Rabu, 25 Mei 2016

2. SHIRDI BABA DIASUH SUFI FAKIR, VENKUSA


Diasuh Sufi Fakir (1838 – 1842).  

Sebelumnya telah diceritakan, bahwa setelah Dewagiri Amma melahirkan bayi laki, Devagiri Amma membungkus bayinya dengan sepotong kain sari yang dikenakannya, menutupi dengan dedaunan dan meninggalkannya ditempat bayi itu dilahirkan, kemudian pergi mengikuti suaminya.

Bayi yang terbuang itu ditemukan oleh seorang Sufi Fakir yang tinggal disekitar hutan itu dan membawanya pulang. Melihat bayi itu istri Fakir sangat senang, ia merawat bayi itu. Mereka tidak mempunyai anak, mereka memutuskan untuk mengadopsi anak laki-laki itu seperti anak laki-laki mereka sendiri dan manamakannya Babu. Dari beberapa sumber cerita disebutkan bahwa mereka adalah suami istri Muslim yang saleh. Kalaulah demikian, Babu pastilah juga mendapatkan pendidikan dasar agama Islam dari mereka. Juga mungkin dari guru-guru Muslim lain yang tinggi ilmunya. Ayah angkatnya itu adalah seoarang Fakir penganut Sufisme dengan ilmu yang sangat tinggi.

Setelah beberapa tahun, Sufi Fakir itu meninggal dunia. Ia meninggalkan warisan berupa tanah yang cukup untuk makan istrinya dengan anaknya. Ibu angkat mulai merawat Babu dengan penuh kasih sayang sebab anak itu adalah satu-satunya tanda yang ditinggalkan suaminya. Babu tumbuh besar. Tetapi ia tidak suka pergi sekolah ataupun belajar. Ibunya membujuknya tetapi semua sia-sia. Sepanjang hari ia biasa bermain dengan anak-anak lain.

Suatu hari Babu bermain kelereng dengan anak laki-laki lain. Ia memenangkan semua kelerang yang berasal dari mereka. Salah satu dari anak laki-laki itu berfikir bahwa ia dapat merebut kembali kelerengnya jika ia bermain lagi. Ia pulang kerumahnya untuk mengambil kelereng. Tetapi ia tidak mendapatkan satupun. Tiba-tiba ia melihat “batu” kecil di ruang pemujaan. Tetapi batu itu adalah persembahan yang dipuja sebagai ‘Shaligram’ (simbul Dewa Wisnu). Ia ragu-ragu untuk mengambilnya. Ia berfikir, “Dengan ‘batu’ ini saya akan bermain dengan Babu dan merebut kembali semua kelereng-kelerengku. Lalu saya akan letakkan batu itu disini lagi. Tak seorangpun akan tahu”. Berfikir demikian ia mengambil batu itu dan pergi menemui Babu dan memaksanya bermain kelereng lagi dengannya. Pada mulanya Babu merasa enggan, tapi karena diminta berulang-ulang akhirnya Babu bermain lagi. Pada kali ini Babu menang juga. Lalu anak laki itu menyadari tindakan salah yang telah ia lakukan. Ia meminta Babu untuk mengembalikan ‘batu’ itu. Tetapi Babu menolak. Lalu anak laki itu menangis dan memanggil ibunya dan berkata, “Ibu, Babu telah mengambil ‘Shaligram’ kita”. Ibu anak laki itu bingung mendengarnya. Ia berlari menuju pemujaan dan melihat benda itu telah hilang. Ibu itu bersama anaknya menghampiri Babu.

