belakang

Manusia Hindu menempatkan siklus lahir hidup dan mati sebagai sebuah prosesi ritual bermakna dalam kehidupannya. Kematian bagi umat hindu adalah awal sebuah perjalanan panjang yang tidak bertepi untuk menikmati karma. Kematian atau meninggalnya seseorang berarti putusnya hubungan dengan dunia nyata atau duniawi yang kemudian akan kembali ke alam baka atau ke akhirat dengan membawa karmanya masing - masing.
Jadi kematian adalah suatu keharusan dari hidup manusia yang kemudian masing-masing bangsa, agama, suku mempunyai cara-cara tersendiri untuk memberikan penghormatan terakhirnya sebagai manusia yang memiliki peradaban budaya.
Khususnya di Bali, umat yang memeluk Agama Hindu menganut kepercayaan adanya upacara pembakaran mayat atau kremasi yang sering disebut dengan Ngaben. Di dalam Panca Yadnya, upacara ini termasuk dalam Pitra Yadnya, yaitu upacara yang ditujukan untuk roh lelulur. Tujuan upacara ngaben adalah agar ragha sarira (badan / Tubuh) cepat dapat kembali kepada asalnya, yaitu Panca Maha Bhuta di alam ini dan Atma selamat dapat pergi kealam pitra.




Namun prosesi kematian ini menjadi rumit, ketika dibangun oleh budaya dengan tingkat rigiditas yang tinggi (kaku). Umat Hindu sering terjebak ’proses megah’ prosesi ritual yang menelan biaya tinggi dengan mengabaikan kemampuan yang melakukan upacara.
Sejatinya biaya upakara untuk prosesi ngaben di Bali tidak mahal berdasarkan sastra. Biaya tinggi karena menjelimetnya adat yang sering tak bersahabat yang membuat biaya upacara itu membengkak, seperti kadang-kadang karena gengsi, jadi upacaranya harus besar secara kwantitas, sehingga penggunaan banten juga di “besar-besar”. Ada pendapat yang mengatakan, terlalu banyak upacara adat menyebabkan kemiskinan di Bali (judul Berita SINDONEWS.COM). “Kami akui budaya Bali sangat berat, kebutuhan untuk memenuhi upacara adat cukup banyak itu juga menjadi salah satu faktor penyebab kemiskinan. Sekarang ini bagaimana caranya mereka upacara sekedarnya saja tidak jor-joran,” ujar Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa Ketut Lihadnyana, kepada wartawan, Kamis (3/7/2014).
Disamping adat yang kadang-kadang rumit, juga kasus-kasus adat termasuk masalah sengketa "status warga adat" sering kali menimbulkan masalah ketika orang meninggal. Masalah sengketa status warga adat ini terutama banyak dihadapi oleh keluarga yang sudah lama merantau meninggalkan desanya untuk mencari nafkah, dan abai dengan kewajiban-kewajibannya sebagai warga adat. Kejadian - kejadian akibat dari permasalahan adat yang kerap kali terjadi di Bali, sangat merugikan orang / krama Bali itu sendiri, akibatnya menjadi suatu momok dan permasalah psikologis bagi orang Bali.


Banjar hendaknya adalah sebagai lembaga pembantu dan bukan malah menjadi beban psikologis & pesikis bahkan menjadi pengadilan sosial bagi masyarakat Bali itu sendiri, sehingga pelaksanaan kedah-kaedah budaya Bali yang tertuang dalam konsep banjar yakni suka duka larapati, paras paros sarpa naya, selunglung sebayantaka tidak  semakin tenggelam bahkan cendrung hilang akibat dari perkembangan jaman, sehingga akibatnya orang Bali tidak akan mampu memberikan warisan budaya yang luhur di Bali ini, suatu saat nanti budaya-budaya akan menjadi hanya wacana saja.

