I Ketut Wedha dari Desa Banjar Tengah Negara - Bali
adalah seorang mantan pejuang revolusi fisik di Jembrana, lahir pada tahun 1924
di Negara. Ketika zaman sebelum tahun
1965, dia membuat karya tulis yang berjudul “Kembali Pulang”. Karya ini sangat
terkenal, dan dimuat dimedia pada zaman tsb secara bersambung. “Kembali Pulang”
inilah akhirnya menyebabkan I Ketut Wedha dipanggil dengan nama Bung Wedha
Kembali Pulang.
Ketika berusia 10 tahun ia meninggalkan rumah, dan
bekerja sebagai buruh pada masa pendudukan Belanda di Bali sampai berusia 18
tahun sambil terus mengasah otaknya dengan buku-buku yang ia peroleh dengan
meminjam dari teman-temannya.
Setelah Indonesia merdeka, ia bersama
teman-temannya membentuk BKR dan memulai revolusi fisik di Jembrana. Hingga
revolusi usai ia mulai menulis berbagai artikel diantaranya yang paling
terkenal adalah “Kembali Pulang” yang sangat diminati oleh Prof. Utrecht salah
seorang tokoh international. Di usianya yang sudah relatif tua, 66 tahun, dia
menusun buku dengan judul Revolusi Fisik Di Jembrana Sebuah Studi Sejarah. Buku
cetakan pertama terbit tahun 1990, dan cetakan ke dua terbit 2006. Berbagai
artikel lainnya dalam bidang politik, sastra, filsafat dan spiritual agama
Hindu juga terus lahir dari tangannya. Tulisan-tulisannya sering kali dimuat di
Bali Post, diantaranya berupa kritikan filsafat dan spirtual agama Hindu
tentang Tri Hitakarana, Pagerwesi, Galungan, dan karya lainnya. Selain aktif
menulis, ia juga sempat menjadi Dosen Luar Biasa di Universitas Marhaen
(Universitas Mahendradatta – sekarang).
Pengibaran Bendera Merah Putih
Pertama di Bali
Pada September 1945, dua orang pemuda dari Jawa,
Sukardani dan Sumardi datang ke kota Negara, menemui Anak Agung Gde Winaya dan
Anak Agung Bagus Suteja. Anak Agung Bagus Suteja kemudian mengundang lima
pemuda kota yaitu, Ketut Punia (bekas Syodancho), Nyoman Nirba (bekas
Syodancho), Nyoma Suka (bekas Boei Taisin Tai), Ngurah Teken Pinatih (bekas
Boei Taisin Tai) dan Ketut Wedha (bekas Pembantu Pelatih Boei Taisin Tai),
untuk hadir di rumah Anak Agung Gde Winaya malam hari itu juga.
Dalam pertemuan tersebut Sukardani (pemuda dari
Jawa) bercerita. Pertama yang disampaikan adalah bahwa menyerahnya Jepang tanpa
syarat kepada Tentara Sekutu akibat dari meledaknya bom atum di Hiroshima dan
Nagasaki, dua kota di Negeri Jepang. “Mulai saat itulah Bala Tentara Nippon sudah
tidak lagi berkuasa di negeri kita” lanjut Sukardani.
Selanjutnya Sukardani bercerita tentang telah
diproklamirkannya Indonesia Merdeka, tanggal 17 Agustus 1945 di Jakarta, oleh
Soekarno Hatta. Juga disampaikan Soekarno Hatta masing-masing diangkat sebagai
Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia.
Bagi pemuda ketika itu, dua buah berita “maha
penting” ini bagaikan suara petir disiang hari tak berhujan. Karena berita itu
begitu tiba-tiba, padahal kejadian yang luar biasa itu sudah berlalu lebih dari
seminggu. Merdeka, yang sejak berpuluh-puluh tahun dicita-citakan dan
diperjuangkan oleh para pemimpin bangsa Indonesia, tiba-tiba kini telah hadir
di tengah-tengah kehidupan, di tengah-tengah situasi yang masih demikian serba
terbatas. Bahkan sekali lagi, peristiwa
pembacaan proklamasi yang sudah terjadi lebih seminggu saja baru hari ini
sampai ketelinga para pemuda di daerah. Tetapi melebihi segalanya, betapa suka
citanya perasaan para pemuda itu.
Pagi-pagi buta keesokan harinya, pemuda Banjar
Tengah mulai menyiarkan berita ke seluruh kota. Hal ini dilakukan dari mulut ke
mulut secara bersambung. Pemuda-pemudapun berduyun-duyun datang ke Banjar
Tengah dimana seluruh kegiatan dipusatkan. Pemuda-pemuda membuat bendera merah
putih, plakat-plakat, lencana-lencana.
Sepeda motor, dokar di pasangi bendera merah putih.
Sekitar pukul 10.30, dihalaman yang berukuran
kurang lebih 20x10m yang terletak di sebelah selatan bale banjar Desa Banjar
Tengah (dulu tempat latihan Seinendan) dan (sekarang BKIA), di sinilah –
pertama kalinya – bulan September 1945 dengan diiringi lagu Indonesia Raya dikerek
“Bendera Pusaka” - Merah Putih, menyambut Indonesia Merdeka. Pemuda yang ngerek
Marwi dan Ketut Mudia. Hadir dalam upacara tersebut antara lain Nyoman Suka,
Ketut Wedha, Sudyono, Wayan Kuria, Ketut Lunga, Ngakan Putu Sambha, Madali,
Agus Subroto, dan para pemuda yang ikut melakukan kegiatan tersebut.
Hal yang dapat dijadikan petunjuk mengenai Pengibaran
Bendera Merah Putih Pertama kalinya yaitu : bus-bus yang datang dari Tabanan,
Denpasar, dan Singaraja ke Negara, ketika dipasangi bendera merah putih, kernet
dan sopirnya bertanya-tanya keheran-heranan, “ada apa ini, bagaimana, apa
artinya semua ini?” Ketika mendapat jawaban bahwa Indonesia sudah merdeka,
merekapun gembira luar biasa dan ikut membantu pemuda-pemuda membagikan serta
memasang lencana-lencana itu di dada semua penumpang.
Sumber :
Wedha, I Ketut. 2006. Revolusi
Fisik Di Jembrana Sebuah Studi Sejarah, Cetakan Kedua Pemkab. Jembrana