Minggu, 14 Januari 2018

Cerita Lubdaka dan Makna Filosofis Siwaratri



Cerita Lubdaka
            Dalam Kakawin Siwaratrikalpa karya Mpu Tanakung diceritakan bahwa, suatu hari tepatnya pada hari panglong 14 sasih ke-7 (hari ke 14 bulan mati pada sasih ke tujuh), seorang pemburu bernama Lubdaka pagi-pagi seperti biasa ia meninggalkan rumahnya untuk berburu ke hutan. Setelah tiba di hutan, ia mulai menyiapkan busur dan anak panahnya menantikan sasaran buruannya. Pada hari ini tidak seekor binatangpun yang muncul; hal ini sebelumnya tidak pernah terjadi. Jam berganti jam, hingga mendekati malam ia masih berputar-putar, namun tidak satupun binatang buruan yang dapat ditemuinya. Malam semakin larut lebih-lebih kelebatan hutan semakin menambah kegelapan suasana. Keadaan hutan semakin gelap sehingga ia mulai merasakan takut kalau berjalan di tengah kegelapan seperi itu, dan akhirnya ia memutuskan untuk tinggal/naik di atas pohon. Takut akan tertidur, lalu jatuh dan menjadi mangsa binatang hutan, ia tetap berjaga-jaga semalaman itu. Agar tidak tidur, ia pun memetik daun-daun pohon maja/bila dan menjatuhkannya ke air danau. Daun-daun itu jatuh di atas sebuah lingga Siwa (nora ginawe), dan dengan  tidak diketahui daun-daun maja itu jatuh ditempat itu. Ketika matahari mulai muncul di ufuk timur yang menandai malam telah berganti pagi, turunlah ia dari pohon dan kembali pulang dengan tangan hampa.
Hari demi hari berlalu, kehidupan berlangsung seperti biasanya, tetapi beberapa tahun kemudian Lubdaka jatuh sakit, dan tak lama kemudian ia pun meninggal. Jenasahnya segera dibuatkan upacara sebagai mana layaknya (ngaben), sedangkan atmanya (rohnya) melayang-layang diangkasa tidak mengetahui jalan yang mesti ditempuh.
Yama memerintahkan abdinya (Kingkara) supaya menangkap jiwa Lubdaka untuk dihadapkan kepadanya dan sekaligus akan disiksa atas semua kejahatan yang ia lakukan selama di dunia. Dilain pihak Siwa juga memerintahkan abdinya (Gana) untuk menghadapkan jiwa Lubdaka kepadanya.   Terjadilah pertempuran sengit antara Kingkara dengan Gana, dan pertempuran itu dimenangkan oleh Gana – abdi Siwa. Jiwa Lubdaka dibawa oleh Gana dengan kereta surgawi dan menghadapkannya kepada Siwa. Siwa menyambutnya dengan ramah, memuji Lubdaka karena telah menghormati malam Siwa (dengan melek/tidak tidur semalam suntuk); dan sekaligus ia mendapatkan anugrah tertinggi kenikmatan surgawi dari Siwa.
Ketika Yama melihat anak buahnya – Kingkara dalam keadaan menyedihkan dan mendengar bagaimana mereka gagal dalam melaksanakan tugasnya, maka rasa marah Yama meluap. Yama ingin mengundurkan diri, karena Siwa dianggap menghalanginya dalam melaksanakan  tugas yang telah dipercayakan kepadanya.
Yama kemudian pergi ke gunung Kailasa menghadap Siwa.  Siwa selanjutnya menjelaskan kepada Yama bahwa pada zaman purba Ia pernah mengajarkan bagaimana malam Siwa harus dihormati; upacara itu demikian suci sehingga dapat membersihkan segala noda dan dosa. Tetapi tidak seorangpun lagi pernah melakukan upacara itu. Lubdakalah yang pertama-tama melakukannya kendatipun tanpa disadarinya, dan sewajarnya kini ia mendapat pahalanya. Akhirnya Yama mengerti setelah mendapatkan penjelasan Siwa, dan sekaligus memohon maaf  kepadanya, setelah itu Yama pulang.

Makna Filosofis Siwaratri
Dalam konsep Trisakti Siwa disebut ’yang melenyapkan’. Ratri artinya malam atau gelap. Ini berkaitan dengan pandangan mata. Dalam bahasa rohani artinya ’gelap ketidaktahuan’ (awidya). Tilem kepitu (peteng pitu) adalah tujuh kegelapan yang bisa menyebabkan orang mabuk/lupa daratan; karena ketampanan/kemolekan, karena harta benda, merasa mampu, merasa keturunan tinggi; karena mabuk tidak memanfaatkan masa muda untuk kegiatan-kegiatan produktif, terlibat pada minuman keras dan mabuk kemenangan.
Jika ketujuh kegelapan (mentalitas ekstrem) itu berkumpul menjadi satu dengan rajas, tamas dan ahamkara di dalam diri seseorang, akan menjadi ragadhi (rajanya ego). Istilah ini diberikan oleh Rsi Walmiki (Ramayana),  yang maknanya musuh terdekat manusia yang bermukim di hati. Di dalam ragadhi, berakumulasi banyak sekali nafsu buruk yang memproduksi berbagai perilaku buruk. Semua ini bermula dari ratri yang memanifestasikan dirinya dalam ’gelap ketidaktahuan’ itu, membuat orang menjadi dungu, bodoh (awidya), lupa terhadap kemanusiawian milik sejatinya. Karena itu tentu saja lupa terhadap Tuhan. Maka dari itu Mpu Tanakung, pujangga sastra religius yang bijak itu berseru : Siwalah Ratri itu! Artinya ”lenyapkanlah gelap ketidaktahuan itu sampai tuntas”. Mpu Tanakung juga tidak kepalang tanggung menyamakan ratri sebagai binatang-binatang sangat berbahaya di dalam hutan, yang harus dibunuh semuanya.
Kata ”Lubdaka” dalam bahasa sansekerta berarti pemburu, yang diburu adalah binatang. Nama lain dari binatang adalah sattwa. Kata sattwa berasal dari kata sat dan twa.  Kata sat berarti ’inti yang mulia’ atau ’hakikat’, kata twa berarti sifat. Jadi kata sattwa berarti ”bersifat inti atau hakikat”. Dengan demikian yang bernama Lubdaka itu adalah pelukisan orang yang selalu mengejar atau mencari ’inti hakikat yang mulia’.
Suatu hari di tengah malam gelap gulita, Lubdaka disebutkan ’naik’ ke puncak pohon bila, dan memetik-metik daun pohon bila (sejumlah 108 lembar). Jelas pohon ini adalah bahasa simbul – arti khiasan bikinan yang dipajang Mpu Tanakung sebagai dekorasi di atas panggung pentas drama ini.
Sesungguhnya Lubdaka tidak naik ke puncak pohon manapun. Dia berada di kamar yang suci di depan sebuah tempat pemujaan (altar), atau di suatu tempat tertentu yang dia pilih, dalam sikap meditasi sempurna (maha samadhi). Yang naik bukan Lubdaka (secara fisik), tetapi kesadaran spiritualnya. Kesadaran tingkat transendental inilah yang diburu sang pemburu – Lubdaka, dan dia berhasil ’naik’ ke puncak kesadaran tertinggi (Paramarthika), tidak tidur sekejappun. Orang yang tidak tidur berarti sadar, disebut tan aturu, tan mereme, atangi atau atutur. Secara spiritual orang yang dikatakan turu dan lupa menurut ajaran Siwa adalah orang yang dibelenggu dan yang hanya menuruti hawa nafsu (raga) atau indriyanya. Lubdaka telah dapat mengendalikan dirinya atau aturu menjadi atangi yaitu menemukan kesadaran akan Sang Diri, sehingga akhirnya dia mendapatkan anugrah dari Dewa Siwa.
Daun bila 108 dapat dijabarkan sebagai berikut : 1(satu) menyatakan tunggal (esa), 8 simbul maya (alam semesta) yang relatif. Ketika semua daun (108) ini dipetik satu demi satu dan dijatuhkan tanpa sengaja oleh Lubdaka, tepat mengenai serta berkumpul di punggung Siwa. Artinya, dalam sadana rohani yang tengah memuncak  seperti ini, Lubdaka tidak memiliki motivasi apa pun, dia ada dalam situasi niskama karma, pasrah total  (saranagati). Kemudian yang terjadi adalah 108 menjadi 9 menyatakan Brahman/Siwa, simbul sangat suci dalam kesadaran mitologi Hindu.
Menguak simbul-simbul ini maka sedikitpun tidak ragu bahwa Lubdaka adalah aktor imajener yang diejawantah pengarang sebagai seorang pemburu yang kejam, membunuh semua binatang yang dalam kata Sansekerta disebut sattwa. Dalam konteks Siwaratri, binatang ini harus diartikan sifat-sifat ’kebinatangan’. Ketika sifat-sifat ’kebinatangan’ dalam dirinya dibinasakan oleh Lubdaka, dia pun dalam dirinya mendapat sattwa, aspek utama Triguna yang mengatasi Rajas (sifat egoistis) dan Tamas (sifat dungu).
Banyak yang beranggapan bahwa Siwaratri adalah malam peleburan dosa. Anggapan ini muncul mungkin karena pemahaman yang kurang tepat tentang cerita sang lubdaka yang katanya adalah pembunuh namun terbebas dari dosa karena bergadang saat malam Siwaratri.  Dalam ajaran Hindu tidak ada peleburan dosadosa adalah hasil perbuatan (karma) yang harus tetap ditebus oleh akibat (phala) berpijak pada keyakinan dasar Hindu, yaitu hukum Karma. Kesalahan yang dilakukan oleh perbuatan nyata harus ditebus dengan perbuatan nyata. Penebusan ’dosa’ dengan tindakan ritual, seperti begadang semalam suntuk, puasa untuk waktu tertentu atau mengucapkan kalimat-kalimat pengakuan tertentu, dipandang dari substansi hukum karma, hanya berfungsi sebagai catharsis (bahasa yunani = penyucian atau pembebasan emosi melalui seni, terutama yang bersifat tragedi). Ritual seperti ini bilamana diartikan secara harfiah bisa menjadi obat penenang yang sangat berbahaya : orang boleh melakukan apa saja demi kepentingan pribadi (misalnya menyalah gunakan kekuasaan), karena dengan melakukan ritual dengan saleh dan taat, pada waktu-waktu tertentu, dosa atau kesalahan itu sudah hapus. Keyakinan semacam ini sama sekali tidak menguntungkan bagi usaha pembentukan ethos kerja, karena membuat manusia meremehkan tanggung jawab. Ritual-ritual seperti itu pada dasarnya hanyalah satu sarana-sarana yang penting untuk pembentukan pribadi melalui olah rohani. Dan ia akan bermanfaat bilamana ini kemudian terefleksi dalam perbuatan nyata.
Kalau kita memperlakukan Siwaratri semacam biografi atau otobiografi dari Lubdaka, artinya sebagai apa yang terbaca seperti terkesan selama ini (hanya dengan begadang maka dosa – dosa akan hilang), orang tidak akan memperoleh menfaat apapun dari karya agung yang dikemas beragam simbolisme nan bermakna tinggi ini.

