Istilah Awatara adalah
ciri khas yang terdapat di dalam Agama Hindu, terutama istilah itu baru muncul
di dalarn purana. Di dalam Catur Weda istilah itu belum terlihat secara jelas
dan gamblang. Akan tetapi, di dalam Pancamo Weda atau di dalam Bhagawadgita bab
IV, telah dijelaskan bahwa Tuhan kalau situasi kontekstual sangat mendesak
untuk menengakkan dharma, maka Tuhan muncul menjelma dari yuga ke yuga (zaman
ke zaman).
Pustaka suci Agama Hindu bukanlah hanya Catur
Weda, tetapi begitu luas, meliputi Weda, Upaweda, Wedangga, Upanishad, Purana,
Itihasa dan sastra-sastra weda lainnya. Kata Awatara baru muncul dalam
perkembangan Weda belakangan di dalam pustaka suci purana. Purana yang menyebut
kehadiran Awatara, antara lain: Brahma Samhita, Bhagawata Purana, Agni Purana,
Bhagawadgita dan lain-lainnya. Bhagawadgita diyakini merupakan sari-sari dari
Upanishad. Upanishad juga disebut dengan Wedanta (akhir dari Weda). Dengan
demikian sebenarnya Weda mengakui kehadiran Awatara, tetapi secara tidak
langsung.
2.
Pengertian Awatara dan Tolok Ukurnya
Awatara adalah Tuhan yang menjelma ke dunia dalam wujud tertentu secara konkret
yang dapat dilihat secara nyata di dunia ini. Awatara (penjelmaan Tuhan) turun
ke dunia disebutkan dalam sloka Bhagawadgitha sbb :
Ajo pi sann avyayatma
Bhutanam isvara ‘pi san
Prakritim svam adhishthaya
Sambhavamy atmamayaya (Bhagawadgita, IV.6)
Artinya :
Walaupun Aku tak terlahirkan, tak
termusnahkan
Dan Aku adalah pencipta segala makhluk hidup
Namun atas kekuasaanKu sendiri
Dan dengan kekuatan mayaKu, Aku menjelma
(Pendit, 2002 : 88)
Parameter dasar untuk mengukur apakah seorang
sosok itu Awatara atau tidak, digunakan setidaknya 7 syarat utama atau siddhi
(Kasturi : 1987 :157) sebagai berikut :
1.
Aiswarya
(kemuliaan) dalam
kehidupannya tidak pernah tercela, dihormati dan di puja oleh jutaan manusia.
2. Kerthi
(kemakmuran) tidak pernah
merasa dan mengalami kekurangan suatu apapun.
3. Jnana
(kebijaksanaan) mampu
mengetahui apa saja tentang jagat ini, mengetahui yang akan dipikirkan, sedang
dipikirkan dan yang telah dipikirkan seseorang, masa lalu, masa kini, dan masa
yang akan datang.
4. Wairagya
(tanpa keterikatan) tidak
terikat oleh mamakara (rasa
memiliki) dan segala bentuk keterikatan duniawi.
5.
Utpathi
(daya cipta) mampu
menciptakan apa saja.
6.
Sthithi
(pemelihara) mampu kalau
mau menghidupkan orang mati.
7.
Laya
(pemusnah) mampu
melenyapkan apa pun yang dikehendaki.
3. Tujuan Tuhan Turun Sebagai Awatara
Tujuan utama Tuhan turun ke dunia lebih jauh
dijelaskan di dalam sloka Bhagawadgita berikut :
Yadaa-yadaa hi dharmasya,
Glanir bhavati bhaarata,
Abhyutthanam adharmasya,
Tada tmanam srijamy aham. (Bhagawadgita,
IV.7)
Artinya :
manakala dharma hendak sirna,
dan adharma hendak merajalela,
saat itu, wahai keturunan Bharata,
Aku sendiri turun menjelma. (Pendit, 2002 :
88)
Paritranaya sadhunaam,
Vinasaya cha dushkritam,
Dharma samsthapanarthaya,
Sambhavaami yuge-yuge. (Bhagawadgita,
IV.8)
Artinya :
demi untuk melindungi kebajikan
demi untuk mernusnahkan kelaliman,
dan demi untuk menegakkan dharrna,
Aku lahir ke dunia dari masa ke masa.