Babu sedang bermain dengan anak-anak laki lain. Ibu si anak itu menyuruh Babu untuk mengembalikan Shaligram. Tetapi Babu menolak. Wanita itu mengambil semua kelereng dari kantong Babu. Tapi pada saat itu juga Babu memasukkan Shaligram ke dalam mulutnya. Babu berkata, “Ibu, Shaligram ada dalam mulut Babu”. Wanita itu memaksa Babu membuka mulutnya. Lalu ia mencoba membuka mulut Babu dengan paksa. Lalu Babu membuka mulut. Lo..! Apa yang telah dilihat wanita itu dalam mulut Babu? Dewa Wisnu. Seperti penampakan yang telah dilihat oleh Yasoda dalam mulut Krisna, wanita itu melihat hal yang sama dalam mulut Babu. Ia mulai menangis dan menyentuh kaki Babu meminta maaf. Dalam beberapa menit seluruh penduduk desa datang dan mengetahui bahwa Babu adalah penjelmaan dari Wisnu.

Setelah kejadian itu, Babu mengalah terhadap anak-anak lain. Kadang-kadang Ia pergi ke mesjid dan mulai memuja patung Dewa Shiwa atau Wisnu. Tak seorangpun tahu dari mana ia mengumpulkan semua barang-barang yang diperlukan untuk “puja”. Kaum Muslim menjadi marah dengan sikap Babu yang nyeleneh itu. Dengan cara yang sama ia kadang-kadang pergi ke kuil Hindhu dan mulai mengaji kitab suci Al Qur’an. Tingkah laku anak itu dilihat tidak wajar. Karena Dia pergi ke Kuil Hindu dan berteriak : “Akulah Allah” dan “Allah Malik Hai” (Tuhanlah Yang Mahakuasa). Dia pergi ke mesjid dan berkata : ”Rama sendiri adalah Tuhan” dan Siwa adalah Allah.” Itulah kata-kata yang sering diucapkan Babu. Karena kelakuannya yang dilihat aneh, maka pemeluk kedua agama mengeluh kepada istri fakir. Mereka mengancam untuk menghajar dan kalau perlu membunuhnya jika Babu tidak menghentikan tingkah lakunya yang dipandang kurang ajar dan menodai peraturan kedua agama itu.

Sang Ibu menjadi takut. Ia mencintai Babu dengan penuh kasih sayang. Ia membujuk Babu untuk tidak melakukan perbuatan itu lagi. Tetapi Babu tidak ambil peduli. Ia terus melakukan apa yang ingin ia lakukan. Sehingga ibunya berfikir bahwa ia akan membawa Babu ke Ashram Venkusa Maharaj keesokan harinya dan menitipkannya disana.

Diasuh Venkusa ( 1842 – 1851 ).
 

Venkusa Maharaj adalah seorang yang saleh. Ia mengelola ashram untuk para yatim piatu. Ia mengajari mereka pendidikan dasar. Suatu malam ia bermimpi. Dalam mimpi ia melihat Dewa Shiwa dan berkata, “Besok pagi pukul 10.00 siang Aku akan datang kepadamu”. Keesokan paginya ia bangun dan mulai menunggu kedatangan Dewa Shiwa. Tepat pukul 10.00 pagi ia melihat seorang ibu datang bersama anak laki-laki.

Ibu Babu menceritakan kepada Venkusa Maharaj semua hal tentang Babu dan meminta Venkusa Maharaj untuk mengijinkan Babu tinggal disana sambil berkata, “Adalah sangat menyakitkan untuk saya hidup tanpa Babu. Tetapi sebaliknya penduduk desa akan membunuh Babu. Saya telah memutuskan supaya dia tinggal disini. Paling tidak Babu akan terus hidup”. Venkusa Maharaj teringat mimpi semalam dan mengerti siapa Babu. Venkusa Maharaj menjawab, “Jangan khawtir, Babu akan aman tinggal disini. Saya akan menjaganya dengan hati-hati”.