Siwaratri Sebagai Hari Raya
Secara harfiah Siwaratri berarti malam Siwa. Siwaratri jatuh pada hari Caturdasi kresnapaksa/panglong ping 14 sasih ke-7. Saat ini umat Hindu (tidak semuanya), mengadakan kebaktian memuja dan memuji kebesaran Tuhan/Siwa. Ada dengan cara membaca kitab-kitab suci di Pura-Pura, rumah-rumah dan tempat-tempat tertentu; individual (menyendiri) atau kerkelompok; ada yang menggelar Akanda bhajan bersama di Mandir-Mandir dengan cara menyanyikan lagu-lagu pujian secara bergantian sampai pagi (akhanda bhajan).
Arti lain juga diberikan orang kepada Siwaratri sebagai malam perenungan dosa, (bukan peleburan dosa), dengan tujuan tercapainya kesadaran diri, dengan cara Brata. Ada 3 jenis Brata pada hari raya Siwaratri terdiri dari:
1.   Utama, melaksanakan:
a)     Monabrata (berdiam diri dan tidak berbicara).
b)     Upawasa (tidak makan dan tidak minum).
c)      Jagra (berjaga, tidak tidur).
2.   Madhya, melaksanakan:
a)     Upawasa.
b)     Jagra (berjaga, tidak tidur)
3.   Nista, hanya melaksanakan Jagra (berjaga, tidak tidur)
Dengan demikian Siwaratri dimaksudkan memberikan motivasi pada setiap umat Hindu untuk selalu sadar dengan berusaha semaksimal mungkin menghindari perbuatan dosa dan selalu beriktiar untuk memperbanyak perbuatan dharma.***

------------------------

Baca juga : Tajen dan Tabuh Rah

Kamis, 09 Maret 2017

TAJEN dan TABUH RAH


Keadaan perekonomian masyarakat yang cenderung semakin sulit akibat kurangnya lapangan kerja, serta rendahnya tingkat penghasilan masyarakat merupakan beban yang dialami sebagian besar mesyarakat saat ini.
Berbagai hal tersebut menyebabkan mereka berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya ditempuh berbagai cara baik yang legal, maupun yang illegal atau bertentangan dengan hukum. Salah satu pilihan yang dianggap sangat menjanjikan tanpa harus bersusah payah bekerja, adalah berjudi. Judi dianggap sebagai pilihan yang tepat bagi rakyat kecil untuk mencari uang dengan lebih mudah.
Di samping untuk memenuhi kebutuhannya ada juga anggota masyarakat yang melakukan perjudian karena kesenangan atau kegemarannya akan judi. Meskipun keadaan mereka secara ekonomis cukup baik dan bahkan seringkali sudah dapat memenuhi kebutuhannya dengan baik, tetapi tetap saja mereka melakukan judi karena merupakan kegemaran atau hobynya.
Judi adalah permainan menarik yang berasal dari negeri Tirai Bambu China, banyak macamnya : Ma-Ciok, Dadu, kartu Ce-Ki, dsb. Judi menyebar ke seluruh dunia dengan modifikasi berbeda sesuai negeranya. Yang gemar judi justru orang China, dan banyak masyarakat China bisa hidup hingga mati dari nafkah judi. Istilah mengatakan dimana ada orang China pasti disitu ada judi.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 303 ayat (3) mengartikan judi adalah “tiap-tiap permainan yang mendasarkan pengharapan buat menang pada umumnya bergantung kepada untung-untungan saja dan juga kalau pengharapan itu jadi bertambah besar karena kepintaran dan kebiasaan pemainan. Termasuk juga main judi adalah pertaruhan tentang keputusan perlombaan atau permainan lain, yang tidak diadakan oleh mereka yang turut berlomba atau bermain itu, demikian juga segala permainan lain-lainnya”.
Dari pengertian diatas, maka ada tiga unsur agar suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai judi. Yaitu adanya unsur :
Ø  Permainan/perlombaan.
Perbuatan yang dilakukan biasanya berbentuk permainan atau perlombaan. Jadi dilakukan semata-mata untuk bersenang-senang atau kesibukan untuk mengisi waktu senggang guna menghibur hati dan bersifat rekreatif. Namun, di sini para pelaku tidak harus terlibat dalam permainan. Ada juga penonton permainan yang menjadi pelaku, bertaruh untuk salah satu pihak. Maka, dimana ada permainan, di sana ada pihak yang menang dan yang kalah.
Ø  Untung-untungan.
Artinya untuk memenangkan permainan atau perlombaan, lebih banyak digantungkan kepada unsur spekulatif atau untung-untungan.
Ø  Ada taruhan.
Dalam permainan atau perlombaan ini ada taruhan yang dipasang oleh para pihak pemain atau bandar. Baik dalam bentuk uang ataupun harta benda lainnya. Akibat adanya taruhan maka tentu saja ada pihak yang diuntungkan dan ada yang dirugikan. Unsur ini merupakan unsur yang paling utama untuk menentukan apakah sebuah perbuatan dapat disebut sebagai judi atau bukan.

Dari uraian di atas maka jelas bahwa segala perbuatan yang memenuhi ketiga unsur diatas, adalah masuk kategori judi meskipun dibungkus dengan nama-nama yang indah sehingga nampak seperti sumbangan, misalnya dulu ada PORKAS atau SDSB, bahkan sepak bola, bulu tangkis, tinju, dllnya bila dalam prakteknya memenuhi ketiga unsur diatas maka masuk kategori judi.

Tajen
Tajen atau sabungan ayam nyaris tak dapat dilepaskan dari kehidupan orang Hindu-Bali. Banyak sekali persepsi masyarakat Hindu-Bali yang memandang bahwa tajen merupakan budaya yang tidak bisa dipisahkan dengan tatanan kehidupan masyarakat Bali; dan ada juga yang memberikan pandangan bahwa tajen merupakan persyaratan dari yadnya dan merupakan budaya yang ada sejak dahulu.
Memang tidak bisa dipungkiri dari sudut pandang  berbagai kalangan masyarakat Bali, bila kita amati apabila ada upacara-upacara yadya disuatu daerah atau banjar-banjar di Bali, tajen tak lepas dari kegiatan tersebut, meskipun terkadang orientasinya bukan hanya sekedar upacara namun dijadikan sebagai wadah hiburan oleh masyarakat Bali dan identik dengan sebuah taruhan.
Secara logika sebenarnya tabuh rah tidak sama dengan tajen. Tabuh rah adalah bagian dari upacara agama khususnya dalam upacara pacaruan (bhuta yadya). Setelah berabad-abad dimana seiring perubahan pola pikir manusia dan budaya  tabuh rah mengalami pergeseran makna dan tujuannya menjadi tajen. Tajen yang sekarang dilakukan masyarakat Bali  merupakan sebuah taruhan dengan menggunakan materi atau uang, sehingga merupakan perjudian murni - bukan yadnya. Adanya larangan tajen kerena sering dikaitkan dengan judi menyebabkan tajen kemudian dilakukan secara sembunyi-sembunyi oleh warga Bali.
Dalam Manawa Dharmasastra V.45, tentang hiburan dengan penyiksaan binatang disebutkan sbb :

“Yo’himsakaani bhuutani hina. Tyaatmasukheashayaa, sa jiwamsca mritascaiva na, Kvacitsukhamedhate”
Artinya:
“Ia yang menyiksa mahluk hidup yang tidak berbahaya dengan maksud untuk mendapatkan kepuasan nafsu untuk diri sendiri, orang itu tidak akan pernah merasakan kebahagiaan . Ia selalu berada dalam keadaan tidak hidup dan tidak pula mati.”


Tabuh Rah
Tabuh rah adalah taburan darah binatang korban yang dilaksanakan dalam rangkaian upacara agama (yadnya). Upacara yang bisa dilaksanakan tabuh rah juga tidak semua upacara hanya upacara-upacara pecaruan. Tabuh rah menurut Hindu merupakan rangkaian yadnya diatur dalam sastra sebagai berikut :

1.         Prasasthi batur Abang A Tahun caka 933 isinya “Mwang yan pakarya, masanga kunang wgila ya manawunga makantang tlung parahatan ithaninya tan pamwita, tan pawwta ring nayaka saksi.”
Artinya :
Lagi pula mengadakan upacara upacara misalnya tawur kesange, patutlah mengadakan sabungan ayam, tiga angkatan (3 saet / 3 putaran) di desanya, tidaklah minta ijin, tidaklah memberitahukan kepada Pemerintah.

2.        Prasasthi Batuan tahun caka 944 berbunyi : “Kunang yang manawung ing pangudwan makatang tlung marahatan tan pamwinta mayaka sanksi mwang sawung tangur, tan knana minta pamli”.
Artinya :
Adapun bila mengadu ayam ditempat suci dilakukan tiga saet tidak minta ijin kepada Pemerintah dan juga kepada Pengawas sabungan, tidak dikenakan pajak.

3.        Dalam rontal Ciwa Tatwa purana isinya : ”Mwah ri tileming kesanga,hulun magawe yoga, teka wenang wang ing madhya magawe tawur kasowang an den hana pranging sata wenang nyepi sadina ika labian sang kala daca bumi, yanora samangkana rug ikang ing madya”.
Artinya :
Lagi pada tilem kesange aku (Dewa Ciwa) mengadakan yoga, berkewajibanlah orang di bumi ini membuat persembahan masing-masing, lalu adakan pertarungan ayam dan nyepi sehari, ketika itu berhidangan sang kala daca bhumi, jika tidak rusaklah manusia di bumi.

Jika ditinjau dari rontal tersebut diatas, jelas bahwa upacara tabuh rah hanya dilakukan untuk bhuta yadnya, pelaksanaannya tidak perlu mendapat ijin dari pemerintah, dan dilakukan 3 saet. Pada hakekatnya setiap bentuk bhuta yadnya mempergunakan darah binatang sebagai persembahan kepada bhuta kala; yaitu bhuta bhucari, kala bhucari dan durga bhucari, tidak dipergunakan pada upacara Pitra Yadnya dan Dewa Yadnya. Binatang yang dijadikan yadnya tersebut dipercaya akan mengalami proses peningkatan (penyupatan) jiwa pada reinkarnasi selanjutnya menjadi binatang lain dengan derajat lebih tinggi atau manusia.
Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat melalui beberapa kali seminar kesatuan tafsir terhadap aspek-aspek agama Hindu, dengan melibatkan berbagai pakar, menetapkan pelaksanaan “tabuh rah” dalam rangkaian Bhuta Yajña, sebagai berikut:
1.         Tabuh Rah dilaksanakan dengan Panyambleh (anetak gulu ayam) disertai dengan upakara Yajña (sesajen).
2.         Tabuh Rah dalam bentuk “perang sata” (adu ayam) adalah satu drśta (tradisi) yang berlaku di masyarakat yang pelaksanaannya dapat diganti dengan penyambleh”.
3.         Apabila dilakukan dengan “Perang Sata” (adu ayam), harus memenuhi syarat sbb :
a.         Upacara yang boleh disertai “Perang sata” adalah upacara Bhuta Yajña sebagai
berikut :  Caru Panca Kelud (Panca Sanak Madurgha), Caru Rsi Ghana, Caru Balik Sumpah, Tawur Agung, Tawur Labuh gentuh, Tawur Panca Walikrama, Tawur Ekadasa Rudra.
b.         Pelaksanaannya dilakukan di tempat upacara pada saat mengakhiri upacara tersebut.
c.         Diiringi dengan “adu tingkih” (kemiri), adu pangi, adu telur, adu kelapa, dilengkapi andel-andel serta upakaranya.
d.         Pelaksananya adalah Sang Yajamana (yang mempersembahkan upacara) dengan berbusana pakaian upacara sembahyang.
e.         Perang sata maksimal dilakukan “Tlung Prahatan” (3 sahet), tidak disertai taruhan (taruhan hanya memakai pis bolong).
4          Selain ketentuan butir 1,2,3 di atas, merupakan suatu penyimpangan.



Pandangan Hindu Tentang Judi
Masalah judi adalah masalah yang menyangkut kehidupan masyarakat (walau tidak seluruhnya), dan jika tidak ditangani dengan serius dikawatirkan dapat menimbulkan berbagai sosial, keamanan, spiritual, baik pribadi pelaku maupun lingkungan sosial. Dalam Kitab Suci Weda, dijelaskan tentang  judi sebagai berikut :

Dvesti śva rūr apa jaya ruóaddhi na nathito vindate marîitāram, aśvasyeva jarato vasnyasya nāham vindāmi kitavasya bogam. Rgveda X.34.3.
Terjemahan :
(Ibu mertua membenci, istrinya menghindari dia, sementara pada waktu mengemis, tidak menemukan seorangpun yang berbelas kasihan. Istri penjudi itu berkata: “Sebagai seekor kuda tua  yang tidak bermanfaat, kami sangat menderita menjadi istri seorang penjudi”).

Jāyā tayate kitavasya hìnā mātā putrasya carata kva svit, rnāvā bibhyad dhanam icchamānah anyeśām astam upa naktam eti. Rgveda X.34.10.
Terjemahan :
(Istri seorang penjudi yang mengembara mengalami penderitaan yang sangat menyedihkan, dan ibu seorang penjudi semacam itu dirundung penderitaan. Dia, yang dalam lilitan hutang dan kekurangan uang, memasuki rumah orang lain dengan diam-diam di malam hari)

Aksair mā dīvya kśimit krśasva vitte ramasva bahu manyamānah, tatra gāvah kitava tatra jaya tan me vicate savitāyamarya. Rgveda X.34.13.
Terjemahan :
(Wahai para penjudi, janganlah bermain judi, bajaklah tanahmu. Selalu puas dengan penghasilanmu, pikirkanlah itu cukup. Pertanian menyediakan sapi-sapi bentina dan dengan itu istrimu tetap bahagia. Deva Savitā telah menasehatimu untuk berbuat demikian)

Lebih jauh di dalam Manavadharmaśāstra yang merupakan hukum Hindu dalam sloka IX.221, 222, 223, 224, 225, 226, dan 227, menyatakan sbb :

Dyūtam samah vayam caiva rāja rātrannivarayet, rājanta karaóa vetau dvau dośau prthivikśitam. Manavadharmaśāstra IX.221.
Terjemahan :
(Perjudian dan pertaruhan supaya benar-benar dikeluarkan dari wilayah pemerintahannya, ke dua hal itu menyebabkan kehancuran negara dan generasi muda).

Prakaśam etat taskaryam yad devanasama hvayau, tayornityam pratighate nrpatir yatna van bhavet. Manavadharmaśāstra IX.222.
Terjemahan :
(Perjudian dan pertaruhan menyebabkan pencurian,  karena itu pemerintah harus menekan ke dua hal itu)

Apranibhiryat kriyate tal loke dyūtam ucchyate, pranibhin kriyate yāstu na vijñeyah sāmahvayah. Manavadharmaśāstra IX.223.
Terjemahan :
(Kalau barang-barang tak berjiwa yang dipakai pertaruhan sebagai uang, hal itu disebut perjudian, sedang bila yang dipakai adalah benda-benda berjiwa untuk dipakai pertaruhan, hal itu disebut pertaruhan).

Dyūtam sāmahvayam caiva yah kūryat karayate va, tansarvan ghatayed rājaśudramś ca dvija linggi. Manavadharmaśāstra IX.224.
Terjemahan :
(Hendaknya pemerintah menghukum badanniah semua yang berjudi dan  bertaruh atau mengusahakan kesempatan untuk itu, seperti seorang pekerja yang memperlihatkan dirinya (menggunakan atribut) seorang  pandita)

Kitavān kuśìlavān kruran paśandasthamśca manavan,vikramaśthanañca undikamś ca kśipram nirvāśayetprat. Manavadharmaśāstra IX.225.
Terjemahan :
(Penjudi-penjudi, penari-penari dan penyanyi-penyanyi (erotis?), orang- orang yang kejam, orang-orang bermasalah di kota, mereka yang menjalankan pekerjaan terlarang dan penjual-penjual minuman keras, hendak nya supaya dijauhkan dari kota (oleh pemerintah) sesegera mungkin).