Krematoriun Solusi

Akibat dari adanya pergeseran-pergeseran budaya timbul berbagai solusi-solusi yang baru salah satunya di dalam pengabenan ada “krematorium”, hal tersebut tidak salah dan sah-sah saja, tidak semua orang bermasalah melakukan pengabenan di tempat tersebut, namun semua itu akan kembali kepada pilihan diri kita sendiri.
Krematorium yang berlokasi di Desa Kedua, Denpasar Utara, Krematorium Santha Yana beroperasi sejak tahun 2009 atas inisiatif Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi (MGPSSR), perkumpulan warga dari keturunan soroh (klan) Pasek. Ini merupakan krematorium pertama yang diperuntukkan untuk umat Hindu. Sebelumnya, dua krematorium sebenarnya sudah berdiri di kawasan Mumbul, Nusa Dua, namun tidak secara spesifik diperuntukkan bagi umat Hindu. “Krematorium ini dibangun untuk menjawab permasalahan umat,” kata Ketua Umum Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi (MGPSSR), Prof. Dr. dr. I Wayan Wita, Sp. JP(K)
Guru besar di Fakultas Kedokteran Universitas Udayana itu menjelaskan, ide pembangunan krematorium Santha Yana berawal dari keresahan atas berbagai permasalahan yang dihadapi umat Hindu di Bali seperti sengketa status warga adat, konflik adat, yang berbuntut pada perebutan tanah setra, hingga beban ekonomi yang diakibatkan tingginya biaya pelaksanaan upacara ngaben.
“Secara ekonomi, warga resah dengan tingginya biaya ngaben. Ini menjadi salah satu yang mendasari ide pembangunan Krematorium Santha Yana,” jelas Wita. Di samping masalah ekonomi, pembangunan krematorium juga didasari oleh maraknya konflik adat di Bali, yang seringkali berbuntut pada terhambatnya proses upacara ngaben dari pihak warga yang berkonflik.
 


Krematorium tidak lagi menggunakan bade untuk mengangkut jenazah, namun dipergunakan ambulans. Sehingga biaya bisa dihemat. Meski cenderung lebih sederhana, seluruh prosesi upacara ngaben di Krematorium Santha Yana tetap dilaksanakan sesuai sastra atau ajaran agama. “Kalau ditinjau dari segi agama tidak ada bedanya, semua prosesi disini sesuai dengan anjuran agama. Krematorium itu kan bentuk dari kemajuan zaman. Intinya sama, yaitu ngaben,” jelas Mangku Putu Mas Sujana, Ketua Bidang Upakara MGPSSR.
Sekarang tidak hanya jenazah “bermasalah” yang ditangani Krematorium Santha Yana. Tidak sedikit pula masyarakat yang sama sekali tidak terkait dengan masalah adat memanfaatkan krematorium dengan berbagai alasan. “Alasannya umumnya karena ekonomis, praktis, prosesinya lebih cepat, dan semua itu tanpa melanggar ajaran agama,” ucap Wenen - Ketua Bidang Hukum, Humas, dan Advokasi MGPSSR. Seorang warga negara Belgia juga sempat dikremasi di tempat ini. “Warga Belgia itu dikremasi di sini sesuai dengan wasiat yang dia tinggalkan,” kata Wenen.
Lalu, apakah krematorium memang menjadi kebutuhan umat Hindu? Kalau jawabannya ya, bagaimana keberadaan krematorium ini bisa sinergis dengan tatanan adat yang sudah ada, sehingga dapat meminimalkan terjadinya konflik antara pengusung adat dan kepraktisan beragama? Masalah ini memang menarik untuk diungkap sebagai sebuah pemikiran, bahwa ke depan umat Hindu dihadapkan pada dimensi-dimensi baru beragama, karena interaksi antar manusia dalam suatu perkampungan global tak dapat dihindarkan.
Perkampungan global membuat dimensi agama hadir dengan peran baru, yaitu, peran sosial. Lebih khusus agama sebagai perekat sosial yang merekatkan potensi - potensi antagonistik antar individu dalam masyarakat. 
Khususnya umat Hindu di Bali, perekat-perekat sosial dibangun atas konsepsi ”Tat Twam Asi” . Di dimensi itu, ketika tatanan sosial yang dibangun oleh roh agama, sehingga menghasilkan tafsir yang kerap tidak sesuai dengan zaman, maka perlu dilakukan revisi dan perubahan ke arah kemajuan yang lebih dinamis. Oleh karena itu, dari sudut pandang inilah keberadaan krematorium dan rumah duka yang seperti banyak dimiliki yayasan China, menarik untuk dipikirkan, yang mungkin bisa dimodifikasi oleh umat Hindu, baik di Bali maupun di luar Bali.
Harus diakui, bahwa ketika banyak adat sering tidak ramah, ketika sulitnya mendapatkan tanah kuburan bagi umat Hindu di rantau, krematorium itu menjadi semacam solusi jitu, Krematorium juga miliki aspek higienis dalam tata kelola mayat.

Sumber foto : Internet
----------------------