Dengan berlinang air mata, Ibunya berkata kepada Babu, “Anakku sayang, kau akan aman disini. Lakukan apa yang Guru katakan. Engkau harus selalu mematuhi Gurumu”. Babu menyetujuinya. Dengan hati berat Ibu Babu meninggalkannya. Ditempat ini Babu tidak melakukan sesuatu hal yang aneh. Ia mendengarkan Gurunya. Venkusa Maharaj juga sangat mencintai Babu. Lebih dari itu Venkusa juga memberlakukan Babu secara spesial, sebagai anak pemberian Tuhan. Hal ini menyebabkan anak-anak laki yang lain di ashram menjadi iri kepada Babu. Anak-anak yang tinggal di ashram memperlakukan Babu dengan baik bila Guru hadir, tetapi jika Guru keluar dari ashram mereka mengatakan kata-kata jahat pada Babu; bahkan kadang-kadang memukulnya. Tetapi Babu tidak mengatakan apa-apa pada mereka. Ia bertenggang rasa dan hanya tersenyum. Ia tidak pernah mengadu pada Gurunya tentang kelakuan buruk anak-anak laki itu.

Beberapa tahun berlalu. Suatu hari Venkusa Maharaj menyuruh Babu untuk mengumpulkan daun-daun dari pohon bael. Lalu Babu pergi untuk membawakan apa yang diperintahkan gurunya. Anak laki-laki lain yang tidak menyukai Babu menunggu kesempatan itu. Mereka berfikir bahwa mereka akan membunuh Babu dan meninggalkan mayatnya dihutan. Mayatnya pasti akan dimakan oleh binatang buas. Sehingga tak seorangpun tahu bagaimana Babu mati. Berfikir tentang hal ini beberapa anak laki-laki mengikuti Babu. Sementara Babu sibuk mengumpulkan daun-daun bael, anak laki-laki itu menyerang Babu dengan tongkat-tongkat dan memukulinya. Babu tak sadarkan diri. Lalu seorang anak laki memungut sebuah batu bata ukuran besar dan memukul kepala Babu dengan batu bata itu. Kepala Babu berdarah cukup banyak. Meraka berfikir bahwa Babu telah tewas. Merekapun pulang kembali ke Ashram.

Beberapa jam telah berlalu. Venkusa Maharaj merasa cemas akan Babu. Dengan mengajak beberapa anak bersamanya, ia pergi mencari Babu. Akhirnya ia menemukan Babu tergeletak tak sadarkan diri dengan genangan darah. Ia menggendong Babu dan membawanya ke pinggir sungai. Ia membersihkan luka-luka dan memberikan beberapa ramuan obat-obatan.

Setelah beberapa lama Babu mulai sadar. Venkusa Maharaj bertanya, “Babu siapa yang menyerangmu?” Babu memandang kepada anak-anak laki itu lalu berkata, “Saya sibuk mengumpulkan daun-daun bael. Seseorang menyerang dari belakang”. Ia tidak menuduh anak laki-laki teman sekelasnya itu. Venkusa Maharaj berkata, “Lalu engkau pasti diserang oleh musuh-musuh yang berasal dari desamu. Mulai dari sekarang, saya tidak akan mengijinkan kau pergi kemana saja seorang diri”. Ketika pulang ke Ashram Babu menyimpan batu bata yang telah dipakai untuk memukul kepalanya. Batu bata itu berlumuran darah kering.

Sejak kejadian itu anak-anak laki di ashram tidak mengucapkan kata-kata jahat kepada Babu. Mereka berfikir Babu benar-benar seorang anak yang baik. Ia dapat melaporkan mereka kepada Venkusa Maharaj. Tetapi ia tidak mengatakan apa-apa tentang kejahatan mereka. Apalagi ia menyelamatkan mereka dari hukuman. Mereka lalu mulai bersikap lebih layak lagi. Setelah beberapa tahun, Venkusa Maharaj meninggal dunia. Babu lalu meninggalkan ashram sambil membawa batu bata yang berlumuran darah kering. Ia berpakaian seperti seorang fakir dan mulai berjalan dengan rasa enggan menuju kemana saja, tanpa suatu tujuan yang pasti.***

Bersambung....... 3 Baba Ke Daerah Shirdi..






Daftar Pustaka :

Santisri. 2006. Thapovanam, Sri Sathya Sai Satcharitra. Alih bahasa : Tim Penterjemah Toko 

Prashadam, editor : I    Wayan Jendra, Yogjakarta : Sipress

Tarjan, Josep. 2001 Shirdi Sai Baba, Sang Fakir. Jakarta :  PT Protona Findo U.E.