(Pendit, 2002 : 89)
4. Awatara Ditinjau Dari Sudut Kadar
Kesaktian Ketuhanan
Klasifikasi ini memberi petunjuk bahwa tidak
setiap Awatara mempunyai tingkat kesadaran aspek Ketuhanan yang sempurna atau
penuh, tetapi ada tingkatnya sesuai dengan kebutuhan zaman pada saat Awatara
turun ke dunia ini. Atas dasar tinjauan ini, Awatara dibedakan menjadi tiga
macam:
1. Amsa Awatara, adalah penjelamaan Tuhan yang hanya
setengah dari Kemahakuasaan dan Kesaktian Tuhan. Contoh : para Manu, Dewadewa,
Maharesi. Menurut Bhagawan Sri Sathya Sai Baba, Rama termasuk Amsha Awatara, karena kekuatan Ketuhanannya dibagi
bersama adik-adiknya : Laksamana, Bharata dan Satrugna.
2. Awesa
Awatara, adalah Awatara yang hanya
mencerminkan kesaktian Tuhan dalam kurun waktu sementara, karena memang
kebutuhkannya hanya untuk sementara saja. Contoh : Narasimha, muncul hanya
untuk membunuh Hiranyakasipu - Raja raksasa - Ayah Prahlada yang kejam, lalim
dan takabur.
3. Purna
Awatara, adalah awatara yang mempunyai
kekuatan dan kemuliaan Tuhan yang penuh (purna). Contoh: Sri Krisna, Sai Baba.
5. Sikap Setuju dan Anti Awatara (Pro dan Kontra)
Di dalam Agama Hindu ada istilah rwabhineda
yang berarti ‘dua hal yang berbeda’. Ada baik-buruk, bagus-jelek, hitam-putih,
pro-kontra dan seterusnya. Begitu juga tentang kehadiran awatara - Tuhan yang
menjelma, ada yang pro dan ada yang kontra. Sikap seperti ini adalah sesuatu yang
universal, di mana pun, dan kapan pun bisa terjadi. Berikut ini disampaikan
orang-orang yang percaya dan yang tidak percaya (pro dan kontra)
5.1. Sikap Yang Pro Awatara
Karma seseorang sangat banyak memberi warna
terhadap sikap pro atau kontra. Dalam kenyataan sehari-hari hal itu akan
tercermin dalam sikap dan prilaku seseorang, Di bawah ini dikutipkan beberapa
mantra Bhagawadgita, sikap yang mendukung keberadaan awatara itu.
Mahâmânas tu mâm pârtha,
DaivIm prakritim âsritâh,
Bhajanty ananya manaso,
Jivâtvá bhuItádim avyayam. (Bhagadgita,
IX.13)
Artinya :
(Orang) yang berjiwa mulia, memiliki sifat
suci,
Mengetahui Aku yang tidak termusnahkan ini,
Sebagai sumber segala makhluk. Oh Partha
sujud kepada-Ku dengan sepenuh hati. (Pendit,
2002 :117)
Seseorang yang setuju kepada awatara, memang
tidak datang dengan otomatis atau dengan sendirinya. Banyak yang melalui jalan
berliku. Arjuna sebagai contoh. Semula Arjuna tidak yakin kepada Sri Krisna
bahwa Beliau adalah awatara. Sri Krisna dianggap sebagai manusia sakti dan
penuh kebijaksanaan. Sampai menjelang perang tiba di Kuruksetra, Arjuna masih
sangsi bahwa Sri Krisna adalah Tuhan yang menjelma.
