Cerita Lubdaka
Dalam Kakawin Siwaratrikalpa karya Mpu Tanakung
diceritakan bahwa, suatu hari tepatnya
pada hari panglong 14 sasih ke-7 (hari ke 14 bulan mati pada sasih ke tujuh), seorang
pemburu bernama Lubdaka pagi-pagi
seperti biasa ia meninggalkan rumahnya untuk berburu ke hutan. Setelah tiba di
hutan, ia mulai menyiapkan busur dan anak panahnya menantikan sasaran buruannya.
Pada hari ini tidak seekor binatangpun yang muncul; hal ini sebelumnya tidak
pernah terjadi. Jam berganti jam, hingga mendekati malam ia masih
berputar-putar, namun tidak satupun binatang buruan yang dapat ditemuinya.
Malam semakin larut lebih-lebih kelebatan hutan semakin menambah kegelapan
suasana. Keadaan hutan semakin gelap sehingga ia mulai merasakan takut kalau
berjalan di tengah kegelapan seperi itu, dan akhirnya ia memutuskan untuk
tinggal/naik di atas pohon. Takut akan tertidur, lalu jatuh dan menjadi mangsa
binatang hutan, ia tetap berjaga-jaga semalaman itu. Agar tidak tidur, ia pun
memetik daun-daun pohon maja/bila dan menjatuhkannya ke air danau. Daun-daun
itu jatuh di atas sebuah lingga Siwa
(nora ginawe), dan dengan tidak
diketahui daun-daun maja itu jatuh ditempat itu. Ketika matahari mulai muncul
di ufuk timur yang menandai malam telah berganti pagi, turunlah ia dari pohon
dan kembali pulang dengan tangan hampa.
Hari demi
hari berlalu, kehidupan berlangsung seperti biasanya, tetapi beberapa tahun
kemudian Lubdaka jatuh sakit, dan tak lama kemudian ia pun meninggal. Jenasahnya
segera dibuatkan upacara sebagai mana layaknya (ngaben), sedangkan atmanya
(rohnya) melayang-layang diangkasa tidak mengetahui jalan yang mesti ditempuh.
Yama
memerintahkan abdinya (Kingkara) supaya
menangkap jiwa Lubdaka untuk dihadapkan kepadanya dan sekaligus akan disiksa
atas semua kejahatan yang ia lakukan selama di dunia. Dilain pihak Siwa juga
memerintahkan abdinya (Gana) untuk
menghadapkan jiwa Lubdaka kepadanya.
Terjadilah pertempuran sengit antara Kingkara
dengan Gana, dan pertempuran itu dimenangkan
oleh Gana – abdi Siwa. Jiwa Lubdaka
dibawa oleh Gana dengan kereta
surgawi dan menghadapkannya kepada Siwa. Siwa menyambutnya dengan ramah, memuji
Lubdaka karena telah menghormati malam Siwa (dengan melek/tidak tidur semalam
suntuk); dan sekaligus ia mendapatkan anugrah tertinggi kenikmatan surgawi dari
Siwa.
Ketika
Yama melihat anak buahnya – Kingkara
dalam keadaan menyedihkan dan mendengar bagaimana mereka gagal dalam
melaksanakan tugasnya, maka rasa marah Yama
meluap. Yama ingin mengundurkan diri,
karena Siwa dianggap menghalanginya dalam melaksanakan tugas yang telah dipercayakan kepadanya.
Yama
kemudian pergi ke gunung Kailasa menghadap Siwa. Siwa selanjutnya menjelaskan kepada Yama
bahwa pada zaman purba Ia pernah mengajarkan bagaimana malam Siwa harus
dihormati; upacara itu demikian suci sehingga dapat membersihkan segala noda
dan dosa. Tetapi tidak seorangpun lagi pernah melakukan upacara itu. Lubdakalah
yang pertama-tama melakukannya kendatipun tanpa disadarinya, dan sewajarnya
kini ia mendapat pahalanya. Akhirnya Yama mengerti setelah mendapatkan
penjelasan Siwa, dan sekaligus memohon maaf
kepadanya, setelah itu Yama pulang.
Makna Filosofis Siwaratri
Dalam
konsep Trisakti Siwa disebut ’yang melenyapkan’. Ratri artinya malam atau gelap. Ini berkaitan dengan pandangan
mata. Dalam bahasa rohani artinya ’gelap ketidaktahuan’ (awidya). Tilem kepitu (peteng
pitu) adalah tujuh kegelapan yang bisa menyebabkan orang mabuk/lupa
daratan; karena ketampanan/kemolekan, karena harta benda, merasa mampu, merasa
keturunan tinggi; karena mabuk tidak memanfaatkan masa muda untuk
kegiatan-kegiatan produktif, terlibat pada minuman keras dan mabuk kemenangan.
Jika
ketujuh kegelapan (mentalitas ekstrem) itu berkumpul menjadi satu dengan rajas,
tamas dan ahamkara di dalam diri seseorang, akan menjadi ragadhi (rajanya ego). Istilah ini diberikan oleh Rsi Walmiki (Ramayana), yang maknanya musuh terdekat manusia yang
bermukim di hati. Di dalam ragadhi, berakumulasi banyak sekali nafsu buruk yang
memproduksi berbagai perilaku buruk. Semua ini bermula dari ratri yang
memanifestasikan dirinya dalam ’gelap ketidaktahuan’ itu, membuat orang menjadi
dungu, bodoh (awidya), lupa terhadap
kemanusiawian milik sejatinya. Karena itu tentu saja lupa terhadap Tuhan. Maka
dari itu Mpu Tanakung, pujangga sastra religius yang bijak itu berseru :
Siwalah Ratri itu! Artinya ”lenyapkanlah
gelap ketidaktahuan itu sampai tuntas”. Mpu Tanakung juga tidak kepalang
tanggung menyamakan ratri sebagai binatang-binatang sangat berbahaya di dalam
hutan, yang harus dibunuh semuanya.
Kata
”Lubdaka” dalam bahasa sansekerta
berarti pemburu, yang diburu adalah binatang. Nama lain
dari binatang adalah sattwa. Kata sattwa berasal dari kata sat dan twa. Kata sat berarti ’inti yang mulia’ atau
’hakikat’, kata twa berarti sifat. Jadi kata sattwa berarti ”bersifat inti atau hakikat”. Dengan demikian yang
bernama Lubdaka itu adalah pelukisan orang yang selalu mengejar atau mencari
’inti hakikat yang mulia’.
Suatu hari
di tengah malam gelap gulita, Lubdaka disebutkan ’naik’ ke puncak pohon bila, dan memetik-metik daun pohon bila (sejumlah 108 lembar). Jelas pohon
ini adalah bahasa simbul – arti khiasan bikinan yang dipajang Mpu Tanakung sebagai dekorasi di
atas panggung pentas drama ini.
Sesungguhnya
Lubdaka tidak naik ke puncak pohon manapun. Dia berada di kamar yang suci di
depan sebuah tempat pemujaan (altar), atau di suatu tempat tertentu yang dia
pilih, dalam sikap meditasi sempurna (maha samadhi). Yang naik bukan Lubdaka (secara fisik),
tetapi kesadaran spiritualnya. Kesadaran tingkat transendental inilah yang
diburu sang pemburu – Lubdaka, dan dia berhasil ’naik’ ke puncak kesadaran
tertinggi (Paramarthika), tidak tidur sekejappun. Orang yang tidak
tidur berarti sadar, disebut tan aturu,
tan mereme, atangi atau atutur.
Secara spiritual orang yang dikatakan turu
dan lupa menurut ajaran Siwa adalah orang yang dibelenggu dan yang hanya
menuruti hawa nafsu (raga) atau indriyanya. Lubdaka telah dapat mengendalikan
dirinya atau aturu menjadi atangi yaitu menemukan kesadaran akan
Sang Diri, sehingga akhirnya dia mendapatkan anugrah dari Dewa Siwa.
Daun
bila 108 dapat dijabarkan sebagai
berikut : 1(satu) menyatakan tunggal (esa), 8 simbul maya (alam semesta) yang
relatif. Ketika semua daun (108) ini dipetik satu demi satu dan dijatuhkan
tanpa sengaja oleh Lubdaka, tepat mengenai serta berkumpul di punggung Siwa.
Artinya, dalam sadana rohani yang tengah memuncak seperti ini, Lubdaka tidak memiliki motivasi
apa pun, dia ada dalam situasi niskama karma, pasrah total (saranagati).
Kemudian yang terjadi adalah 108 menjadi 9 menyatakan Brahman/Siwa, simbul
sangat suci dalam kesadaran mitologi Hindu.
Menguak
simbul-simbul ini maka sedikitpun tidak ragu bahwa Lubdaka adalah aktor
imajener yang diejawantah pengarang sebagai seorang pemburu yang kejam,
membunuh semua binatang yang dalam kata Sansekerta disebut sattwa. Dalam konteks Siwaratri, binatang ini harus diartikan
sifat-sifat ’kebinatangan’. Ketika sifat-sifat ’kebinatangan’ dalam dirinya
dibinasakan oleh Lubdaka, dia pun dalam dirinya mendapat sattwa, aspek utama Triguna yang mengatasi Rajas (sifat egoistis)
dan Tamas (sifat dungu).
Banyak yang
beranggapan bahwa Siwaratri adalah malam
peleburan dosa. Anggapan ini
muncul mungkin karena pemahaman yang kurang tepat tentang cerita sang lubdaka
yang katanya adalah pembunuh namun terbebas dari dosa karena bergadang saat
malam Siwaratri. Dalam
ajaran Hindu tidak ada peleburan dosa, dosa adalah hasil perbuatan (karma) yang harus tetap ditebus oleh akibat (phala) berpijak pada keyakinan dasar Hindu, yaitu hukum Karma.
Kesalahan yang dilakukan oleh perbuatan nyata harus ditebus dengan perbuatan
nyata. Penebusan ’dosa’ dengan tindakan ritual, seperti begadang semalam
suntuk, puasa untuk waktu tertentu atau mengucapkan kalimat-kalimat pengakuan
tertentu, dipandang dari substansi hukum karma, hanya berfungsi sebagai catharsis (bahasa yunani = penyucian
atau pembebasan emosi melalui seni, terutama yang bersifat tragedi). Ritual
seperti ini bilamana diartikan secara harfiah bisa menjadi obat penenang yang
sangat berbahaya : orang boleh melakukan apa saja demi kepentingan pribadi
(misalnya menyalah gunakan kekuasaan), karena dengan melakukan ritual dengan
saleh dan taat, pada waktu-waktu tertentu, dosa atau kesalahan itu sudah hapus.
Keyakinan semacam ini sama sekali tidak menguntungkan bagi usaha pembentukan
ethos kerja, karena membuat manusia meremehkan tanggung jawab. Ritual-ritual
seperti itu pada dasarnya hanyalah satu sarana-sarana yang penting untuk
pembentukan pribadi melalui olah rohani. Dan ia akan bermanfaat bilamana ini
kemudian terefleksi dalam perbuatan nyata.
Kalau kita
memperlakukan Siwaratri semacam biografi atau otobiografi dari Lubdaka, artinya
sebagai apa yang terbaca seperti terkesan selama ini (hanya dengan begadang maka dosa – dosa akan hilang), orang tidak akan memperoleh menfaat apapun dari karya
agung yang dikemas beragam simbolisme nan bermakna tinggi ini.
Siwaratri Sebagai Hari Raya
Secara
harfiah Siwaratri berarti malam Siwa.
Siwaratri jatuh pada hari Caturdasi
kresnapaksa/panglong ping 14 sasih ke-7. Saat ini umat Hindu (tidak
semuanya), mengadakan kebaktian memuja dan memuji kebesaran Tuhan/Siwa. Ada
dengan cara membaca kitab-kitab suci di Pura-Pura, rumah-rumah dan
tempat-tempat tertentu; individual (menyendiri) atau kerkelompok; ada yang
menggelar Akanda bhajan bersama di Mandir-Mandir dengan cara menyanyikan
lagu-lagu pujian secara bergantian sampai pagi (akhanda bhajan).
Arti lain juga diberikan orang kepada Siwaratri sebagai
malam perenungan dosa, (bukan peleburan dosa), dengan tujuan tercapainya
kesadaran diri, dengan cara Brata. Ada 3 jenis Brata pada hari raya Siwaratri
terdiri dari:
1. Utama,
melaksanakan:
a)
Monabrata
(berdiam diri dan tidak berbicara).
b)
Upawasa
(tidak makan dan tidak minum).
c)
Jagra (berjaga,
tidak tidur).
2. Madhya, melaksanakan:
a)
Upawasa.
b)
Jagra
(berjaga, tidak tidur)
3. Nista,
hanya melaksanakan Jagra (berjaga, tidak tidur)
Dengan
demikian Siwaratri dimaksudkan memberikan motivasi pada setiap umat Hindu untuk
selalu sadar dengan berusaha semaksimal mungkin menghindari perbuatan dosa dan
selalu beriktiar untuk memperbanyak perbuatan dharma.***
------------------------
Baca juga : Tajen dan Tabuh Rah
Winning303 Agen betting online yang sudah berpengalaman dan profesional..Hadirkan Permainan Lengkap dan Pelayanan Ramah serta Profesional yang membuat anda tidak akan berpaling lagi..
BalasHapusCukup 1 ID saja dan tidak perlu ribet ganti user id untuk bermain:
-Sports
-Poker
-Live Casino
-Slots
-Lotere/Togel
-Sabung Ayam'
Winning 303 Banjir Hadiah Yukz gabung bersama kami dan Dapatkan Langsung
Bonus New Member Slot 15%
Bonus New Member Poker 10%
Bonus New Member Sabung Ayam 10%
Bonus New Member Sportsbook & Live Casino 20%
Bonus Deposit 10% Setiap Hari
Bonus Deposit 10% Slot Setiap Hari
Bonus Deposit Sabung Ayam 5%
Bonus Cashback 5-10%
Bonus 100% 7x Kemenangan Beruntun Sabung Ayam
Diskon Togel Hingga 65%
Bonus Rollingan Slot 1%
Bonus Rollingan Poker dan Live Casino 0.5%
Yang Lain Sudah Bergabung...Sekarang Giliran Anda....
Customer Service 24 Jam
Hubungi Kami di :
WA: +6287785425244
Yuk di add pin WA: +628122222995
BalasHapusSabung ayam online dan semua jenis permainan judi online ..
Semua bonus menarik kami berikan setiap hari nya ... :)
www,bolavita, ltd sabung ayam filipina