Selasa, 13 September 2016

Apakah Awatara itu?

1. Awatara Disebutkan Dalam Purana

Istilah Awatara adalah ciri khas yang terdapat di dalam Agama Hindu, terutama istilah itu baru muncul di dalarn purana. Di dalam Catur Weda istilah itu belum terlihat secara jelas dan gamblang. Akan tetapi, di dalam Pancamo Weda atau di dalam Bhagawadgita bab IV, telah dijelaskan bahwa Tuhan kalau situasi kontekstual sangat mendesak untuk menengakkan dharma, maka Tuhan muncul menjelma dari yuga ke yuga (zaman ke zaman).
Pustaka suci Agama Hindu bukanlah hanya Catur Weda, tetapi begitu luas, meliputi Weda, Upaweda, Wedangga, Upanishad, Purana, Itihasa dan sastra-sastra weda lainnya. Kata Awatara baru muncul dalam perkembangan Weda belakangan di dalam pustaka suci purana. Purana yang menyebut kehadiran Awatara, antara lain: Brahma Samhita, Bhagawata Purana, Agni Purana, Bhagawadgita dan lain-lainnya. Bhagawadgita diyakini merupakan sari-sari dari Upanishad. Upanishad juga disebut dengan Wedanta (akhir dari Weda). Dengan demikian sebenarnya Weda mengakui kehadiran Awatara, tetapi secara tidak langsung.

2. Pengertian Awatara dan Tolok Ukurnya

            Awatara adalah Tuhan yang menjelma ke dunia dalam wujud tertentu secara konkret yang dapat dilihat secara nyata di dunia ini. Awatara (penjelmaan Tuhan) turun ke dunia disebutkan dalam sloka Bhagawadgitha sbb :

Ajo pi sann avyayatma
Bhutanam isvara ‘pi san
Prakritim svam adhishthaya
Sambhavamy atmamayaya (Bhagawadgita, IV.6) 
Artinya :
Walaupun Aku tak terlahirkan, tak termusnahkan
Dan Aku adalah pencipta segala makhluk hidup
Namun atas kekuasaanKu sendiri
Dan dengan kekuatan mayaKu, Aku menjelma (Pendit, 2002 : 88)

Parameter dasar untuk mengukur apakah seorang sosok itu Awatara atau tidak, digunakan setidaknya 7 syarat utama atau siddhi (Kasturi : 1987 :157) sebagai berikut :

1.       Aiswarya (kemuliaan) dalam kehidupannya tidak pernah tercela, dihormati dan di puja oleh jutaan manusia.
2.       Kerthi (kemakmuran) tidak pernah merasa dan mengalami kekurangan suatu apapun.
3.       Jnana (kebijaksanaan) mampu mengetahui apa saja tentang jagat ini, mengetahui yang akan dipikirkan, sedang dipikirkan dan yang telah dipikirkan seseorang, masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang.
4.       Wairagya (tanpa keterikatan) tidak terikat oleh mamakara (rasa memiliki) dan segala bentuk keterikatan duniawi.
5.        Utpathi (daya cipta) mampu menciptakan apa saja.
6.        Sthithi (pemelihara) mampu kalau mau menghidupkan orang mati.
7.        Laya (pemusnah) mampu melenyapkan apa pun yang dikehendaki.

3. Tujuan Tuhan Turun Sebagai Awatara

Tujuan utama Tuhan turun ke dunia lebih jauh dijelaskan di dalam sloka Bhagawadgita berikut :

Yadaa-yadaa hi dharmasya,
Glanir bhavati bhaarata,
Abhyutthanam adharmasya,
Tada tmanam srijamy aham. (Bhagawadgita, IV.7)
Artinya :
manakala dharma hendak sirna,
dan adharma hendak merajalela,
saat itu, wahai keturunan Bharata,
Aku sendiri turun menjelma. (Pendit, 2002 : 88)

      
Paritranaya sadhunaam,
Vinasaya cha dushkritam,
Dharma samsthapanarthaya,
Sambhavaami yuge-yuge.  (Bhagawadgita, IV.8)
Artinya :
demi untuk melindungi kebajikan
demi untuk mernusnahkan kelaliman,
dan demi untuk menegakkan dharrna,
Aku lahir ke dunia dari masa ke masa. (Pendit, 2002 : 89)

4. Awatara Ditinjau Dari Sudut Kadar Kesaktian Ketuhanan

  Klasifikasi ini memberi petunjuk bahwa tidak setiap Awatara mempunyai tingkat kesadaran aspek Ketuhanan yang sempurna atau penuh, tetapi ada tingkatnya sesuai dengan kebutuhan zaman pada saat Awatara turun ke dunia ini. Atas dasar tinjauan ini, Awatara dibedakan menjadi tiga macam:

1.       Amsa Awatara, adalah penjelamaan Tuhan yang hanya setengah dari Kemahakuasaan dan Kesaktian Tuhan. Contoh : para Manu, Dewadewa, Maharesi. Menurut Bhagawan Sri Sathya Sai Baba, Rama termasuk Amsha Awatara, karena kekuatan Ketuhanannya dibagi bersama adik-adiknya : Laksamana, Bharata dan Satrugna.
2.      Awesa Awatara, adalah Awatara yang hanya mencerminkan kesaktian Tuhan dalam kurun waktu sementara, karena memang kebutuhkannya hanya untuk sementara saja. Contoh : Narasimha, muncul hanya untuk membunuh Hiranyakasipu - Raja raksasa - Ayah Prahlada yang kejam, lalim dan takabur.
3.       Purna Awatara, adalah awatara yang mempunyai kekuatan dan kemuliaan Tuhan yang penuh (purna). Contoh: Sri Krisna, Sai Baba.


5. Sikap Setuju dan Anti Awatara (Pro dan Kontra)
 
Di dalam Agama Hindu ada istilah rwabhineda yang berarti ‘dua hal yang berbeda’. Ada baik-buruk, bagus-jelek, hitam-putih, pro-kontra dan seterusnya. Begitu juga tentang kehadiran awatara - Tuhan yang menjelma, ada yang pro dan ada yang kontra. Sikap seperti ini adalah sesuatu yang universal, di mana pun, dan kapan pun bisa terjadi. Berikut ini disampaikan orang-orang yang percaya dan yang tidak percaya (pro dan kontra)

5.1. Sikap Yang Pro Awatara

Karma seseorang sangat banyak memberi warna terhadap sikap pro atau kontra. Dalam kenyataan sehari-hari hal itu akan tercermin dalam sikap dan prilaku seseorang, Di bawah ini dikutipkan beberapa mantra Bhagawadgita, sikap yang mendukung keberadaan awatara itu.

Mahâmânas tu mâm pârtha,
DaivIm prakritim âsritâh,
Bhajanty ananya manaso,
Jivâtvá bhuItádim avyayam.  (Bhagadgita, IX.13)
Artinya :
(Orang) yang berjiwa mulia, memiliki sifat suci,
Mengetahui Aku yang tidak termusnahkan ini,
Sebagai sumber segala makhluk. Oh Partha
sujud kepada-Ku dengan sepenuh hati. (Pendit, 2002 :117)

Seseorang yang setuju kepada awatara, memang tidak datang dengan otomatis atau dengan sendirinya. Banyak yang melalui jalan berliku. Arjuna sebagai contoh. Semula Arjuna tidak yakin kepada Sri Krisna bahwa Beliau adalah awatara. Sri Krisna dianggap sebagai manusia sakti dan penuh kebijaksanaan. Sampai menjelang perang tiba di Kuruksetra, Arjuna masih sangsi bahwa Sri Krisna adalah Tuhan yang menjelma.

5.2. Orang - Orang Yang Kontra

Karena para Resi yang meramalkan kehadiran Awatara berdasarkan pada wahyu, tentu hal ini tidak dapat dianalisa dengan akal sehat manusia yang sangat terbatas. Tetapi perlu diingat dan disadari bahwa orang-orang yang tidak berjiwa spiritual tidak akan pernah yakin bahwa Tuhan bisa menjelma. Ibaratnya sebuah kayu, keranjang bambu atau besi yang berkarat tebal tidak pernah dapat ditarik oleh magnet.
Di bawah ini disajikan kelompok atau golongan orang-orang yang kontra atau tidak yakin tentang awatara (Tuhan yang menjelma) :

1.       Orang-orang yang terlalu kaku berpegang pada Weda, mereka tidak pernah percaya kepada awatara, karena istilah awatara itu tidak ada dalam Weda. Istilah awatara baru muncul pada zaman Purana.
2.      Hanya tahu bahwa Tuhan itu Abstrak Kekal Abadi, disebabkan karena kurang membaca sastra-sastra Hindu seperti Bhagawadgita, Purana-purana, yang menyatakan bahwa Tuhan bisa menjelma ke dunia untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia.
3.      Di dalam mantra-mantra Bhagawadgita (tentu juga ada dalam sastra Hindu lainnya) telah dinyatakan sikap dan karakter orang-orang yang menentang atau kontra terhadap kehadiran awatara, seperti berikut.
  
Na mâm duskritino mudhâh,
Prapadyate nâradhamah,
Mâyayâ ‘pab rita jnâná,
Asuram bhâvam âsritâh. (Bhagawadgita, VII.15)
Artinya :
Mereka yang jahat hidup nista,
Di antara manusia-manusia yang berhati hina,
Tidak datang kepada-Ku,
Mereka diliputi kekuatan ilusi dan bersifat setan. (Pendit, 2002 : 148)

Avajananti mam mudha
Manushim tunum asritam
Param bhavam ajananto
Mama bhutamabesvaram (Bhagawadgita, IX , 11)
Artinya :
Mereka yang tolol tidak menghiraukan Aku
Yang mengenakan badan jasmani manusia,
Tidak mengerti sifatKu yang lebih tinggi
Sebagai pelindung Agung segala yang ada. (Pendit, 2002 : 176)

Moghasa moghakarmno
Moghajnana vichetasah
Rakshasin asurim chaiva
Prakritim mohinim sritab (Bhagawadgita, IX, 12)
Artinya :
dengan dikuasai sifat-sifat jahat,
raksasa dan setan, aspirasi mereka tersesat,
tindakan mereka kasar, pengetahuan kabur,
dan pertimbangan mereka simpang siur. (Pendit, 2002 : 177)

Tentu masih banyak orang dan alasan yang menyebabkan orang tidak percaya kepada Tuhan yang menjelma atau awatara. Secara spiritual, tentu karena wasana karmanya atau sancita karmanya masing-masing yang menjadi penyebab utama. Di dunia ini memang senantiasa ada rwabhineda – dua hal yang berbeda. Sikap yang terpenting adalah jangan saling menjelekkan, saling mencela. Hendaknya bisa saling menghargai antara yang percaya dengan yang tidak percaya.

 ----------------------------

Baba juga  : Kisah Hidup dan Misi Sathya Sai Baba

 

 

 


                                                                
Daftar pustaka :

Drucker, A. 1991. Intisari Bhagawadgita, wejangan Bhagawan Sri Sathya Sai Baba, alih Bahasa Drs. I Wayan Sadia. Jakarta : Yayasan Shri Sathya Sai Indonesia

Jendra, I Wayan. 2008. Tuhan Sudah Mati?, Untuk Apa Sembahyang (sebuah Studi Religiofilosofis Brahmawidya). Surabaya : Paramita

Kasturi. 1987. Sabda Sathya Sai Jilid I. Jakarta:  Yayasan Shri Sathya Sai Indonesia

Pendit,  Nyoman S. 2002. Bhagawadgita. Jakarta : PT. Gramedia