Eta raśtre vartamana rajñah pracchannataskarah, vikarma kriyaya nityam bhadante bhadrikah prajāh. Manavadharmaśāstra IX.226.
Terjemahan :
(Bilamana mereka yang seperti, bermukim di wilayah negara, maka cepat-lambat, akan mengganggu  penduduk yang kebiasaannya baik dengan cara kebiasaannya yang buruk).

Dyūtam etat pūra kalpe drśta vairakaram mahat, tasmād dyūtam na seveta
hasyartham api buddhimān
. Manavadharmaśāstra IX.227.
Terjemahan :
(Di dalam jaman ini, keburukan judi itu telah nampak, menyebabkan  timbulnya permusuhan. Oleh karena itu, orang-orang yang baik harus menjauhi kebiasaan kebiasaan ini,walaupun untuk kesenangan (hiburan).

Sesuai sloka-sloka diatas, bahwa  perjuadian dan pertaruhan,  ke dua hal itu menyebabkan kehancuran negara dan generasi muda (sloka 221),  menimbulkan pencurian (sloka 222). Bila objeknya benda-benda tak berjiwa disebut perjudian, sedangkan bila objeknya mahluk hidup disebut pertaruhan (sloka 223). Hendaknya menghukum badan niah semua yang berjudi (sloka 224), Penjudi-penjudi disebutkan orang - orang yang kejam, orang-orang bermasalah yang menjalankan pekerjaan terlarang (sloka 225), mereka itu yang merupakan pencuri terselubung (sloka 226), menyebabkan  timbulnya permusuhan (sola 227).
Dampak judi menimbulan kegelapan (Awidya), kalau sudah “panas” (jengah bhs Bali), apapun bisa dipertaruhkan : mobil, sepeda motor, bahkan istri bisa dipertarukan seperti yang terjadi dalam Mahabhara, dimana Panca Pandawa sampai mempertaruhkan Drupadi - istri sendiri melawan Korawa.
Menurut sastra Hindu, kalah atau menang dalam perjudian membawa munculnya sadripu (enam musuh) pada diri seseorang. Sadripu adalah :
1.         kama (nafsu tak terkendali),
2.         lobha (serakah),
3.         kroda (kemarahan),
4.         mada (kemabukan),
5.         moha (sombong), dan
6.         matsarya (cemburu, dengki, irihati).

Penjudi yang menang menguatkan : kama, lobha, mada, dan moha pada dirinya, dan yang kalah menguatkan: kroda, dan matsarya. Dalam Bhagawadgita III.37 disebutkan :

Yajnarthat Karmano Nyatra, Loko Yam Karmabandhanah, Tadartham Karma Kaunteya, Muktasangah Samacara
Terjemahan :
“Kuatnya keinginan dan kemarahan yang lahir dari nafsu rajaguna menjadikan lobha dan berdosa yang merupakan musuh di dunia”

Keputusan-keputusan atau ketetapan-ketetapan PHDI belum disosialisasikan secara luas kepada  masyarakat khususnya umat Hindu. Sehingga pelaksanaan tabuh rah yang berifat “sakral” cendrung berubah menjadi judi sabungan ayam dengan dalih tabuh rah. Kenyataan di masyarakat dengan dalih untuk penggalian dana pembangunan pura dll maka diadakan tajen, dana punia melalui pungutan karcis masuk dan sebagainya.
Bila judi berupa tajen kini banyak dimasyarakat, bukanlah berarti bahwa umat Hindu tidak taat melaksanakan agamanya, melainkan karena kurang dipahaminya tatwa (filsafat), sehingga umat hindu tidak mengetahui bahwa judi tajen itu bertentangan dengan ajaran agama Hindu, maka perlu pencerahan dari tokoh-tokoh Agama Hindu, dari PHDI untuk memperkecil dan mencegah berkembangnya judi tajen tersebut, serta aparat kepolisian agar menegakkan hukum, khususnya undang-undang larangan judi di Indonesia.


------------------------------