Wilson, Rudy. 2001. Shri Sai Satcharita jilid 1 dan 2 (terjemahan). Jakarta : Yayasan Sri Sathya Sai Baba Indonsia



1 KELAHIRAN SHIRDI BABA

Di sebuah desa yang bernama Pathri yang terletak diwilayah Nizam - India, tinggal sepasang suami - istri yang sangat taat menjalani kehidupan spiritual bernama Gangabhava dan Dewagiri Amma. Mereka adalah pasangan yang sangat setia memuja Siwa dan Parwati. Sang istri penyembah Dewi Gauri (Dewi Parwathi), sedangkan suaminya penyembah Dewa Siwa. Meraka menghabiskan waktu sehari-harinya untuk memuja Dewa Siwa dan Dewi Parwati. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, Gangabhava menjalankan perahu, menyeberangkan orang-orang hilir mudik menyebrangi sungai Godavari.
Suatu malam mulai turun hujan dengan lebat. Gangabhava mulai cemas jika hujan terus berlangsung sungai Godavari akan meluap ketepi-tepinya dan pada saat itu perhunya akan hanyut oleh arus air, apalagi tali pengikat perahu sudah tua. Lalu ia memutuskan untuk pergi kesungai.

Sekitar pukul 21.00 malam, ada yang mengetuk pintu rumahnya. Dewagiri Amma yang tinggal sendirian dirumah segera membukakan pintu, mengira suaminya yang datang. Setelah pintu dibuka, ternyata yang datang bukan suaminya. Tetapi seorang lelaki tua berdiri didepan pintu. Lelaki tua itu melangkah masuk dan berkata : “Oh Ibu, diluar sangat dingin, apakah engkau mau berbaik hati memberikan saya bermalam disini?” Dengan kebaikan hatinya, Dewagiri Amma mengijinkannya. Kemudian Dewagiri Amma masuk kekamarnya. 

Tak lama kemudian lelaki tua itu mengetuk pintu kamar Dewagiri Amma, dan berkata : “Oh Ibu yang baik hati saya merasa lapar, bolehkah saya minta nasi sedikit untuk dimakan?” Kemudan lelaki tua itu diberi makanan seadanya. Setelah itu Dewagiri Amma kembali kekamar tidurnya dan menutup pintu. Belum lama waktu berlalu, lelaki tua itu kembali mengetuk pintu. Setelah pintu dibuka lelaki tua itu berkata : “Oh Ibu, kaki saya sakit, maukah ibu memijitnya sebentar?”
Wanita itu sangat terkejut. Dia lalu masuk keruang pemujaannya, bersimpuh dikaki Dewi Parwati dan menangis sambil berdoa, “Oh Ibu Maha Suci, ujian berat apakah yang Engkau berikan padaku ini, apakah yang harus saya lakukan sekarang, tolong selamatkan saya dari keadaan yang hina ini”. 
Setelah berdoa, perasaannya mulai tenang, dia pergi mencari tukang pijit. Tetapi usahanya sia-sia, dan ia putus asa karena tukang pijit yang dicari tidak ada dirumah. Sesampainya dirumah, tiba-tiba ada ketukan dari pintu samping, setelah pintu dibuka seorang wanita datang dan berkata : ”Ibu, sepertinya anda datang kerumah saya untuk meminta bantuan guna merawat lelaki tua disini. Saya datang kesini untuk memberikan bantuan”. Kemudian Dewagiri Amma mengantarkan wanita itu ke depan kamar lelaki tua itu, meninggalkannya kemudian kembali kekamarnya dan menutup pintu.
 

Selang beberapa saat lagi pintu kamar diketuk. Tapi perasaan Dewagiri Amma tidak ragu karena dirumahnya sudah ada seorang wanita lain. Setelah pintu dibuka, Dewagiri Amma sangat kagum mendapatkan Dharsan Dewa Siwa dan Dewi Parwati berdiri dihadapannya. Karena tidak bisa menahan rasa bahagianya, Dewagiri Amma terjatuh dikaki mereka.

Dewi Parwati berkata : “Aku menganugrahimu seorang anak laki dan seorang anak perempuan.” Dewa Siwa pun berkata : ”Anak-Ku sayang, Aku sangat terkesan dengan baktimu, Aku akan lahir sebagai anak ketigamu”.

Dewagiri Amma sangat berbahagia, dengan berlinang air mata dia bersujud dikaki Dewa Siwa dan Dewi Parwati. Ketika dia mengangkat kepalanya, ternyata mereka telah lenyap. Lelaki tua yang menginap itu ternyata Dewa Siwa yang datang untuk menguji kesetiaan Dewagiri Amma, sedangkan tukang pijit itu adalah Dewi Parwati yang datang memenuhi doanya.

Dewagiri Amma sangat gembira, dia menjadi bersemangat dan tidak sabar sampai tidak bisa tidur, kapan kiranya fajar akan tiba. Setelah fajar tiba, suaminya datang dari sungai. Dia menceritakan pengalamannya yang semalam kepada suaminya. Tetapi suaminya tidak percaya. Suaminya berkata : “Dewagiri sayang, kamu kelihatannya sudah kehilangan akal sehatmu, kamu pasti bermimpi, Dewa Siwa dan Dewi Parwati datang kerumah kita? memberimu darsan? sungguh tidak masuk akal!”. Dewagiri Amma mencoba menjelaskan dengan segala cara, tetapi suaminya tetap tidak percaya.

Waktu berjalan cepat, dan Dewagiri Amma pun mengandung. Seperti yang telah diperkirakan, dia melahirkan anak laki, dan setahun kemudian melahirkan anak perempuan. Gangabhava menyadari dua peristiwa yang disebutkan istrinya sudah menjadi kenyataan. Dia sekarang mulai percaya bahwa Dewa Siwa dan Dewi Parwati benar-benar telah memberikan darsan kepada istrinya.


Pikiran itu sangat dalam tertanam dibenak Gangabhava. Seiring dengan perjalanan waktu. Dia memutuskan untuk memperoleh darshan dari Dewa Siwa dan Dewi Parwati. Singkat cerita, sang istri hamil untuk yang ketiga kalinya. Bukti yang terakhir ini semakin memperkuat pikirannya. Dia menjadi tidak sabar. Kapan aku harus pergi dari rumah ini? Kapan aku harus melakukan thapa? Kapan aku mendapatkan dharsan dari Dewa Siwa dan Dewi Parwati? Pikiran-pikiran ini selalu menggerogoti pikiran Gangabhava. Sembilan bulan berlalu, Gangabhava semakin tidak sabar, dia tidak dapat menunggu lagi. Dia memutuskan pergi kehutan dengan penuh semangat untuk melanjutkan pencarian spiritualnya. Dewagiri Amma ikut menemani suaminya kehutan meskipun dia sedang hamil tua. Dalam perjalanan kehutan, pada tanggal 28 September 1838 tepat dibawah pohon banyan dia melahirkan seorang anak laki. Devagiri Amma membungkus bayinya dengan sepotong kain sari yang dikenakannya, menutupi dengan dedaunan dan meninggalkannya ditempat bayi itu dilahirkan, kemudian pergi mengikuti suaminya.

Bersambung........ 2 Shirdi Baba diasuh Sufi Fakir.





Daftar Pustaka :

Santisri. 2006. Thapovanam, Sri Sathya Sai Satcharitra. Alih bahasa : Tim Penterjemah Toko Prashadam, editor : I    Wayan Jendra, Yogjakarta : Sipress

Tarjan, Josep. 2001 Shirdi Sai Baba, Sang Fakir. Jakarta :  PT Protona Findo U.E.

Wilson, Rudy. 2001. Shri Sai Satcharita jilid 1 dan 2 (terjemahan). Jakarta : Yayasan Sri Sathya Sai Baba Indonsia