5.2. Orang - Orang Yang Kontra
Karena para Resi yang meramalkan kehadiran
Awatara berdasarkan pada wahyu, tentu hal ini tidak dapat dianalisa dengan akal
sehat manusia yang sangat terbatas. Tetapi perlu diingat dan disadari bahwa
orang-orang yang tidak berjiwa spiritual tidak akan pernah yakin bahwa Tuhan
bisa menjelma. Ibaratnya sebuah kayu, keranjang bambu atau besi yang berkarat
tebal tidak pernah dapat ditarik oleh magnet.
Di bawah ini disajikan kelompok atau golongan
orang-orang yang kontra atau tidak yakin tentang awatara (Tuhan yang menjelma)
:
1. Orang-orang
yang terlalu kaku berpegang pada Weda, mereka tidak pernah percaya kepada
awatara, karena istilah awatara itu tidak ada dalam Weda. Istilah awatara baru
muncul pada zaman Purana.
2. Hanya tahu
bahwa Tuhan itu Abstrak Kekal Abadi, disebabkan karena kurang membaca
sastra-sastra Hindu seperti Bhagawadgita, Purana-purana, yang menyatakan bahwa
Tuhan bisa menjelma ke dunia untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia.
3.
Di dalam
mantra-mantra Bhagawadgita (tentu juga ada dalam sastra Hindu lainnya) telah dinyatakan
sikap dan karakter orang-orang yang menentang atau kontra terhadap kehadiran
awatara, seperti berikut.
Na mâm duskritino mudhâh,
Prapadyate nâradhamah,
Mâyayâ ‘pab rita jnâná,
Asuram bhâvam âsritâh. (Bhagawadgita, VII.15)
Artinya :
Mereka yang jahat hidup nista,
Di antara manusia-manusia yang berhati hina,
Tidak datang kepada-Ku,
Mereka diliputi kekuatan ilusi dan bersifat
setan. (Pendit, 2002 : 148)
Avajananti mam mudha
Manushim tunum asritam
Param bhavam ajananto
Mama bhutamabesvaram (Bhagawadgita,
IX , 11)
Artinya :
Mereka yang tolol tidak menghiraukan Aku
Yang mengenakan badan jasmani manusia,
Tidak mengerti sifatKu yang lebih tinggi
Sebagai pelindung Agung segala yang ada.
(Pendit, 2002 : 176)
Moghasa moghakarmno
Moghajnana vichetasah
Rakshasin asurim chaiva
Prakritim mohinim sritab (Bhagawadgita, IX,
12)
Artinya :
dengan dikuasai sifat-sifat jahat,
raksasa dan setan, aspirasi mereka tersesat,
tindakan mereka kasar, pengetahuan kabur,
dan pertimbangan mereka simpang siur.
(Pendit, 2002 : 177)
Tentu masih banyak orang dan alasan yang
menyebabkan orang tidak percaya kepada Tuhan yang menjelma atau awatara. Secara
spiritual, tentu karena wasana karmanya atau sancita karmanya masing-masing
yang menjadi penyebab utama. Di dunia ini memang senantiasa ada rwabhineda –
dua hal yang berbeda. Sikap yang terpenting adalah jangan saling menjelekkan,
saling mencela. Hendaknya bisa saling menghargai antara yang percaya dengan
yang tidak percaya.
----------------------------
----------------------------
Baba juga : Kisah Hidup dan Misi Sathya Sai Baba
Daftar pustaka :
Drucker, A. 1991. Intisari
Bhagawadgita, wejangan Bhagawan Sri Sathya Sai Baba, alih Bahasa
Drs. I Wayan Sadia. Jakarta : Yayasan Shri Sathya Sai Indonesia
Jendra, I Wayan. 2008. Tuhan Sudah Mati?, Untuk Apa Sembahyang
(sebuah Studi Religiofilosofis Brahmawidya). Surabaya : Paramita
Kasturi. 1987. Sabda
Sathya Sai Jilid I. Jakarta: Yayasan Shri Sathya Sai
Indonesia
Pendit, Nyoman S. 2002. Bhagawadgita. Jakarta : PT.
Gramedia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar